RUU Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Tidak Melindungi HAM

admin | 9 – Mar – 2008

Kini ada lagi RUU yang bakal dibahas Pemerintah bersama DPR. Namanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang merupakan hasil inisiatif DPR yang diprakarsai oleh Komisi VI dan sudah disetujui oleh semua fraksi di DPR. RUU tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ini diarahkan dengan dua tujuan, yakni terwujudnya penduduk yang tumbuh seimbang dan meningkatnya kualitas penduduk pada seluruh dimensi penduduk. Selain itu, mewujudkan setiap pendudukdari generasi ke generasi beriman, sehat, sejahtera, produktif dan harmonis dengan lingkungan serta menjadi SDM berkualitas.

Rencananya RUU ini akan menggantikan UU No.10 Tahun 1992 tentang “Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera” yang dinilai sudah “usang”. Anggota DPR-RI merasa perlu mengamandemen UU No.10 itu lantaran tak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia dan perkembangan global. Di antaranya dengan mangacu pada hasil International Conference on Population and Development (ICPD) Cairo 1994 (pertemuan tentang kependudukan dan pembangunan), dan Millennium Development Summit (MDS) New York, 2000, yang meliputi isu gender, partisipasi pria, hak-hak reproduksi, infertilitas, dan lain-lain. Dan Indonesia ikut membubuhkan tandatangan terhadap hasil kedua konperensi tersebut. Konsekuensinya, negeri ini pun terikat melaksanakan rekomendasi yang disepakati ICPD.

Namun demikian, toh ternyata RUU baru ini tidak sejalan dengan kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh semua negara anggota perserikatan Bangsa-Bangsa ini. Setidaknya ada beberapa hal mesti kita kritisi dari RUU ini terkait dengan persoalan HAM dan posisi perempuan.

Pertama, RUU itu hanya menekankan pendekatan demografis dan tidak menekankan pada pemenuhan hak-hak asasi manusia. Ini tertera jelas dalam pasal 11 yang menyatakan bahwa “hak penduduk sebagai himpunan demografis meliputi hak untuk diperhitungkan dalam penyusunan, pelaksanaan, evaluasi pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga”. Pada giliran berikutnya semua pasalnya pun cenderung mewakili suatu paradigma demografis dalam memandang persoalan kependudukan dan keluarga. Pasal-pasal ini bersifat reduksionistik dalam melihat hakikat kemanusiaan. Yakni reduksionistik dalam memandang manusia hanya dari perspektif demografi, dengan mereduksi manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya ke dalam angka-angka.

Bahkan menyangkut hal ini, Prof Dr Saparinah Sadli dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa persoalan kependudukan tidak bisa dilihat hanya dari perspektif demografi, melainkan hingga Keluarga Berencana pun, menurut Saparinah, harus dilihat dalam perspektif kesehatan perempuan, bukan sekadar untuk mencapai transisi demografi.

Kedua, RUU tersebut kurang mengedepankan upaya meningkatkan derajat perempuan dalam memenuhi hak reproduksi mereka. Misalnya pada pasal 39 dan 40, secara implisit terdapat prinsip-prinsip nilai yang memandang perempuan tidak memiliki hak atas kesehatan reproduksinya dan tidak berhak membuat keputusan atas dirinya sendiri. Padahal Deklarasi Cairo jelas-jelas lebih memandang kependudukan sebagai persoalan hak, khususnya hak perempuan atas kesehatan reproduksinya dan hak perempuan untuk menentukan dirinya sendiri

Ketiga, RUU ini potensial memberi ruang bagi negara untuk mencampuri persoalan privat pasangan atau individu. Kemungkinan ini bakal terjadi bila kita teliti membaca klausul dalam pasal 40 ayat 2 dan 3. Setelah hak reproduksi perempuan direduksi, negara bisa “menyediakan bantuan” bila ada ketidaksepakatan antar pasangan dalam reproduksi. Dalam situasi masyarakat yang masih dicengkeram dalam budaya patriarkhi sekarang, hal ini juga memungkinkan adanya paksaan negara atau suami terhadap isteri.

Keempat, sebagaimana tersebut dalam klausul pasal 39 ayat 3 RUU ini juga cenderung menggunakan agama dan budaya sebagai dalih yang justru bisa mengaburkan upaya pokok untuk membantu perempuan dalam meningkatkan derajat kesehatan reproduksi mereka. Ketidakjelasan norma atau tradisi ini bisa berpeluang memenjarakan hak-hak perempuan untuk melindungi diri. Demikian pula akses bagi remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Dengan dalih agama dan nilai tradisi ini RUU ini banyak menegasikan berbagai definisi dalam hasil ICPD Cairo. Meskipun teks dan tradisi itu tidak mengangkat derajat perempuan, tapi sebaliknya membahayakan hidup mereka.

Celakanya lagi, pada Pasal 40 (c) atas nama nilai dan agama pasal ini memungkinkan negara masuk untuk mempengaruhi, bahkan mengatur persoalan privat pasangan atau individu dalam menentukan pilihannya. Dalam ruang keluarga ini juga memungkinkan tindakan diskriminatif oleh Negara menimpa kaum perempuan. Belum lagi nilai-nilai agama yang dimaksud hanya mengacu pada lima agama resmi yang diakui negara. Sementara beberapa agama dan kepercayaan lain dalam masyarakat masih tidak diakui.

Kelima, RUU ini menyimpan beberapa ganjalan. Seperti kata “keluarga”, yang didefinisikan dengan merujuk pada keluarga yang terikat pada perkawinan yang sah. Padahal, ada kelompok masyarakat yang perkawinannya dianggap tidak sah karena agama mereka tidak diakui oleh negara, seperti kelompok penganut agama atau kepercayaan suku asli. Secara hukum negara, yang dimaksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dicatat. Hasil penelitian dari bagian Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama menunjukkan bahwa yang tercatat hanya sekitar 60 persen. Kalau dalam RUU yang dimaksudkan dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dicatat, maka pemerintah harus menyiapkan perangkatnya, terutama untuk mencatat perkawinan anggota masyarakat yang menganut agama dan kepercayaan di luar lima agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah.

Kata “keluarga” ini juga harus dikritisi karena bisa mereduksi hak-hak individu khususnya perempuan di dalam keluarga. Apalagi UU Perkawinan di Indonesia meneguhkan laki-laki sebagai kepala keluarga, yang artinya memiliki hak prerogatif untuk memutuskan apa pun di dalam keluarganya. Kata “keluarga” dalam RUU itu bisa diartikan mereduksi banyak hal penting ke dalam sesuatu istilah atas dasar moral semata, sehingga manusia dihilangkan kemanusiannya ketika ia dianggap tidak berada di dalam wilayah “sakral” yang disebut “keluarga”.

Yang penting pula untuk diperhatikan adalah paradigma RUU ini yang masih memposikan masyarakat sebagai obyek. Sementara itu tidak ada pasal yang menetapkan sanksi hukuman bagi penyelenggara negara yang tidak memenuhi kewajibannya seperti yang tercantum dalam pasal-pasal RUU tersebut.

Selain itu, hak atas kesehatan reproduksi, seperti tercantum jelas dalam Rencana Aksi ICPD Cairo, bukan merupakan hak keluarga, melainkan hak individu, baik yang ada di dalam maupun di luar institusi yang bernama “keluarga”.

RUU Kependudukan yang baru seharusnya menggunakan pendekatan hak asasi manusia (HAM) termasuk di dalamnya adalah hak perempuan atas kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi. Desantara

BAGIKAN: