Di berbagai kota, RUU KUB menjadi bahan diskusi dan fokus kajian yang berkelanjutan. Seperti yang dilakukan JPS (Jama’ah Persaudaraan Sejati) di Jakarta, NTB, dan Yogyakarta, lalu PAKUAN (Paguyuban Anti Diskriminasi untuk Agama, Adat, dan Kepercayaan) Jawa Barat, dan beberapa komunitas di daerah-daerah yang peduli terhadap kerukunan umat beragama, termasuk di antaranya Forum Sabtuan Cirebon, sebuah forum yang beranggotakan lintas agama.
Pada pertengahan Nopember 2003 lalu, Forum Sabtuan Cirebon mengkaji RUU KUB ini yang diikuti oleh individu-individu lintas agama. Fahmina Institute juga melakukan hal yang sama dalam rangkaian acara "Dawroh Fiqh Demokrasi", 21 Oktober 2003 di Pesantren Buntet yang diikuti oleh Kalangan Kyai dan Nyai Muda pesantren se-wilayah III Cirebon. Kalangan Kristen di Cirebon juga memberikan perhatian serius terhadap RUU KUB ini. PGIS Cirebon menggelar diskusi terbatas tentang RUU KUB dengan menghadirkan KH. Sholahudin Wahid, dan Pdt. Wainata Sairin, Wakil Sekretaris PGI.
Dalam diskusi-diskusi tersebut, terlontar penolakan dari para peserta setelah diadakan pengkajian secara mendalam terhadap RUU KUB ini. Bahkan ketika diskusi yang menghadirkan Ichtijanto (Ketua tim penyusun RUU KUB), beberapa kalangan melihat naskah akademik ini kurang begitu mendalam, terkesan ikut-ikutan negara lain, dan tidak didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).
Tidak dikaji secara mendalam apakah konflik tersebut semata-mata problem masyarakat agama, elite agama, atau adanya kekuatan dari luar agama yang sedang memanfaatkan komunitas agama untuk kepentingan politiknya? Dan apakah bila tidak terjadi dialog antar agama secara jujur dan terbuka atau adanya klaim kebenaran masing-masing pemeluk agama yang mengabsolutkan pendapatnya, jalan keluarnya harus mengeluarkan undang-undang?
Dalam masalah perkawinan antar agama, penguburan dan perayaan agama, tim penyusun hanya mendasarkannya pada pengalaman pribadi maupun keluarganya saja, tanpa melihat dan menyerap serta memperhatikan kondisi kerukunan umat beragama yang telah ada selama ini di berbagai daerah.
Perayaan agama di berbagai daerah, terutama di Jawa, sudah menjadi tradisi yang dirayakan dan dirasakan juga oleh penganut agama lain. Paling tidak penganut agama lain yang tidak merayakan, ikut memberikan ucapan selamat atau ikut menjaga keamanan dan kenyaman mereka yang sedang merayakannya.
Contoh lain di Cigugur, Kuningan. Terdapat banyak keluarga yang anggota keluarganya berbeda keyakinan, ada yang Kristen, Katholik, Islam dan Penghayat Kepercayaan. Masing-masing anggota keluarga ini saling menghormati dan bahkan ikut larut dalam kebahagiaan hari raya yang dirasakan oleh saudara, anak, maupun bapak dan ibunya yang berbeda agama.
Penolakan juga dilakukan oleh masyarakat adat dan penghayat kepercayaan. Bahkan kalangan adat dan kepercayaan ini menggugat pemahaman mainstream tentang definisi agama itu sendiri. Selama ini mereka dianggap sebagai orang yang tidak beragama karena kepercayaannya tidak tercantum atau tidak diakui oleh pemerintah. Akibatnya, mereka pun tidak mendapatkan hak-hak sipilnya seperti KTP, akte nikah maupun surat-surat keterangan lain.
Sementara itu dampak lain dari RUU KUB yang merupakan kepanjangan dari PNPS No 1 tahun 1965 adalah apa yang menimpa saudara kita dari Jema’at Ahmadiyah di Manislor, Kuningan. Mereka mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat sekitarnya. Masjid dan rumah anggota Jema’at Ahmadiyah dirusak massa.
Kalau kita cermati Draft RUU KUB ini berpelung menciptakan konflik baru, sebab dalam beberapa pasalnya banyak yang justru mengganggu kerukunan yang selama ini telah tercipta. Pemerintah dalam hal ini tidak melihat realitas, di mana masyarakat Indonesia banyak juga yang menganut agama lain di luar lima aga resmi.
Seperti diungkapkan Zuly Qodir, intelektual muda Muhammadiyyah, bahwa di negara yang katanya bertuhan ini, ternyata untuk mengabdi kepada Tuhan saja lebih susah daripada di negeri yang tidak menyatakan dirinya negara bertuhan. Tuhan di negeri ini harus masuk kapling-kapling otoritas negara. Di luar otoritas negara, Tuhan seakan tidak ada, sekaligus tidak boleh hadir. (Kompas, 13 maret 2003)
Padahal baik DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) 1948 maupun dalam UUD 1945 kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya sangat dijunjung tinggi. Manusia berhak untuk mengabdi kepada Tuhan dalam segala bentuknya. Pasal 18 DUHAM mengatakan, setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun pribadi.
Sementara itu Pasal 29 UUD menegaskan kewajiban negara untuk menjamin kebebasan beragama bagi tiap-tiap penduduk dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya. Oleh karena itu mengabdi kepada Tuhan tidak hanya terbatas pada wadah-wadah agama yang lima saja, melainkan boleh dengan beragam wadah dan model.
Dalam Islam kebebasan beragama nampak jelas sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi, la ikroha fiddin (tidak ada paksaan dalam beragama). At-Thabari dalam sebuah tafsirnya mengatakan Ad-dinu wahid was-syariatu mukhtalifah, ini semakin memperkuat argumentasi kebebasan beragama dalam Islam. Disamping itu kaidah-kaidah fikih juga banyak yang mengisyaratkan pada hal tersebut. Dalam konsep maqasid syari’ah dikenal prinsip-prinsip universal yang selalu menjadi pegangan kalangan fuqoha dalam ber-istinbath, mencari solusi dari berbagai persoalan yang muncul kemudian, di mana salah satu prinsipnya adalah hifdz al-din (perlidungan terhadap keyakinan).
Disini semakin terlihat betapa Islam pada prinsipnya sangat memberikan kebebasan, menghargai dan mengakui keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh umat lain. Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa kehidupan umat beragama di Madinah sangat harmonis. Semua pemeluk agama sama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang tertuang dalam Mitsaq al-madinah (Piagam Madinah). Salah satu butir pentingnya menyatakan bahwa hubungan intern anggota komunitas Islam dan antara mereka dengan komunitas yang lain di dasarkan atas prinsip-prinsip: 1) bertetangga yang baik; 2) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; 3) membela mereka yang teraniaya; dan 4) saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.
Apa yang terjadi pada masa Nabi ini, bisa menjadi contoh bagi kita agar bisa menciptakan dan menjaga kerukunan antar dan intern umat beragama khususnya di Indonesia ini. Sehingga kekhawatiran dan ketakutan pemerintah akan disintegrasi bangsa yang disebabkan oleh kerusuhan antar umat beragama tidak perlu terjadi dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan UU KUB. Desantara-Marzuki Rais (Aktifis Fahmina institute dan Forum Sabtuan Cirebon)