Banyak tanggapan kritis terhadap rencana Departemen Agama mengajukan RUU Kerukunan Umat Beragama. Selain menyimpan kontradiksi-kontradiksi internal, RUU ini sesungguhnya menampilkan inferioritas dan ketakutan naif kelompok tertentu atas berbagai perkembangan masyarakat yang makin maju. Tanggapan ini dilontarkan KH. Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Fahmina Cirebon, saat diwawancarai Mh. Nurul Huda dari Desantara beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:
Pemerintah kini mempersiapkan RUU KUB. Menurut Kiai, seberapa urgennya RUU ini?
Pertama-tama, kita harus tahu maksud kerukunan antar umat beragama itu sendiri. Sepanjang ia berhubungan dengan relasi antar manusia dalam bidang agama agar satu sama lain tidak mengganggu, saya kira tidak masalah. Tapi kalau pengaturan kerukunan ini sebagai upaya negara mengintervensi kehidupan privat warga, ini yang harus dikoreksi. Sayangnya, ini yang dirasakan masyarakat sekarang. RUU ini mencerminkan kekuasaan negara dalam membatasi pribadi atau prilaku umat beragama. Jadi, kalau ia dibuat dalam konteks hubungan yang tidak harmonis, maka yang diperlukan adalah UU untuk menghindarkan konflik langsung.
Setelah mencermati isi RUU tersebut, bagaimana pendapat Kiai?
Setelah membaca RUU ini, saya melihat ada kontradiksi-kontradiksi yang banyak sekali. Asas dan tujuan dasarnya, sih bagus. Misalnya: asas kebebasan beragama, tidak ada campur tangan negara dalam agama, pengakuan terhadap perbedaan, dan lain-lain. Tetapi isi pasal per pasal-nya sangat bertentangan dengan asas-asas di atas. Saya kira perlu penelitian kembali dan koreksi serius terhadap RUU ini.
Kiai melihat ada yang janggal, setidaknya ada kepentingan di balik kontradiksi-kontradiksi ini?
Saya kira, RUU ini dirumuskan berdasarkan pertimbangan kondisi masyarakat yang rentan terhadap konflik. Tapi saya melihat, ada sekelompok orang yang memiliki wawasan sosial dan keagamaan yang sempit dan eksklusif dan anehnya mereka sangat berperan menentukan proses penyusunan RUU ini. Ini problem. Ujungnya, RUU ini justeru bertentangan dengan kondisi masyarakat yang sangat plural dan menimbulkan masalah lagi. Dasarnya mungkin kuat. Tapi UU-nya tidak kuat. Konflik itu harus di atasi dengan UU lain. Bukan dengan membuat UU Kerukunan yang justeru membatasi dan memasung sehingga menciptakan ketidakrukunan.
Kalangan Islam eksklusif mempengaruhi RUU ini?
Ya, sejumlah UU termasuk RUU ini sengaja didesakkan kalangan ini yang mengambil momen kebebasan dengan mengatasnamakan klaim mayoritas. Ada keinginan lama yang diinginkan yang mengarahkan pada tuntutan negara Islam.
Jadi, Kiai melihat penyusunan RUU ini terkait dengan tuntutan lama semacam itu?
Ya, ini kalau dilihat dari sisi politis. Tapi secara obyektif mungkin berdasarkan realitas konflik. Tapi saya lebih melihat ada kepentingan agama dan politik di dalamnya. Ini disebabkan oleh hubungan agama dan negara sendiri yang sampai sekarang masih problematis. Di satu sisi masyarakat menolak sekularisasi. Tapi ketika melakukan “agamaisasi” yang muncul bukannya prinsip-prinsip dasar agama, melainkan hal-hal yang parsial yang diyakini sebagai agama yang sebetulnya sangat interpretable dan bisa berubah.
Kiai melihat RUU ini sangat parsial?
Ya, kalau mengatasnamakan Islam, apalagi tuntutan Syari’ah Islam. Syari’at Islam adalah apa yang sudah disebut dalam teks agama secara jelas, tidak mengandung interpretasi, yang tetap, tidak berobah, dan itu berdasarkan ijma’ ulama. Dalam teori fikihnya, kesepakatan itu adalah nash. Bahkan juga al ma’rufu ‘urfan. ‘Urf (adat) yang baik dan sudah menjadi tradisi sama dengan agama. Kalau umat Islam memandang agama dalam teks-teks saja, maka saya melihat ada peluang diskriminasi. Lalu kesannya Islam itu mendiskriminasi umat manusia dan kebebasan beragama, termasuk kawin beda agama. Mengenai larangan kawin beda agama, misalnya. Saya kira ini hanya kekhawatiran terhadap pendidikan anak saja. Saya kira mengenai kawin sendiri tidak masalah itu hubungan cinta kasih dua orang.
Ini semakin menarik. Seringkali argumen fikih digunakan sebagai justifikasi kalangan eksklusif ini. Padahal subyek hukumnya kan seluruh warga masyarakat. Menurut Kiai?
Ya, tapi mereka memahami Islam sangat tekstual. Mereka menggunakan argumen fikih klasik yang tidak kontekstual dengan kondisi sekarang, bias budaya Arab, bias gender, bias patriarki. Begini, misalnya kawin beda agama. Menurut Jumhur (mayoritas Ulama), perkawinan antara laki-laki muslim dan perempuan non-muslimah diperbolehkan. Sedangkan Imam Syafi’i melarang. Dan sejauh yang saya tahu, semua ulama melarang perkawinan perempuan muslimah dan laki-laki non-muslim (sebaliknya dari yang pertama di atas, Red.). Tapi perlu dicatat, bahwa hukum ini lahir dalam situasi sosial yang dipenjara oleh budaya patriarki. Laki-laki itu lebih kuat dan perempuan itu lemah. Dan karenanya seorang istri harus tunduk dan selalu patuh kepada suami. Jadi, ini bisa berubah. Nah karena itu pula dalam pembahasan RUU ini seharusnya juga melibatkan suara perempuan, di samping mempertimbangkan budaya dan masyarakat kita sendiri.
Konon RUU dibuat untuk kemaslahatan bersama, lil mashalih al ‘ammah. Bukankah larangan mengikuti perayaan Hari Raya agama lain, adopsi anak beda agama, dan lain-lainnya justeru menyebabkan segregasi sosial. Pandangan anda?
Saya kira bahaya RUU ini adalah memperlebar jarak antar umat beragama, menyebabkan segregasi sosial dan membeda-bedakan kemanusiaan berdasarkan agamanya. Bahkan konon yang dimaksud menjaga kemaslahatan itu adalah menghindari kristenisasi. Saya sangat tidak setuju. Mestinya kemaslahatan bersama ini dipahami dalam konteks obyektif yaitu kondisi masyarakat yang menghendaki UU. Jadi, kalau kita bicara masalah bersama, masalah prikehidupan kebangsaan, janganlah membawa-bawa nama agama.
Kiai melihat ada nuansa lain dalam RUU ini?
Saya melihat ada ketakutan, ada inferioritas dalam masyarakat Islam sendiri sebagai mayoritas. Ini harus dipikirkan. Termasuk dalam dakwah. Seolah-olah ada ancaman dari pihak lain yang dengan kemampuannya bisa mempengaruhi umat pindah agama. Saya kira, di sini kita harus refleksi bagaimana berdakwah secara rasional dan ke arah yang lebih baik.
Jadi, RUU ini ekspresi wajah ketakutan tersebut?
Ya. Bahkan banyak sekali ketakutan yang diderita umat Islam. Takut terhadap demokrasi, takut terhadap Barat, takut terhadap nasionalisme, takut penyebaran agama, takut terhadap perbedaan, dan ketakutan-ketakutan lain. Saya juga heran. Kita seolah sudah merasa tidak percaya diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Kalau kerukunan tidak perlu diatur lewat UU. Bagaimana prinsip-prinsip kerukunan harus dibangun dalam Islam dan dalam konteks kebangsaan ini?
Ketika berupaya membangun kerukunan bersama, berarti seorang muslim bertolak dari at taqwa al fardy dalam kehidupan personal dan izzul islam wal muslimin dalam kehidupan sesama umat, dan lalu mengorientasikan diri ke arah pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan sosial-politik. Jadi, membangun kerukunan umat beragama dalam konteks negara-bangsa harus didasarkan pada kehendak mewujudkan rahmatan lil alamin ini. Konsekuensinya, kita harus membangun konsensus bersama dengan prinsip-prinsip bersama yang lebih universal
Bagaimana praktisnya?
Memang ini berat sekali… (sambil menghela nafas panjang, Red.) Orang sudah tidak lagi membedakan antara mana budaya, dan mana agama. Semua hal ditarik ke wilayah agama, dan agama dianggap memiliki otoritas di atas segala-galanya. Menurut saya, harus ada proses pendidikan, penyadaran, dan sosialisasi prinsip-prinsip kemanusiaan dalam masyarakat, melalui simpul-simpul organisasi atau lembaga keagamaan dan kemasyarakatan. Sehingga yang muncul adalah kehendak masyarakat sendiri untuk rukun dan menghargai, dan bukan dibentuk oleh kekuasaan negara. Kadang-kadang di sini kesalahan kita. Kita suka menyerahkan perubahan sosial ini lewat negara, bukan melalui proses-proses kultural. Akibatnya, muncul produk-produk hukum yang justeru mundur, memasung, dan membatasi. Ini berat sekali kondisinya. Desantara-Mh. Nurul Huda