Sebetulnya RUU Kerukunan Umat Beragama hanyalah sekian dari seluruh perdebatan tentang adanya keinginan negara mengambil posisi aktif dalam pengaturan tata kehidupan umat beragama. Sejak 1998 sampai saat ini, paling tidak ada beberapa UU yang terkaitan dengan pengaturan-pengaturan keagamaan. Termasuk juga berbagai draf RUU yang telah memancing perdebatan serius.
Dalam kaitannya dengan draf RUU KUB ini, pertama-tama saya melihat persoalannya bukan semata-mata keresahan bagaimana membangun harmoni hubungan umat beragama. Tetapi adanya kecenderungan pertarungan yang ingin mengkontruksi suatu model negara tertentu, dan dengan itu berupaya agar negara diberi mandat dalam proses tersebut. Gagasan ini hendak mengharapkan kehadiran total negara dalam seluruh persoalan sosial, kebudayaan, pendidikan, agama, dan seterusnya. Singkatnya, ada kecenderungan menganggap eksistensi negara sebagai sesuatu yang besar dan superior.
Ide semacam ini biasanya muncul di negara-negara yang bekerja pada prinsip-prinsip otoritarian, di mana negara ingin memproduksi segala hal. Termasuk dalam hal ini toleransi dan kerukunan kehidupan umat beragama pun menjadi proyek yang hendak diproduksi oleh negara, dan bukan lagi sesuatu yang tumbuh karena inisiatif dan kepercayaan dalam masyarakat. Saya kira siasat seperti ini pernah dipraktekkan Soeharto, sang penguasa orde baru yang otoritarian itu. Dia memproduksi konglomerat, militer, memproduksi musuh politiknya, termasuk juga memproduksi konflik sosial dan sentimen sosial. Dan kini, tampak sekali bahwa perihal kerukunan umat beragama pun hendak diintrodusir oleh negara.
Ini sangat berbahaya. Kita tidak bisa lagi mempercayakan segala hal kepada negara. Karena negara bukanlah komponen-komponen abstrak. Dalam konteks politik, negara berisi orang-orang dengan beragam pertarungan kepentingan-kepentingan politik di dalamnya. Ada kompetisi politik dalam proses tersebut sehingga posisi negara tidak bisa lagi diangggap mutlak.
Yang kedua, tidak ada entitas politik apapun yang bisa menghukum sebuah aliran pemikiran. Apalagi sebuah aliran keagamaan. Memang banyak negara yang belum siap berdemokrasi. Artinya, mereka tidak siap menerima kenyataan-kenyataan. Jerman misalnya. Dalam 2 tahun terakhir, masih melarang aliran Hizb al-Tahrir yang beroperasi di sana, dengan menyebutnya terorisme. Negara dianggap memiliki kewenangan yang sah untuk memilah-milah aliran keagamaan dalam sistem masyarakat. Saya khawatir, di Indonesia pun kita dengan mudah tergelincir ke dalam problem yang sama, lalu membuat instrumen hukum yang bisa memilih mana aliran keagamaan yang benar dan mana yang tidak. Dalam hal ini kita bisa belajar dari banyak kasus yang terjadi di negara-negara berpenduduk muslim. Prof. Abdullah al-Na’im pernah menceritakan bagaimana seorang tokoh agama dibunuh karena aliran yang berbeda. Di Aceh, Nuruddin Ar-Raniri menyatakan perang terhadap pengikut tarekat keagamaan. Ribuan orang dibunuh dan diusir dalam kasus tersebut dengan alasan bahwa yang satu menginginkan sebuah negara yang mewakili golongannya sendiri, dan melarang aliran lain yang dianggap sesat.
Terakhir, saya hendak menekankan bahwa kerukunan umat beragama tidak bisa diselesaikan dengan model regulasi. Karena konflik-konflik agama melibatkan banyak relasi sosial yang juga berpengaruh dalam interpretasi konflik. Ada yang menafsirkannya sebagai konflik identitas, konflik karena relasi ekonomi yang tidak adil dan timpang, atau konflik akibat dari perilaku birokrasi yang diskriminatif yang lalu memunculkan sentimen masyarakat. Peran negara yang tidak benar justru bisa memicu konflik keagamaan yang luar biasa. Dan menurut saya, UU Kerukunan Umat Beragama ini hanya akan memicu perebutan ruang-ruang politik negara oleh kelompok tertentu atas nama agama.
Penting sekali digarisbawahi, kalau kita menuntut negara menjadi pengendali utama dalam mekanisme membangun kerukunan, maka yang akan terjadi sebetulnya adalah posisi disintegratif umat beragama yang justru dalam konteks ini negaralah yang memproduksinya. Pemberlakuan terhadap RUU ini justru akan berpotensi menciptakan disintegrasi. Sekali lagi, bukannya mengintegrasikan tapi malahan menjadi kekuatan disintegratif. Mengapa? Karena dalam realitas politik negara kita, agama sering diproduksi oleh para pelaku politik sebagai alat dan kendaraan politik. Dengan demikian, negara justru sangat kontra produktif dalam proses membangun kerukunan ini.
Lalu bagaimana cara memecahkan sentimen-sentimen konflik umat beragama dan membangun kerukunan antar masyarakat di negara kita? Strateginya: pertama, membangun mutual trust (saling percaya) di antara umat beragama itu sendiri. Kedua, menyiapkan kekuatan dari organisasi-organisasi keagamaan dalam mendukung proses ini, disertai dengan reformasi dalam watak dan metode penguatan organisasi.
Sekali lagi, yang kita butuhkan bukanlah negara yang kuat, tapi masyarakat dan organisasi-organisasi keagamaan yang kuat. Itu yang jauh lebih penting ketimbang memproduksi UU yang hanya akan memperkuat kuasa negara. Desantara-Munir (Direktur Imparsial Jakarta)