Banyuwangi, 23 September 1998. Seperti malam-malam sebelumnya, Rabu malam itu Mateha tampak bermalas-malasan mencari angin di beranda rumah kediamannya. Mateha adalah seorang kakek uzur, berumur 84 tahun. Badannya yang kerempeng sudah tampak mulai mengerut. Namun belum lagi puas berleha-leha, dua buah truk colt diesel bermuatan puluhan orang tiba-tiba parkir di depan rumahnya. Tanpa basa-basi mereka langsung menyerbu kakek renta itu. Sambil berlompatan turun, orang-orang itu berteriak-teriak kencang, “Bunuh dukun santet itu! Bunuh dukun santet itu!” sembari mengacung-acungkan senjata tajam, balok kayu dan tangan kosong. Mateha gemetar. Lututnya lemas. Ia hanya bisa pasrah menerima pukulan yang bertubi-tubi menghunjam ke badannya. Setelah puas memukuli, rombongan itu lalu membopong tubuh kurus Mateha ke atas truk. Keluarganya tak bisa mencegah. Mereka sangat ketakutan melihat keganasan massa itu. Beberapa saat kemudian truk melesat meninggalkan Dusun Pancoran, Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Siapakah orang-orang asing itu?
Mereka adalah para pemuda berasal dari desa tetangga, Desa Licin. Kabarnya para penyerang itu sengaja diupah untuk menghabisi Mateha. Otak pelaku aksi tersebut, diduga, Arba’i dan Misadi, yang tinggal sedusun dengan Mateha. Bahkan Misadi terhitung keponakan Mateha. Kepada wartawan, Arba’i dan Misadi mengaku sudah lama menaruh dendam kesumat kepada Mateha. Pakdenya itu, diyakini Misadi, telah menyantet ayahnya hingga menemui ajal beberapa waktu lalu. Istrinya pun bernasib sama. Motif Arba’i sekali tiga uang. Ia berkeyakinan ayahnya meninggal beberapa tahun lalu lantaran disantet Mateha. Dua putranya pun mengalami nasib serupa. Keduanya tewas setelah seluruh wajahnya dijangkiti penyakit kudis, sehingga wujudnya menyeramkan. Menurut orang pintar yang ditemuinya, penyakit itu lantararan disantet Mateha. Sampai akhirnya momen yang ditunggu tiba. Tanpa diduga, sejak beberapa bulan terakhir “musim” aksi pembantaian dukun santet melanda hampir seluruh Banyuwangi. Mereka lantas mengikuti ‘tren’. Singkat kisah, ia mendatangi para pemuda Desa Licin seraya melempar isu: Mateha dukun santet yang telah membinasakan banyak orang. Berhasil. Sebelum berangkat ke sasaran, para pemuda itu ditraktir minum-minuman keras, di sebuah kedai. Tak lama, mereka naik dua truk sewaan Arbai. Lantas pemuda itu diberi uang rata-rata Rp 15.000. Setelah itu mereka beraksi, sampai akhirnya berhasil menciduk Mateha. Sepanjang perjalanan, Mateha disiksa. Setelah yakin bahwa si tukang santet renta itu telah tewas, bersamaan dengan saat truk melintas di daerah persawahan sekitar kawasan Kampung Giri, Mateha langsung dilemparkan ke tengah sawah. Ia terkapar di bibir hamparan persawahan. Rupanya, Mateha Cuma pingsan. Tak ada luka serius. Bersamaan kokok ayam jantan di keremangan kabut subuh, Mateha terjaga. Ia mengerang, dan perlahan-lahan bangkit. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berjalan pulang ke kediamannya.
Kepulangan Mateha membuat bungah keluarganya. Namun sebaliknya, kabar itu malah menggegerkan orang sekampung. Isu cepat menyebar: sang dukun santet masih gentayangan. Yang paling terkejut, siapa lagi kalau bukan Arbai dan Misadi. Bukankah orang yang sangat mereka benci itu sudah dibunuh semalam? Emosi keduanya makin bergejolak. Mereka pun kembali mengompori warga desa Banjarsari. Lucunya, Mateha malah cuek. Entah lantaran pikun atau apa, kebiasaan bersantai di beranda muka pun masih terus dilakoninya. Seperti sehari setelah kejadian, malam Jum’at, sekitar pukul 22.00, Mateha yang dianggap sebagian warga sebagai dukun santet, disatroni puluhan penduduk yang menghujatnya. “Bunuh dukun santet! Bunuh dukun santet!”
Mateha tersadar, bahaya mengancam. “Saya pasrah, walau pun jantung terasa mau copot,” kenangnya. Sukurlah, Lurah Banjarsari, Adiyat segera datang melerai sebelum penganiayaan terulang. “Mereka menuntut Mateha diusir dari dusun,” kisah Adiyat. Akhirnya Adiyat mengungsikan Mateha ke kantor Koramil Glagah. Aman? Belum! Kebencian Arbai dan Misadi masih mengintai. Mateha harus mati. Apalagi, aku keduanya, mereka kadung menerima uang dari beberapa janda di desanya untuk menghabisi Mateha, yang diyakini telah menyantet suami mereka.
Siasat pun kembali diatur. Mereka menambah tenaga. Keduanya merekrut Kacung yang dikenal memiliki reputasi buruk di Banjarsari. Ia residivis, dan pernah terlibat kasus pembunuhan beberapa waktu lalu. Kacung merekrut temannya Mislami. Mereka sepakat akan mengambil Mateha di Koramil Glagah. Caranya Misadi akan berpura-pura mengamankan Mateha ke saudaranya di Desa Donosuko. Karena selama ini Mateha belum tahu niat jahatnya.
Hari-H pun tiba. Rabu (30/9) sore, sekitar pukul 17.00, Misadi, Arbai, Mislami dan Kacung terlihat melesat dengan mobil colt ke arah kantor Koramil Glagah. Setibanya di sana, mereka menemui penjaga piket, Sertu Slamet. “Pak, Pak Mateha mau diambil keluarganya,” ujar Kacung kepada Slamet. Slamet mengeluarkan Mateha. Begitu melihat keponakannya, Mateha sontak bertanya, “Ingsun iki arep ira gawa neng ngendi (aku ini mau dibawa kemana)?” setelah dijelaskan akan diamankan, Mateha manut. Mereka pun pergi menuju Desa Donosuko. Misadi menyetir. Di bangku belakang, Mateha duduk diapit Arbai, Mislami dan Kacung.
Di tengah perjalanan, di perbatasan Rejosari, yang membelah dua hamparan persawahan yang gelap dan sepi, Misadi menghentikan kendaraan. Tiba-tiba ia perintahkan pamannya turun. Mateha menurut. Belum lagi sadar apa yang bakal terjadi, mereka mengikat lengannya dengan tali. Lalu mereka memukuli Mateha sepuasnya. “Saya kaget. Saya salah apa, kok dipukuli. Wong saya nggak punya utang sama mereka,” keluh Mateha. “Pernah nyakitin juga nggak”. Tak ada ampun. Leher Mateha dijerat tali dan ditarik sekuat tenaga. Lainnya terus menghujani pukulan. Setelah itu Mateha roboh ke Lumpur. “Setelah itu saya suruh mereka pergi. Tinggalkan saya dan Mateha,” cerita Kacung. Kacung melakukan eksekusi terakhir. Dicekalnya leher Mateha yang peot itu. Kemudian dibanting ke kanan-kiri. Terakhir ia benamkan wajah Mateha ke dalam Lumpur. “Setelah dia nggak napas, saya pulang naik ojek,” kisah Kacung polos, tanpa merasa berdosa.
Mateha sendiri sudah merasa dirinya mati. “Saya mati,” ujarnya. Tetapi nyatanya tidak. Ia tak sadarkan diri. Begitu sadar ia langsung bangun. Matahari mulai menyembul di ufuk timur. Mateha tertatih-tertatih berjalan pulang dengan wajah memar. Di tengah jalan, ia bertemu seorang polisi, yang kemudian menitipkannya ke balai desa. Kepada Adiyat, polisi itu berkata seperti ditirukan Mateha, “Tak amanna dhisik wong iki (Saya amankan dulu orang ini),” Dari kesaksian Mateha polisi lalu menciduk Kacung, Misadi, Arbai dan Mislami. Status Mateha adalah korban yang dilindungi. Kepada wartawan ia sendiri mengaku takjub akan nasibnya. Tetapi, ia sempat berkata lirih, “Saya malas nggak mati-mati.” Kemudian ia pun terkekeh-kekeh.
Kisah Mateha bukanlah fiksi. Seperti dilaporkan Majalah Tajuk (lihat Majalah Tajuk, No. 17, 1-15 Oktober 1998) ia adalah salah satu saksi (korban) hidup dalam “Geger Tukang Santet” yang merambah hampir seluruh daerah tapal kuda di Jawa Timur, mengiringi runtuhnya kekuasaan Soeharto di Jakarta pada tahun 1998. Saat itu eskalasi teror dan pembunuhan sudah meluas hampir di seluruh wilayah Jawa Timur. Terhitung ratusan korban berjatuhan dengan fitnah sebagai ‘dukun santet’. Selain Banyuwangi, yang cukup besar korbannya adalah di Jember, Situbondo, Probolinggo, Bondowoso, Pasuruan, Bangil, Blitar, dan beberapa daerah di Madura seperti Pamekasan, dan Sumenep. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU menyebut insiden tersebut sebagai “Operasi Naga Hijau” yang hendak menghancurkan kekuatan NU.
Entah apa hubungan antara kepentingan Misadi dan Arbai Cs (yang memiliki dendam pribadi) dengan kepentingan para pelaku “Operasi Naga Hijau” yang disebut-sebut Gus Dur itu. Tetapi yang tertangkap oleh publik (seperti yang digambarkan berbagai media massa) di Indonesia saat itu adalah bahwa ABRI sedang bermusuhan dengan NU. Maka tak heran bila kemudian untuk mengatasi masalah tersebut ABRI bekerjasama dengan NU menggelar apel akbar di Parkir Timur Senayan, Minggu 11 Oktober 1998. Dalam formasi yang cukup lengkap para pimpinan kedua institusi besar itu hadir dalam perhelatan akbar ini. Tak pelak, apel yang dihadiri belasan ribu nahdliyyin itu tampak seperti hendak menghapus kesan bahwa sedang ada “sesuatu” diantara NU dan ABRI. Meski yang kemudian tertangkap justru gambaran yang sebaliknya. Itulah bingkai besar (politik nasional) yang melatari pembantaian ratusan ‘dukun santet’ di Banyuwangi Jawa Timur. Perseteruan boleh jadi terjadi di Jakarta. Tetapi korbannya bisa mengambil rakyat dimana saja. Dan Misadi dan Arbai pun, hingga sekarang tak juga paham, apa hubungan tindak kekerasan yang dilakukannya terhadap Mateha dengan Apel Akbar NU-ABRI di Jakarta.
Sandera
Banyuwangi, seperti
halnya beberapa daerah lain di Jawa, memiliki sejarah yang heroik pada satu sisi, tetapi juga selalu menjadi incaran para elite kekuasaan yang lebih besar pada sisi yang lain. Ia bak sandera yang selalu hendak dicuri para angkara untuk kemudian dipertukarkan dengan kepentingan lain yang lebih besar. Kasus ‘dukun santet’ yang cukup mengerikan seperti tergambar di atas, hanyalah salah satu episode saja dari rangkaian panjang sejarah prahara yang melanda para pewaris tanah Blambangan ini. Dalam sejarahnya, wilayah Blambangan silih berganti menjadi wilayah kekuasaan Majapahit, Mataram dan Bali. Runtuhnya kerajaan Majapahit di akhir abad 15, sebenarnya membuka kesempatan daerah Blambangan untuk melepaskan diri dari kekuasaan mana pun. Namun demikian, secara tradisional raja-raja Blambangan secara genealogis masih dianggap sebagai keturunan raja-raja Majapahit.
Daerah Blambangan seperti halnya daerah lain, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit di akhir abad 15 atau awal abad 16, menjadi daerah merdeka. Namun demikian hal itu tidak berarti bebas dari ancaman penguasa daerah Jawa Timur maupun dari Jawa Tengah sebagai sentral penguasa baru setelah berhasil menunundukkan Majapahit. Demak sebagai pusat kekuasaan baru, berusaha menundukkan para penguasa daerah di Jawa Timur seperti Tuban, Surabaya, Pasuruan, Blambangan dan lain-lain. Usaha Demak untuk menaklukkan Blambangan pada tahun 1546 tidak berhasil bahkan Sultan Trenggono sebagai pemimpin ekspedisi gugur dalam pertempuran.
Ancaman terhadap Blambangan tidak hanya datang dari kerajaan-kerajaan besar. Pada tahun 1597 Masehi, Pasuruan sebagai kerajaan kecil yang memiliki kekuasaan militer yang cukup kuat, juga mengancam Blambangan. Pada tanggal 18-27 Januari 1597 Blambangan dikepung oleh pasukan dari raja Pasuruan yang berkekuatan 8.000 orang prajurit. Kebenaran berita ini diperkuat oleh catatan Cornelis de Houtman yang pada tahun 1597 Masehi berkunjung ke Bali.
Blambangan juga pernah mendapat serangan berkali-kali dari Mataram, tetapi selalu dapat bertahan. Pada tahun 1625 Blambangan diserang dengan kekuatan 20.000 prajurit, namun tidak mampu menembus Blambangan. Serangan kedua langsung ke Blambangan dilakukan pada tahun 1636-1637. Serangan ketiga tahun 1639, serangan keempat 1645-1646. Amangkurat I, pengganti Sultan Agung pada tahun 1647 masih mengirim ekspedisi ke Blambangan dan kemudian masih disusul serangan berikutnya tahun 1659. Pada saat itulah Blambangan dapat ditaklukkan oleh Mataram. Tetapi penguasaan tersebut tidak berlangsung lama. Karena pada tahun 1676 Pangerang Kedawung (Blambangan) yang bernama Pangeran Tawang Alun mulai mbalelo tidak mau menghadap ke istana Mataram.
Pada tahun 1686 Untung Suropati berhasil mendirikan kerajaan di Pasuruan. Dalam rangka meluaskan wilayah kekuasaannya ia mengincar daerah Timur, yang berarti merupakan ancaman baru bagi Blambangan. Niat ini terhalang adanya gempuran tentara Mataram dan kompeni atas Pasuruan. Namun demikian, tidak berarti Blambangan bebas dari ancaman musuh, karena Blambangan masih harus menghadapi raja-raja Bali yang berusaha untuk menguasai. Pasukan Buleleng tidak dapat ditahan oleh prajurit Blambangan, dan akhirnya pada tahun 1696 Blambangan jatuh ke tangan Raja Buleleng.
Ancaman dari timur terhadap Blambangan selain dari Bali juga datang dari Bugis yang pernah menyerbu Blambangan, namun dapat diatasi oleh Pangeran Agung Wilis. Perkembangan politik di Mataram yang ditandai dengan makin kentalnya hubungan VOC-Mataram dengan kontrak yang dibuat oleh Amangkurat I-II dengan VOC, jelas merupakan ancaman yang berbahaya bagi daerah-daerah Jawa Timur. Karena di dalam kontrak antara VOC dengan Mataram tanggal 11 Nopember 1743 tersebut antara lain menyebutkan bahwa daerah ujung timur Jawa Timur diserahkan kepada VOC. Kontrak ini jelas merupakan ancaman langsung bagi Blambangan yang pada waktu itu di bawah pengaruh Bali.
Berbagai peristiwa sejarah ini, cukup menggambarkan betapa daerah Blambangan selalu menjadi incaran raja-raja besar maupun kecil di sekitarnya. Baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Bali. Apa pengaruh perjalanan sejarah yang demikian ini bagi masyarakat yang bersangkutan? Menurut MH Sundoro dkk dari Fakultas Sastra Universitas Jember, hal demikian antara lain telah melahirkan kelompok elite masyarakat yang berorientasi pada kekuatan magis yang berada di sekitarnya. “Dan satu hal yang nampak sebagai benang merah dari sejarah Blambangan adalah keinginan (sikap) bebas merdeka dari kekuasaan mana pun, dan sikap menentang kekuasaan dari luar.” (lihat, MH Sundoro dkk, Tim Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Jember, Pangeran Agung Wilis Dari Blambangan Suatu Kajian Awal, Makalah dalam Seminar Sejarah Blambangan, 1993).
Santet
Apakah dengan demikian cukup ilmiah untuk mengatakan bahwa masyarakat Banyuwangi—dengan latar belakang sosial historisnya yang kelam—identik dengan santet? Apakah cukup argumentatif menganalogkan masyarakat Blambangan dengan santet (santet sebagai identitas kebudayaan, misalnya)? Tampaknya tidak. Santet, sebagaimana perilaku primitif lainnya, dapat kita jumpai di mana pun. Tidak hanya di tanah Jawa atau di luar Jawa saja. Jika kita menyimak film-film barat, dengan mudah akan kita lihat bahwa perilaku di luar batas nalar itu ada juga di tengah masyarakat supra modern seperti Amerika.
Lalu bagaimana masyarakat Banyuwangi sendiri memandang dunia santet yang berseliweran di sekitarnya? Mungkin jawabannya akan sangat beragam. Tetapi satu hal yang jelas, tak ada dunia kehidupan ini yang benar-benar bisa dipisahkan antara hitam dan putihnya. Seperti tergambar dalam novel Kerudung Santet Gandrung karya Hasanan Singodimayan, yang cukup jelas memaparkan apa dan bagaimana santet itu diperlakukan oleh Wong Using. Santet, dalam penggambaran Hasnan, hanya akan digunakan untuk hal-hal yang baik, misalnya untuk menambah daya tarik seseorang yang berprofesi sebagai Gandrung, seperti Merlyn, dengan niat yang baik yaitu agar semua orang senang. Tetapi pada sisi yang lain, jika ada orang berniat jahat seperti Nazirah, maka santet justru akan menghancurkan jiwa yang bersangkutan. Dan Santet, dalam novel Hasnan, bukanlah prilaku yang khas milik orang non-santri, tetapi dalam kenyataannya (seperti ditampilkan dalam sosok perempuan yang selalu mengenakan kerudung khas Muslimah, Nazirah) juga milik orang-orang yang selama ini mengaku diri sebagai santri taat.
Jadi? Bukan hal yang sulit untuk mengatakan bahwa perilaku santet (dan semacamnya) bukanlah monopoli yang khas Banyuwangi. Orang-orang Blambangan sendiri, seperti dilukiskan dalam Kitab Babad Mentaram, adalah orang yang dugdeng (kebal) yang meminjam istilahnya Sosiolog Darmanto Jatman, tidak tedhas tapak paluneng pandhe, sisaning gurindho. Jadi tentu bukan hal yang membanggakan bila hanya mampu mengalahkan lawan lewat jalan belakang seperti santet. Satu perilaku pengecut yang pasti akan dijauhi oleh para ksatria Blambangan yang terkenal tangguh—setangguh Pangeran Agung Wilis—itu. Tetapi mengapa, di tanah air kita selama ini Banyuwangi diidentikkan dengan santet? Mungkin, itulah pencitraan.
Dari prahara santet yang berulang di tanah Blambangan, satu hal yang bisa dipastikan adalah bahwa kerugian besar yang kita peroleh dari pembasmian ‘dukun santet’ yang dilakukan secara ilegal—sehingga menimbulkan korban yang tidak bersalah—adalah musnahnya budaya menghargai pluralisme. Padahal tanpa kemampuan menghargai pluralisme, pada hakekatnya sebagai bangsa kita telah hancur. Miftahuddin / Desantara