Catatan dari Blitar. Pada sebuah sore di pinggiran Kota Blitar, aku dan teman dari Forum Lenteng, Adel, berbincang dengan Mustar Lubby, pengasuh pondok pesantren Bustanul Muta’allimin tentang persiapan Sekolah Film Multikultural. Adel memulai obrolan dengan gaya Jakartanya “Jadi begini Mas, kita mau ngadain pelatihan film bla bla bla….”. Saya tersenyum geli ketika Adel menyebut kata “Mas” untuk memanggil anak dari seorang Kyai yang “seharusnya” dipanggil dengan sebutan Gus. Selesai obrolan dengan si “mas” ini, dengan mimik muka serius dan sok tahu, kujelaskan pada temanku ini tentang bagaimana etika berbicara dengan anak kyai.
Selang beberapa hari selama mengikuti kegiatan Sekolah Film multikultural di pesantren ini, Mas Lubby, anak dari KH Ahmad Chalim Zahid menjelaskan bahwa di pondok yang dipimpin oleh abahnya ini memang tidak ada panggilan Gus atau Ning bagi anak Kyai. Santri yang mondok di pesantren ini dibiasakan untuk memanggil mereka dengan panggilan Mas atau Mbak saja. Menarik bagi saya untuk melihat tidak adanya tradisi sebutan Gus di pesantren ini.
Tradisi sebutan Gus di pesantren, tak lepas dari keberadaan kyai sebagai salah satu faktor penting eksistensi sebuah pesantren. Kyai menjadi figure sentral yang membuat para santri tertarik untuk nyantri di pesantren yang didirikannya. Dengan memusatkan kegiatan pada mushola atau langgar yang dekat dengan tempat tinggalnya, seorang Kyai kemudian membangun system pesantrennya. Dalam sebuah tulisannya, Gus Dur menjelaskan bagaimana kepatuhan seorang santri kepada kyai menjadi sedemikian besar karena dengan perantara kyai inilah seorang santri mampu menemukan jalan keselamatan dunia dan akhirat. Santri yang ngangsu kawruh kepada kyai kemudian bertempat tinggal di pemondokan yang di bangun belakangan untuk menampung santri yang semakin banyak.
Pesantren kemudian menciptakan kulturnya sendiri dengan bertumpu pada interaksi antara keluarga kyai, pesantren dan santri. Pesantren dengan segala ritual dan kajiannya menempatkan waktu shalat sebagai patokannya, misalnya ketika berjanji ketemu dengan seseorang mereka biasanya mengatakan sebelum atau sesudah waktu shalat, misalnya setelah dhuhur atau setelah isya. Waktu dalam lingkungan pesantren dimampatkan dan terintegrasikan dalam praktek ritual ibadah yang menjadi kewajiban penghuni pesantren. Selain siklus waktu yang berbeda, kultur pesantren mengajarkan kepada para santri untuk mendapatkan tidak hanya sekedar ilmu tetapi juga restu (barokah) dari Kyainya. Salah satu caranya adalah dengan mencintai anggota keluarga Kyai. Inilah yang kemudian memunculkan sebutan tertentu berdasarkan otoritas keagamaan kepada anggota keluarga kyai. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mereka memberi penghormatan dengan menyebut anak kyai dengan panggilan Gus untuk anak laki-laki dan Ning untuk anak perempuan.
Lalu apa yang membuat tradisi Gus ini dihilangkan dari Pondok Pesantren Bustanul Muta’alimin? Untuk pesantren yang telah berumur lebih dari satu abad, sepertinya panggilan Gus atau Ning akan sangatlah wajar. Akan tetapi lain hal yang dipikirkan oleh Mas Lubby. Menurutnya panggilan ini merupakan bentuk penghormatan santri kepada kyainya dan bukan pada kemampuan personal seorang Gus atau Ning. Oleh karena itu konsep ini jelas tidak secara otomatis menempatkan posisi Gus atau Ning sebagai seorang alim karena runutan kesalehannya berasal dari orang lain alias dari orang tua mereka. Menurutnya, mengganti sebutan Gus dengan panggilan Mas dimaksudkan agar tidak tercipta jarak yang terlalu jauh antara santri dan anak-anak Kyai karena seyogyanya mereka memiliki hak yang sama ketika berhubungan dengan pesantren. Semangat untuk membangun kultur demokrasi di pesantren menjadi satu cerita tersendiri dalam sebuah institusi yang selama ini dianggap tidak demokratis karena dominannya peran kyai.
Berubahnya sebutan Gus dengan sebutan Mas yang lebih egaliter ini membuat pesantren ini berbeda dengan pesantren yang lain. Apakah ini menandakan terjadinya transformasi pesantren yang telah ada jauh sebelum masa kemerdekaan ini? Menilik sepak terjang pesantren merespon situasi zaman, bisa jadi ini menjadi satu bagian dari transformasi yang terjadi. Sejak masa colonial hingga geger pembantaian PKI, pesantren ini selalu mengambil peran penting dalam konteks Blitar. Begitu juga ketika Gus Dur menggelontorkan ide rekonsiliasi dengan eks-PKI, pesantren ini juga menjadi tempat pertama di Blitar yang mengadakan kegiatan bersama dengan eks tapol/napol. Kelenturan pesantren dalam membaca situasi menjadikanya mampu bertahan dan terus melahirkan pemikiran-pemikiran yang kontekstual dengan tidak meninggalkan filosofi khas pesantren.