Siapa pun mengerti bahwa hidup berpasangan dalam suatu libatan janji membina kebersamaan – yang kemudian dirumuskan sebagai hidup berumah tangga – merupakan hak setiap insan. Ia, yang kemudian difasilitasi melalui sebuah ritus perkawinan menempatkan perkawinan itu sendiri sebagai sebuah proses sekaligus peristiwa yang penting. Bahkan, teramat pentingnya peristiwa tersebut, negara pun merasa perlu untuk meregulasinya menjadi sebuah tata atur yang harus ditaati dan berlaku bagi seluruh warga negara. Tetapi kemudian, tata atur dari negara itulah yang justru menentukan “keabsahan” perkawinan, sementara tata cara perkawinan yang dilakukan menurut keyakinan komunitas tidak cukup mewakili keabsahannya.
Mungkin, bagi komunitas atau warga negara yang memeluk keyakinan dan agama mainstream di Indonesia, aturan mengenai tata cara dan keabsahan perkawinan yang harus dicatat oleh negara tidaklah menjadi problem. Selain karena agama-agama resmi tersebut merupakan agama yang “diakui”, seluruh fasilitas perkawinan pun ditujukan untuk memayungi dan berpihak pada pemeluk agama mainstream. Meskipun perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda masih menjadi problem tersendiri yang cukup rumit.
Dan kini, setelah Undang-undang No 23/2006 tentang Administrasi Penduduk (Adminduk) telah disahkan, problem lain muncul. Pasal 105 UU ini, yang mengamanatkan untuk membuat peraturan pemerintah (PP) – sebagai peraturan yang menjelaskan mengenai petunjuk teknis dan pelaksanaan perkawinan penghayat kepercayaan – pun sangat problematis. Pertama, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang tengah dibahas dengan melibatkan beberapa departemen, di antaranya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Hukum dan HAM ini hanya mencakup perkawinan penghayat kepercayaan. Ia, ditengarai tidak mencakup perkawinan komunitas lokal yang memiliki tata cara perkawinan menurut keyakinan (hukum) adat.
Kedua, terminologi penghayat kepercayaan dianggap terlalu bias jawa, sehingga akan menimbulkan rasa keberatan dari komunitas lain di luar Jawa. Ketiga, terdapat beberapa hal teknis yang masih menyulitkan bagi kelompok yang menjadi sasaran dari peraturan ini, seperti keharusan melaporkan kehendak perkawinan, izan dari organisasi kepercayaan, ketidakbolehan kawin beda keyakinan, dan lain sebagainya. Keempat, ada kesan bahwa RPP ini mengadopsi – untuk tidak mengatakan mengkopi – RPP UU No 1/1974 tentang perkawinan yang dikhususkan bagi pemeluk agama mainstream di Indonesia.
Untuk mengurai berbagai kelemahan di dalam RPP tentang pencatatan perkawinan comunitas Penghayat Kepercayaan inilah, pada tanggal 27-29 April 2007 yang lalu, Desantara bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan Tifa Foundation menggelar pertemuan dengan melibatkan beberapa perwakilan komunitas lokal, seperti Wetu Telu (NTB), Parmalim (Sumatera Utara), Kapribaden (Bekasi), Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu Indramayu (Indramayu), Dayak Ngaju (Kalimantan), Kajang (Sulawesi Selatan), Sedulur Sikep (Pati), Penghayat Karuhun Urang (Cigugur/Kuningan), Direktorat Kepercayaan dari Depbudpar, dan beberapa dari NGO yang concern di bidang anti diskriminasi.
Kritik yang terlontar dari pertemuan itu adalah masih kentaranya paradigma agama yang dipakai untuk membuat aturan mengenai pencatatan perkawinan bagi komunitas penghayat. Paradigma tersebut terlihat jelas, misalnya, dari ukuran tentang syarat dan sah/tidaknya perkawinan yang diadopsi dan atau menurut stándar perkawinan agama mainstream.
Di samping itu, seharusnya pemerintah cukup mencatat saja hasil perkawinan komunitas tanpa ikut campur dalam hal sah/tidaknya perkawinan seseorang. Seluruh peserta hanya mengharap agar pemerintah betul-betul memerhatikan keinginan komunitas lokal dan menghargai seluruh tata cara kehidupan mereka. Karena sudah saatnya bagi pemerintah untuk menempatkan komunitas lokal sejajar dengan komunitas lain yang selama ini diposisikan sebagai mayoritas dan mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa.
Untuk itu, sebelum RPP ini disahkan pada bulan Juni 2007 nanti, pemerintah diminta untuk benar-benar memerhatikan apresiasi komunitas lokal yang selama ini dibedakan dari kelompok pemeluk agama mainstream di Indonesia agar pemerintah tidak dituduh sebagai pihak yang melakukan diskriminasi bagi warga negaranya sendiri. Desantara