Pedih sudah hati Gunretno. Perjuangan menolak rencana pendirian Pabrik Semen belum mencapai hasil yang diinginkan. Bibit Waluyo sebagai gubernur Jawa Tengah yang terpilih tahun 2008, seperti kekeh (tetap pada pendirian) dengan sikapnya: Ia belum bersedia menggugurkan keputusannya sendiri yang tertuang dalam Keputusan Gubernur, bernomer, 660.1/27/2008, tentang penetapan AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan).
“Tenang Mas Gun, Sedulur Sikep tidak bakal diganggu”, Kata Joko Sutrisno, kepala Bappedal Jawa Tengah. Seperti dihamtam palu, kata-kata ini semakin membuat Gunretno terpukul. Sedulur Sikep tidak diganggu? Gumam Gunretno. Memang siapa sih sedulur sikep? Mbak Tarno adalah sosok yang suka mengggangu pikiran orang. Meskipun badannya ringkih dimakan usia, kata-katanya masih jernih, jelas dan sistematis.
Meskipun sudah terdapat puluhan buku, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah yang ditulis berbagai kalangan, makna sedulur sikep di mata Gunretno dan Tarno justru sering tidak diuraikan oleh tulisan-tulisan tersebut. Anane pabrik semen kuwi dadi keprihatinane wong kabeh sing duwe kepedulian karo keberlangsungane Gunung Kendeng, Kata Gunretno menjelaskan. Opo dulur-dulur kuwi ora dianggep sikep? Endi sing dianggep sikep lan ora kuwi kan gumantung soko opo sing ditindakno awake dhewe.(Apa saudara-saudara yang seperti itu tidak dianggap sikep? Mana yang disebut Sikep dan tidak itu tergantung apa yang dilakukan oleh diri kita sendiri, kata Gunretno menjelaskan.
Menurut Amrih Widodo, identifikasi sikep berkaitan dengan proses transformasi pedesaan sejak zaman kolonial Belanda. Ketika tanah-tanah pertanian dikoloni oleh rezim kolonial, wong sikep (petani) berubah menjadi kuli kenceng (Widodo, 1997). Perubahan ini selain menghilangkan lahan-lahan pertanian yang dimiliki petani, juga menghilangkan status pekerjaan mereka dari petani menjadi kuli (buruh).
Maka tidak mengherankan, pada akhir abad ke-19, perlawanan petani terjadi di berbagai tempat di Indonesia, khususnya di Jawa. Dari Barat, muncul perlawanan petani Banten (yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo sebagai revolusi petani), di Jawa Tengah dan perbatasan Jawa Timur, muncul perlawanan petani yang dimotori oleh Samin Surosentiko. Mbah Samin – demikian ia dikenal, melakukan aksi perlawanan terhadap rezim kolonial waktu itu. Ia memobilisasi petani-petani dari Blora, Bojonegoro, Kudus, Pati, dst, untuk menolak membayar pajak, dan mengikuti aturan yang sudah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pajak kuwi opo? Pajak kuwi papake wong sing jejek. Kata petani-petani ini. Mereka selalu menangkis aturan-aturan yang disampaikan oleh birokrat dan aparatus keamanan pemerintahan Hindia Belanda. Mereka selalu mengajak berdebat dengan memutar dan menangkis penafsiran kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Menjadi bingung dan tidak kuasa melawan perdebatan itu, pemerintah Hindia Belanda menjebloskan mereka ke pen
jara. Tokoh-tokoh mereka dibuang dan diasingkan ke tempat lain. Amrih Widodo, peneliti sosial budaya yang kini menjadi salah satu pengajar di Australian University (ANU) ini menggambarkan perang petani seperti ini sebagai perlawanan melalui medan bahasa, dimana mereka melakukan praktik penafsiran secara jamak setiap kata-kata yang diluncurkan dari pihak lawan.
Amrih Widodo menjelaskan bahwa pendekatan kalangan akademisi sering tergelincir karena narasi yang disampaikan sering merepresentasikan dari kelompok dominan (rezim yang berkuasa dan kepentingannya). Perlawanan petani ini sering dianggap sebagai kelompok liyan, asing, karena cara dan metodenya yang sering dianggap tidak lazim. Misalnya, Karl Jaspers, etnolog Belanda, menggambarkan sikap perlawanan mereka sebagai perangai abnormal, yang bertingkah laku setengah gila. Karena “ketidaklazimannya”—mengutip istilah dari pihak dominan, itu pula, Cipto Mangoenkoesomo mencatat kelompok ini sebagai aliran agama tertentu (sekte) dari komunitas Jawa.
Pada zaman Orde Baru, zaman pembangunan, pemerintah gencar melakukan proyek sekolah-isasi. Orang-orang yang dituding Samin digiring agar mereka tidak lagi melawan, dan bersedia menyekolahkan anak-anaknya. Orang-orang tua mereka diajari beragama, mereka dikawinkan massal, dan diminta memeluk agama yang sudah diresmikan pemerintah. Lukisan tentang orang-orang Samin, selalu dihubungkan dengan keterasingan, abnormal, dan ketertinggalan. “Sudah tidak ada itu, mereka sudah menjadi orang normal, sudah mau sekolah dan bahkan taat beribadah”, kata Harjo Kardi, salah satu tokoh Samin di Blora. Tentu saja karena cap dan stigma seperti ini, beberapa petani yang masih risau dan enggan menempuh pendidikan di sekolah formal semakin terisolasi. Mereka hidup dalam keterbatasan, lebih-lebih ketika petani-petani terjerat oleh sistem tidak peduli dengan kehidupan mereka. Ini adalah sepenggal kisah di dusun Bombong, ketika masa Orde Baru, aparat desa mengaja sedulur sikep untuk menyekolahkan anak-anaknya:
Sikep:Sekolah kuwi butuhe opo?(Sekolah itu gunanya untuk apa?)
Aparat: Butuhe supoyo pinter! (Supaya kita pandai)
Sikep: Lek pinter kuwi intine ben iso ngakali wong, dadek ake wong liyo rugi, sedulur sikep panggonane ora ning kono (
Sikep: Lak lek pinter terus dienggo opo
Aparat: Ben mengko oleh pekerjaan sing luweh apik
Sikep: Lah lek ngono, opo dadi petani kuwi ora dianggep kerjo?
Kisah ini menunjukkan bahwa memilih bidang pekerjaan sebagai petani adalah pilihan penting bagi mereka.
Kini muncul Gunretno. Dalam menjelaskan argumentasinya, Gunretno beranggapan bahwa pabrik semen tidak bisa mensejaterahkan masyarakat Sukolilo dan Pati pada umumnya secara keseluruhan. Pertambangan terhadap Gunung Kendeng dapat menghilangkan fungsi Karst pada batu kapur di areal Gunung Kendeng. Jika Karst hilang, dengan sendirinya hilang sumber-sumber mata air yang sampai saat ini mengairi areal sawah produktif berjumlah lebih dari 5000 Hektar. Selain itu, pertambangan dari pabrik semen akan mengancam keragaman flora fauna yang memiliki fungsi menjaga ekosistem di Gunung Kendeng. Tapi, pemerintah tidak peduli dengan alasan ini. “Saya ini bertanggung jawab terhadap 13 juta penduduk di Jawa Tengah. Fungsi industrialisasi ini adalah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mensejahterahkan masyarakat”, kata Bibit Waluyo di tengah sidang pertemuan antara warga yang dipimpin Gunretno dengan pemerintah propinsi Jawa Tengah, 11 Januari 2009.
Sebaliknya, kewajiban menjadi petani dan berusaha mencari nilai kesejahteraan sebagai petani tidak difungsikan di Sukolilo dan Pati secara umum. Pemerintah dibutakan oleh fakta, bahwa usaha-usaha Gunretno dan petani lainnya ternyata dapat memajukan kehidupan petani. Sejak tahun 2002, Gunretno aktif membentuk serikat-serikat petani. Serikat-serikat ini berhasil melakukan pompanisasi, perbaikan sistem irigasi, pengadaan pupuk, dan mengorganisasi petani untuk melakukan pertanian organik. “Masalahnya pemerintah sudah tidak pernah mendukung malah mengganggu kerja-kerja yang kita lakukan”, kata Husein, salah satu penggiat Serikat Petani Pati (SPP). SPP tahun 2005 pernah mengelola kredit petani dengan aset mencapai 1 miliar rupiah. Sayang proyek ini tidak bertahan lama, pemerintah tidak mendukung usaha ini.
Alhasil, usaha-usaha petani yang digalakkan Gunretno dan temannya selalu kandas. Berbagai jalan yang ditempuh, kalaupun bisa diwujudkan, selalu kandas tak berusia lama. “Sudahlah, pemerintah diam, tidak mengganggu saja, saya sanggup membuat pertanian di Gunung Kendeng lebih produktif dan bisa mensejahterahkan ratusan kepala keluarga”, jawab Gunretno kesal. Luas lahan Gunung Kendeng yang mau ditanam pabrik semen memang terdiri dari lahan-lahan kering bebatuan. Cocok bagi pertambangan untuk pembuatan semen. “Tapi jika pabrik dibangun, paling banter hanya menyerap 500 tenaga kerja, itupun mereka diperkejakan sebagai buruh”, kata Husein.
Persebaran gerakan petani yang kini ditafsirkan sebagai sikep ini, kini susah diintegrasikan kembali. Mereka menyebar di daerah Blora, Bojonegoro, Kudus, Pati, dan sekitarnya, terkait perubahan besar-besaran situasi pedesaan di Jawa. Di Blora, beberapa penduduk malah terkesan bangga karena kesuksesan pemerintah menghilangkan perangai-perangai petani seperti ini. “Di Kelopo Dhuwur sudah tidak ada kelompok Samin Mas, itu jaman dulu”, kata salah seorang penduduk yang sempat ditemui Desantara. Pada zaman Orde Baru, pemerintah mempromosikan gagasan “kemajuan”. Salah satu indikator kemajuan misalnya, di sektor pendidikan, adanya pemberantasan buta huruf melalui program wajib sekolah. Di sektor agama, kesediaan warganegara menjalankan agama secara baik dan benar. Kedua hal itu terasa menyulitkan sedulur sikep. Di Blora misalnya, anak-anak mereka digiring masuk ke sekolah Inpres yang dibangun di desa-desa mereka. Masjid dan Musholla dibangun untuk meningkatkan kehidupan keagamaan mereka.
Namun terkait dengan program-program ini, revolusi hijau yang dicetuskan pemerintah Orde Baru, justru meningkatkan booming pengangguran di pedesaan. Anak-anak yang sudah sebagian besar malah lari ke kota-kota. Lahan pertanian semakin ditinggalkan, karena harga komoditas nya yang semakin ambruk.
Apakah selamanya mereka akan seperti itu? Kepada siapa pertanyaan ini seharusnya diajukan?
artikel juga dimuat di omahkendeng: Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan