A. Latar depan
Dua tahun terakhir ini, komunitas suku Kenyah desa Lung Anai, kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara (38 km dari Tenggarong) tiba-tiba menjadi perhatian elite-elite Dayak yang ada di Kutai Kartanegara dalam upaya menciptakan desa budaya. Terbukti makin intensifnya kegiatan yang dilaksanakan di desa yang berpenduduk 1.080 orang ini. Sebutlah misalnya kegiatan peresmian desa budaya persiapan, dan tidak lama setelah itu dilanjutkan dengan acara pekenoq tawai (temu kangen dan silaturrahmi) suku Kenyah Lepoq Jalan se-Kalimantan Timur, Oktober 2005 silam.
Bukan hanya itu, sebagai kampung yang menyandang gelar “desa budaya”, maka ritus yang sudah puluhan tahun (sekitar 40 tahun) ditinggalkan itu, kini mulai dingat-ingat untuk dibangkitkan lagi. Rame teqo’ajao[1] (pesta panen) dan alaq tau (mencari hari baik dalam menanam padi ) misalnya adalah salah satu agenda yang diputar ulang dalam siklus kehidupan orang Kenyah di Lung Anai. Tak ketinggalan tarian yang juga sudah ditinggal lama, seperti hudoq kini tampil dalam event pada masyarakat Kenyah sub suku Lepoq Jalan ini.
Selain dua kegiatan yang bertalian dengan perladangan itu, ritual lain seperti belian dan upacara mamat bali akang (merayakan keberanian) masih menjadi perdebatan di kalangan mereka sendiri. Apakah bisa ditampilkan dalam agenda-agenda budaya atau tidak. Karena dua ritual tersebut telah lama mati semenjak mereka menganut protestan secara besar-besaran pasca huru-hara komunis tahun 1965. Kontan saja masyarakat Lung Anai tidak seperti biasanya. Mereka seringkali harus meninggalkan kegitan berladang sementara untuk mempersiapkan dan mengikuti agenda-agenda budaya yang telah ditetapkan oleh tetuah kampung.
Agenda-agenda budaya yang dihadirkan ulang ini dianggap sebagai upaya untuk membangun kembali masyarakat Kenyah Lepoq Jalan ini lewat eksotisme pariwisata yang dapat diperkenalkan kepada wisatawan mancanegara dan domestik. Misalnya yang sering dikemukakan tokoh-tokoh masyarakat Dayak seperti Samuel Robert (Ketua PDKT -Persekutuan Dayak Kalimantan Timur, Kukar dan Asisten 1 di Pemkab Kukar), Ubang (Pemda) dan yang lain, dalam berbagai acara di Lung Anai. Bahwa masyarakat Kenyah diharapkan untuk menumbuhkan kembali budaya seperti tari-tarian dan mengajari anak-anak, supaya budaya Kenyah ini tetap terpelihara. Invensi kebudayaan Kenyah ini menyimpam banyak cerita menarik terutama dilihat dari sikap dan persepsi masyarakat Lung Anai dalam menghadapi segala yang dihadirkan kepada mereka.
Ada resistensi yang agak tertutup bahkan hampir-hampir tidak kelihatan. Saya merasa beruntung bisa menemukan bagaimana masyarakat Kenyah Lung Anai menerima dengan sangat antusias proyek desa budaya yang digagas oleh elit-elit Dayak. Namun di sisi lain ada harapan dan strategi survival yang mereka terapkan dalam merebut ruang kebudayaan yang selama ini mereka kehilangan separoh dari kosmologi, akibat gempuran modernitas yang begitu rupa yang boleh jadi tak terpikirkan oleh elit-elit mereka sendiri di Tenggarong. Kompleksitas itulah yang saya tuangkan dalam tulisan ini, mengenai resistensi dan siasat yang begitu apik dimainkan oleh komunitas yang dihuni 204 KK ini. Artinya kehadiran desa budaya bisa memperkuat posisi mereka dalam merebut ruang dan tidak akan pindah lagi ke tempat lain.
Orang Kenyah Lung Anai ini awalnya adalah salah satu dusun yang ada di desa Sungai Payan, kecamatan Loa Kulu. Hunian orang Kenyah di Lung Anai ini diapit oleh kampung sebelahnya. Di hilir ada Kuntap, yang dihuni oleh mayoritas suku Tunjung Benuaq, dan di hulunya ada kampung Sentuk yang didiami oleh mayoritas suku Kutai dan Banjar. Namun semenjak Agustus 2007, dusun Lung Anai ditetapkan menjadi desa defenitif dengan embel-embel gelar desa budaya. Meski secara administratif desa Lung Anai belum memenuhi syarat untuk sebuah desa defenitif, tetapi oleh kalangan elite Dayak bisa diperjuangkan menjadi desa tersendiri.
Orang Kenyah yang mulai mendiami Lung Anai sejak tahun 1985 ini adalah salah satu kelompok migran dari dataran tinggi Apo Kayan (perbatasan Malaysia-Indonesia). Soal huru hara politik yang dikenal dengan ganyang Malaysia pada tahun 1963-1966 memaksa masyarakat ini pindah dari kampung halaman sendiri. Peristiwa GM (Ganyang Malaysia) yang dikobarkan oleh Soekarno ini ternyata menyimpan dan memperlebar persoalan, terutama ketika tentara berubah menjadi penganjur agama resmi dan penganjur kemajuan (propaganda untuk meninggalkan kampung halaman) untuk mendekati kota. Saat ini ada 22 tempat konsentrasi hunian orang Kenyah Lepoq Jalan di Kalimantan Timur semenjak mereka pindah dari Apo Kayan pada tahun 1967-1974.
Di samping soal komodifikasi kebudayaan, kehadiran mereka di Lung Anai bukan tanpa masalah. Stigma sebagai pendatang merebak begitu rupa dalam kehidupan mereka. Kebiasaan berladang bagi orang Kenyah membutuhkan areal ladang yang sudah pasti luas. Sementara mereka dianggap sebagai pendatang yang tidak punya hak untuk menguasai wilayah-wilayah tertentu di sekitar desa. Buktinya ladang-ladang mereka yang ada di hilir Lung Anai, tepatnya di Benuang statusnya adalah ladang yang dipinjamkan oleh orang Kutai, Loa Kulu. Untung saja saat ini mereka memiliki areal ladang (bekas caplokan PT. ITCI) di Jitan, sebelah hulu sungai Jitan, bekas himba (rimba) yang dulu mereka garap waktu awal-awal kedatangannya di Lung Anai.
Desa budaya adalah salah satu kesempatan yang dipergunakan oleh orang Kenyah ini untuk memastikan kepemilikan secara sah dengan konsep desa budaya yang mesti punya keterkaitan dengan ladang. Artinya tidak ada desa budaya tanpa memiliki areal ladang. Begitu juga dengan areal perkampungan mereka yang nantinya akan disertifikasi oleh kepala desa yang baru terpilih itu.
Pada sisi lain, diaspora suku Kenyah ini menjadi ide menarik bagi sebagian elit-elit Kenyah untuk mempertemukan mereka dalam sebuah temu kangen bagi mereka yang berasal dari Apo Kayan dalam acara pekenoq tawai. Pertemuan itu pada intinya mengajak bagaimana orang Kenyah untuk tetap menjaga kekerabatan dan persatuan dalam menghadapi era berikutnya yang semakin kompleks. Sejauh ini, pekenoq tawai sudah terselenggara dua kali. Pertama berlangsung di desa Tepian Buah, kabupaten Berau, 28-30 Oktober 2004, dan kedua di desa Lung Anai, Kutai Kartanegara, 28-30 Oktober 2005. Meski pertemuan ini sarat dengan kepentingan ekonomi politik para elit. Namun demikian, masyarakat Kenyah Lepoq Jalan malah memanfaatkan untuk bertemu dengan kerabat sembari saling lepas kengen dan saling memberi kabar tentang keadaan keluarga masing-masing yang sudah terpisah-pisah itu.
Pekenoq tawai berikutnya yang direncanakan diadakan di Tenggarong malah mengundang banyak tanya di kalangan komunitas Lepoq Jalan sendiri tentang efektifitas serta melencengnya tujuan utama pertemuan itu sendiri. Masyarakat Lepoq Jalan misalnya di Lung Anai menginginkan supaya pekenoq tawai diadakan di Long Segar, Kutai Timur. Tetapi harapan itu sirna kerena elit Dayak Tenggarong sudah menetapkan pertemuan itu di Pulau Kumala pada Oktober 2007.
B. Deskrepsi geografis dan demografis
Orang Kenyah Lepoq Jalan menghuni desa Lung Anai di salah satu pinggiran Sungai Jembayan (anak sungai Mahakam). Posisi perkampungan ini tidak lagi mengikuti pola ruang seperti kampung-kampung di sebelahnya yang membentang mengikuti alur sungai. Pemukiman orang kenyah ini malah membentuk pola huruf T yang tidak mengikuti alur sungai. Orang Lung Anai juga tidak memiliki lagi rakit jambang di sungai. Aktifitas mandi dan mencuci tidak lagi dilakukan di sungai sejak air dari pegunungan mengalir ke rumah masing-masing sejak tahun 1994.
Pada awalnya suku ini mendiami dataran tinggi Apo Kayan yang saat ini dikenal sebagai kawasan Long Nawang dan Long Ampung, kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Bermula dari peristiwa Ganyang Malaysia, kelompok Apo Kayan ini bermigrasi ke berbagai daerah di Kalimantan Timur. Suku Kenyah ini juga sebagian mendiami negara Malaysia. Dalam laporan ketua panitia pelaksana pekenoq tawai yang diselenggarakan di Lung Anai pada Oktober 2005 disebutkan bahwa saat ini ada 22 tempat konsentrasi hunian orang Kenyah Lepoq jalan di Kalimantan Timur, semenjak mereka pindah dari Apokayan pada tahun 1967-1974. Di ataranya desa-desa yang besar penduduknya seperti Data Bilang, kabupaten Kutai Barat, Tepian Buah, kabupaten Berau, Sentosa, Gemar Baru dan Long Segar di Kabupaten Kutai Timur. Ritan kecamatan Tabang, Lekaq Kidau, Sungai Bawang, dan Lung Anai di kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam pertemuan pekenoq tawai di Lung Anai itu, tidak diketahui jumlah pasti dari masing-masing penduduk desa yang dihuni oleh orang Lepoq Jalan tersebut.
Pola khas lain yang dimiliki oleh pemukiman Lung Anai ini, terlihat tepat di ujung kampung ada jalan raya bekas jalan perusahaan pengelola kayu PT. ITCI. Jalan ini menghubungkan Lung Anai dengan ibukota kecamatan Loa Kulu, sepanjang 25 km. Dan sejak Januari 2007, jalan ini dilakukan pengerasan (belum hotmiks). Orang-orang Kenyah sudah lebih intensif menggunakan jalan raya ini ketimbang lewat sungai dengan alasan murah dan efisien. Papa Awek, salah seorang warga kampung misalnya saat ini lebih memilih menggunakan sepeda motor ketika bepergian ke luar (kecamatan) ketimbang ketingtingnya (perahu kecil bermuatan 5-6 orang bermesin 6 PK). Karena dianggap lebih murah. Jika lewat sungai menggunakan ketinting biayanya bisa mencapai Rp.50.000, (PP) dengan sepeda motor cukup 2 liter bensin ia bisa menggapai ibukota Kecamatan. Sementara sewa dengan menggunakan mobil angkot Rp.15.000,-.
C. Riwayat migrasi orang Kenyah Lepoq Jalan, Lung Anai
Salah satu suku yang mendiami Apo Kayan adalah Suku Kenyah[2] Lepoq Jalan. Kawasan ini juga berbatasan langsung dengan Malaysia. Dulu mereka hidup berkelompok-kelompok dalam sebuah sistem umaq. Di kawasan tersebut paling tidak ada 12 umaq[3] (rumah panjang). Dan dalam setiap umaq dihuni oleh berpuluh bahkan beratus-ratus kepala keluarga.
Peristiwa Ganyang Malaysia pelan-pelan membuat gelombang migran besar-besaran dari tanah leluhur mereka. Tidak ada informasi persis berapa gelombang migran dari Apo Kayan tersebut ke wilayah-wilayah yang cocok untuk hunian. Diaspora ini berlangsung begitu mengerikan, karena tak ada satu orang Kenyah pun yang tahu persis ke mana daerah yang akan dituju.
Dalam ingatan Mama Pirin, salah seorang warga Lung Anai, ketika pindah dari Apo Kayan menuju Lung Anai ada delapan titik tempat yang pernah dilaluinya. Ia tidak ingat persis tahun berapa, saat itu ia masih gadis. Pertama ia meninggalkan Apo Kayan beserta rombongannya yang berjumlah ratusan orang. Umaq Lung Tisai disebut-sebut sebagai kelompok yang pertama pindah yang mencapai 200-an kepala keluarga. Disusul kemudian dari umaq Lulau dengan 50-an kepala keluarga, Umaq Sungan dengan 50 kepala keluarga, lalu berangsur-angsur dari kelompok lain mengikuti perpindahan ini yang semakin banyak. Bagaimana awalnya mereka pindah. Kita dengar kesaksian Tameng Dion, salah seorang tetuah kampung.
”Waktu berangkat dari Apo Kayan, umur saya sekitar 25 tahun. Kami pindah karena ada semacam himbauan dari pak Camat Long Nawang saat itu untuk segera pindah bagi yang mau pindah. Kami memilih pindah meski sedih juga rasanya meninggalkan kampung Apo Kayan itu. Kami ada 500-an orang dalam satu rombongan. Perpindahan ini ada yang sampai cerai dengan suami atau istrinya karena ada yang mau pindah dan ada yang mau tetap di Apo Kayan. Kepala adat sebenarnya tidak menginginkan pindah, tetapi kami tidak peduli. Kami diam-diam saja meninggalkan lamin itu, demi untuk mengikuti anjuran pak Camat.”[4]
Pola diaspora mereka tidak satu. Ada beberapa tempat yang menjadi jalur perpindahan kolosal suku Kenyah ini. Salah satunya jalur perjalanan mereka seperti yang dilakukan kelompok Lung Tisai. Dari Apokayan mereka menuju Jeng yang masih dalam wilayan Long Nawang. Perjalanan menuju Jeng ditempuh sekitar satu bulan dengan menyusuri sungai Kayan dan sungai Lamp ke hilir. Di Jeng mereka bermukim selama tiga tahun. Di sana mereka berladang sambil membuat perahu sebagai persiapan untuk digunakan dalam perjalanan selanjutnya. Setelah mereka merasa yakin, perjalanan pun dimulai lagi menuju Lekaq Way dengan menyusuri sungai Luy. Mereka berdiam di salah satu pinggiran sungai Lekaq Way sekitar sepuluh tahun. Selain berladang di Leqak Way ada pekerjaan baru mereka dengan menjadi penambang mencari butiran emas. Di tempat ini pula mereka mulai ada kontak-kontak dengan orang lain seperti pembeli hasil tambang emas yang mereka sebut sebagai orang China. Selain itu mereka juga ada yang menjual sampai ke Samarinda.
Dianggap tidak cocok di Lekaq Way, mereka lalu melanjutkan perjalannya ke Belinau dengan melewati tempat yang bernama Sule, kecamatan Long Nawang. Belinau adalah sebuah tempat yang sudah dihuni oleh orang-orang Punan. Mereka diterima dengan hangat dan ramah oleh orang Punan. Dengan memberi sebagian lahan untuk berladang. Meski demikian, mereka masih tetap berkeyakinan perjalanan masih harus dilanjutkan. Mereka lalu berjalan kaki ke hulu sungai Tabang, Kutai Kartanegara. Di hulu Tabang, mereka mulai mengenal perusahaan Kayu yang dulu dikenal dengan peristiwa Banjirkap.
Mereka terus berjalan lalu mendapati sungai Pedohon. Di sana mereka bermukim sekitar dua tahun. Setelah itu, mereka menuju daerah hunian Lulau Lupa yang mereka huni dua tahun lamanya. Tak berhenti sampai di situ, mereka kemudian menyusuri sungai Atan menuju daerah hunian Gemar Lama, kecamatan Muara Ncalong, Kutai Timur. Di tempat ini sepuluh tahun lamanya mengasah hidup. Tetapi mereka belum lelah, lalu pindah lagi ke Gemar Baru yang juga dihuni selama sepuluh tahun. Tahun 1985 dan 1986 orang Kenyah melanjutkan lagi petualangan yang luar biasa ini ke Lung Anai, kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara.
Di Lung Anai ada beberapa kelompok migran Apo Kayan yang berbeda-beda. Saya mengingatnya dengan pola tujuan akhir sebelum mereka sampai di Lung Anai. Orang Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai masing-masing berasal dari Long Segar, Gemar Baru, dan Sentosa, Kutai Timur. Dan belakangan pindahan dari Datah Bilang pada tahun 2006, kabupaten Kutai Barat. Mengenai itu, Pelujuk, kepala adat desa Lung Anai menjelaskan:
Waktu kami pindah dari Apo Kayan, ada sekitar 500 ratus orang. Kami pindah ke hilir hingga ke Long Segar. Bertahun-tahun kami di dalam perjalanan. Pindah ke Long Anai ini gara-gara pak desa kami di Long Segar dulu menerima pekerja untuk sawit dan kelapa hibrida. Jadinya, warga terbelah tidak ada lagi persatuan di sana. Kami merasa sulit untuk tetap bertahan bersama. Lalu kami berkeinginan untuk pindah. Awalnya kami dalam keluarga yang mencapai 25 KK. Setelah itu beberapa dari kami melakukan survey di sekitar Lung Anai ini, apakah cocok untuk dihuni. Setelah kami merasa yakin, maka pada tahun 1985 kami lalu pindah ke sini.[5]
Awalnya Lung Anai tidaklah di sebut Lung Anai. Perkampungan ini dulu dikenal dengan Tanah Merah. Kedatangan orang Kenyah di hulu sungai Jembayan ini diawali oleh beberapa orang tetuah Kenyah. Seperti Pelujuk dan Pangit, yang melakukan survey sebelum mereka memastikan apakah Lung Anai layak dijadikan hunian. Awalnya mereka memilih di Gitan (dua jam perjalanan ketinting, atau cas bermesin 6 PK dari Lung Anai), yang berada di hulu Lung Anai. Di hulu Jonggong mereka ketemu dengan orang-orang Dayak Basap yang sudah menghuni kawasan Gitan dan sekitarnya. “Kami minta tanah sama orang Basap, mereka katakan oh bisa, bisa saja di sini. Tanam saja. Kami tanam singkong banyak-banyak, setelah itu kami kembali ke Long Segar mengambil keluarga untuk pindah ke sini”, ujar Pelujuk.
Gitan dianggap sebagai kawasan yang cocok untuk aktifitas perladangan. Di Lung Anai mereka mendirikan pemukiman, sementara Gitan dijadikan kawasan tempat mereka berladang. Daerah hunian Lung Anai kini dianggap sebagai hunian yang cocok. Maka satu-persatu banyak keluarga yang berminat untuk ikut pindah ke Lung Anai.
C.1. Datah Bilang: datang lagi, pindah lagi
Akhir Mei 2006, masyarakat Kenyah Lung Anai, menyambut kedatangan 26 KK dengan 100 jiwa dari Datah Bilang Ilir, kecamatan Long Hubung, Kutai Barat. Acara penyambutan berlangsung di lamin adat desa. Dalam kesempatan itu mereka saling menukar mandau (parang khas Dayak) antara penduduk Lung Anai dengan mereka yang baru datang itu. Ini sebagai simbol untuk saling membantu dalam mengarungi kehidupan selanjutnya. Mereka akan mendiami hunian baru dekat desa Lung Anai. Keputusan pindah ini terpaksa dilakukan karena semakin terdesak dan sempitnya lahan berladang dan perkebunan mereka yang ada di Datah Bilang Ilir.
Rencana perpindahan ini dilakukan secara bertahap dan bergelombang. Tahap pertama, kaum laki-laki lebih dulu berangkat ke Lung Anai. Kaum laki-laki ini bertugas sebagai pembuka hunian dan ladang baru. Setelah pondok-pondok tersedia dan ladang-ladang dianggap siap dan bagus untuk ditanami, kemudian kaum perempuan menyusul untuk bergabung dengan kaum laki-laki yang sudah berada lebih dulu di Layapan.
Perjalanan dari hulu (Datah Bilang ilir) ke hilir (Lung Anai) terbilang susah. Lama dan mahal. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 37 jam dengan menggunakan kapal taxi. Dari Datah Bilang, mereka menyusuri aliran sungai Mahakam dan berhenti di hilir sungai Jembayan. Dari Jembayan, mereka meneruskan petualangan menuju perkampungan Dayak Kenyah di Lung Anai. Di sana, mereka tinggal sekitar satu minggu sambil membuat perahu ketinting. Satu persatu perahu selesai mereka buat, kemudian perjalanan dilanjutkan ke tempat hunian baru yang dikenal dengan nama Layapan. Perjalan tiga jam dengan menggunakan ketinting dari Lung Anai ke hulu sungai Jembayan.
Selama orang-orang dari Datah Bilang berada di Lung Anai, mereka mendapatkan jatah beras dari lumbung desa yang memang banyak tersedia. Bagi masyarakat Kenyah, saudara yang baru datang tidak ada bedanya dengan orang-orang yang ada di kampung. Mereka mendapat bantuan dari warga setempat. Bahkan bahan-bahan makanan pokok dianggap sebagai milik bersama.
Setelah sepuluh hari singgah di Lung Anai, kini mereka tiba di hunian baru yang mereka tuju. Mereka menganggap tempat ini layak dijadikan hunian karena masih banyak lahan kosong untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan berladang. Mereka lantas mendirikan pondok-pondok sementara untuk sekedar ditempati bernaung dari hujan dan panas. Di Layapan ini mereka lalu membuka ladang-ladang baru. Namun belum lagi seminggu membuka ladang, orang-orang Dayak Basap menyuruh mereka menghentikan aktifitas pembukaan ladang ini. Layapan adalah tempat yang berdekatan dengan komunitas Dayak Basap. Di hulu Layapan terdapat lahan HTI (Hutan Tanaman Industri) milik PT. ITCI yang banyak menebangi pohon-pohon di Layapan.
Saat ini, sambil menunggu negosiasi baru antara mereka (Kenyah) dengan Basap (penduduk yang berdekatan dengan Layapan) mereka memilih mencari kayu, sisa dari perusahaan ITCI untuk sekedar mereka dapat bertahan hidup. Pilihan hunian di Layapan ini dilakukan setelah sebelumnya mereka melakukan pembicaraan dengan orang Basap di Jonggon. Namun entah mengapa tiba-tiba orang-orang Dayak Basap di Jonggon menyuruh menghentikan pembukaan ladang-ladang di tempat itu. Saat ini beberapa tokoh Dayak Kenyah tengah mengadakan pembicaraan ulang dengan penduduk setempat. Mereka berharap agar masyarakat di Jonggon mau menerima mereka.
Layapan bukanlah satu-satunya daerah yang menjadi pilihan orang Dayak Kenyah di Datah Bilang Ilir yang diharapkan dapat menampung mereka. Beberapa tempat yang telah mereka tinjau dan mengadakan pembicaraan dengan masyarakat yang berdekatan dengan rencana pembukaan hunian baru. Misalnya di pedalaman Berau dan Sangatta juga telah ditinjau. Layapan adalah tempat pertama yang dituju untuk hunian baru mereka.
Tradisi berpindah hanya dikala mereka berladang. Bukan berpindah kampung. Ladang yang sudah ditinggal beberapa tahun dan dibiarkan ditumbuhi pepohonan untuk dapat menemukan kesuburan kembali. Setelah dianggap lahan itu subur, maka kembali digarap. Sistem wilayah hunian (perkampungan) Dayak Kenyah tetap dalam kosmologi yang terstruktur yang berada dalam wilayah tertentu. Rangkaian peristiwa yang mengerikan ini, membuat mereka harus meninggalkan kampung halaman.
Komunitas Dayak Kenyah misalnya di Datah Bilang Ilir, semenjak tahun 1963 sudah mulai meninggalkan Apo Kayan yang menjadi tempat para leluhur mereka sejak ribuan tahun yang silam. Udau Usat almarhum, mantan kepala adat suku Kenyah di Datah Bilang dipercaya oleh masyarakatnya untuk mengorganisir proses perpindahan besar-besaran dari Apo Kayan menuju ke hilir untuk mencari hunian baru. Tahun 1974 mereka mendapati hunian baru di Datah Bilang. Tahun 1976 mereka mendapat program re-setlement penduduk dari pemerintah. Mereka dibuatkan rumah-rumah individu sekalian disuruh untuk meninggalkan lamin. Desa Datah Bilang Ilir berpenduduk 225 KK dengan 1.500 jiwa. Namun perpindahan dari Apo Kayan menuju Datah Bilang (terhitung sekitar 6-7 kali berpindah), bukanlah hunian yang terakhir. Ternyata mereka harus pindah lagi ke Layapan, kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara yang belum tentu juga hunian terakhir mereka.
Belakangan karena tidak mendapat ijin dari orang-orang Basap di dekat Jonggon, mereka kembali terpencar-pencar. Ada yang ke Jahab kecamatan Tenggarong mencari ladang-ladang baru. Ada yang tinggal di Lung Anai, bahkan ada yang kembali ke Datah Bilang lagi.
Migrasi yang dilakoni oleh suku Kenyah ini cukup menghentakkan jiwa bagi mereka yang pernah mendengarnya. Betapa tidak, perjalanan ini menempuh ribuan kilometer, melewati gunung, goa, sungai, hutan belantara selama berpuluh-puluh tahun. Hanya untuk beberapa tujuan. Sebuah jawaban yang terkesan seragam. Mencari kehidupan yang lebih maju, mendekati pusat garam, minyak, anak-anak bisa sekolah, mendekati rumah sakit. Karenanya mereka harus ke hilir, lebih mendekati kota. Tetapi tidak serta-merta tujuan ini begitu saja terlaksana. Harapan tak seindah impian. Di dekat kota malah menuai banyak masalah. Maka tak heran Wek Pirin bertutur:
Kita anggap dulu mendekati kota supaya enak, aman, dan kebutuhan hidup tetap terpenuhi. Tetapi setelah di sini kami malah merasa tidak terlalu aman.[6]
C. 2. Pekenoq tawai: reuni alumni Apo Kayan
Pertemuan masyarakat Kenyah Lepoq Jalan ini yang disebut pekenoq tawai (melepas rindu). Betapa tidak setelah mereka pindah dan terpencar-pencar ke berbagai tempat, maka pekenoq tawai adalah cara yang tepat untuk mempertemukan warga yang telah tercabut dari tanah leluhur mereka sendiri. Maka sebagian elit Dayak Kenyah, khususnya mereka dari Lepoq Jalan memandang penting untuk mempertemukan dalam sebuah acara yang dihadiri oleh masyarakat Lepoq Jalan.
Pekenoq tawai pertama digelar di desa Tepian Buah kabupaten Berau, Oktober 2004. Hadir pada saat itu tokoh-tokoh Kenyah seperti Jiuhardi, Ibrahim, Getzmani Zeth, dan sebagainya. Sembari menyerukan dalam sambutan-sambutan mereka tentang pentingnya orang Dayak bersatu. Begitu pula ketika pekenoq tawai kedua yang berlangsung di Lung Anai Oktober 2005. Ribuan masyarakat Kenyah hadir dalam acara lepas kangen itu. Mereka saling bercerita, merunut kisah masa silam, memperkenalkan anak-anak mereka kepada kerabat yang baru pertama kali berjumpa.
Pada kesempatan itu pula, elit Kenyah menyerukan untuk kembali menggali kembali tradisi-tradisi masa lalu. Mereka kembali menjadwalkan pekenoq tawai selanjutnya akan diselenggarakan di Tenggarong. Pekenoq tawai tidak lagi sekali setahun, tetapi dua tahun sekali. Namun masyarakat Kenyah Lung Anai merasa tidak cocok jika saja pekenoq tawai berikutnya diadakan di Tenggarong pada 2007 ini. Karena bagi mereka tidak layak pertemuan ini diadakan di kota. Lebih tepat diadakan di kampung. Di samping mereka lebih akrab juga lebih menyatu dalam sebuah tempat. Konon nuansa politik menjelang pilkada Gubernur Kalimantan Timur 2008 disebut-sebut sebagai biangnya, sehingga dijadwalkan akan diadakan di Tenggarong. Tentang ini Baun (32 tahun) seorang perempaun Kenyah bercerita:
Kami tidak tahu maksudnya kenapa pekenoq tawai diadakan di Tenggarong. Mana bisa kita ketemu-ketemuan dengan baik. Di Tenggarong itu katanya pertemuannya di balai yang ada di Pulau Kumala. Yang ada saja kendaraannya yang bisa pekenoq tawai. Susah juga yah kalau begitu, padahal orang kampung di sini menginginkan pekenoq tawai diadakan di Long Segar, Kutai Timur. Katanya para amai (bapak) di Tenggarong nanti tahun berikutnya baru dilaksanakan di Long Segar[7].
Kabar terakhir tentang pekenoq tawai di Tenggarong ini disebut-sebut tidak jelas apakah jadi pelaksanaannya atau tidak. Namun kebanyakan orang-orang Kenyah yang saya temui mengaku tidak tahu persis tentang acara pekenoq tawai ini.
C. 3 . Berawal dari ganyang Malaysia
Penjelasan Ungau Njau yang pernah membantu pasukan Indonesia dalam peristiwa Ganyang Malaysia ini, sedikit demi sedikit bisa menguak berbagai soal yang terjadi pada masyarkat Kenyah ini. Bagi Ungau Ndjau, gelombang pasukan tentara ke Apo Kayan terbagi pada tiga tahap. Ganyang Malaysia pertama pada tahun 1964 di bawah komando Letnan Dua Rudi Manoppo. Meski sebetulnya sejak tahun 1963, tentara Indonesia-Gurka Malaysia sudah terjadi kontak-kontak senjata di front perbatasan.
Kedua, tahun 1965 dipimpin Zainal Basri Palaguna, dan ketiga pada tahun 1966 dikomandoi Herman Musakabe. Nah, gelombang tentara inilah yang berubah menjadi penganjur agama. Herman Musakabe disebut-sebut di samping sebagai penganjur beragama, juga penganjur untuk pindah dari Apo Kayan. Menurut Tingai Bilung, seorang warga Lung Anai, suatu saat Herman Musakabe pernah mengumpulkan warga Apo Kayan lalu ia berpidato menghimbau kepada masyarakat untuk pindah dari Apo Kayan mendekati kota. Karena Apo Kayan dianggap tidak punya peradaban, hidup susah, keperluan hidup lainnya sulit diperoleh, seperti garam, minyak, dan sebagainya. Dan yang tak kalah pentingnya juga anak-anak perlu untuk bersekolah agar kelak nanti mereka maju.
Riwayat konfrontasi antar militer Indonesia sendiri konon dimulai dengan pengiriman pasukan cakrabirawa yang disebut-sebut beridiologi komunis. Huru-hara politik di Jakarta pada tahun 1965 yang membuat peta tentara di perbatasan juga berubah sesaat setelah Soeharto menggeser posisi Sokarno. Pasukan berikutnya yang dikirim adalah pasukan republik. Pasukan ini bukannya melawan tentara gurka Malaysia, tetapi segera membersihkan pasukan cakrabirawa. Menjadilah Apo Kayan itu sebagai medan pertempuran dua faksi tentara yang berbeda. Di samping itu masalah juga muncul ketika tentara Indonesia menggunakan orang setempat (suku Kenyah) sebagai pasukan sukarela untuk menyerang Malaysia. Hal yang sama juga dilakukan tentara gurka (Malaysia) menghimpun pasukan relawan untuk menyerang Indonesia. Terjadilah perang antar sesama Kenyah. Hal ini pulalah yang memicu banyak soal di daerah perbatasan.
Naiknya Soeharto ke tampuk pimpinan nasional pelan-pelan membuat ketegangan Indonesia-Malaysia mereda. Soeharto bukan hanya meredakan perang di perbatasan, tetapi segera setelah ia menjabat sebagai presiden orang-orang Malaysia[8] malah menjadi investor pemegang HPH di Kalimanatan Timur pada tahun 1970. Setelah sebelumnya hutan Kalimantan dieksploitasi oleh orang-orang Jepang yang dikenal dengan peristiwa banjirkap (1967-1970).
Perilaku para tentara di perbatasan juga dirasakan oleh Pui Pubun (67 tahun) yang mengatakan bahwa yang menyuruh kita pindah dari Apo Kayan adalah pemerintah. “Saya merasa yang nyuruh kita pindah orang pemerintah”, tutur Pui Pubun. Meski ia merasa bahwa Apo Kayan adalah negeri yang sangat menyenangkan. Sungainya jernih, ikan banyak dan lezat, begitu juga sayur-sayurnya yang punya rasa khas. Yang ia tidak temukan semenjak kepindahannya dari negeri Apo Kayan. Pui Pubun beromantisme tentang Apo Kayan. Ia katakan:
Luar biasa orang-orang kami dulu waktu pindah. Saya merasa begitu menderita pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Rasanya dulu di Apo Kayan di banding dengan saat kami pindah hingga saat ini di sini, ikan dan pucuk (sayur-sayuran) berbeda betul rasanya. Apo Kayan begitu nikmat ikan dan pucuknya. Mungkin karena tanahnya yang subur.[9]
Begitu Juga kesaksian Ungau Njau bagaimana ia merasakan perpindahan:
Kami bukan orang pertama yang pindah. Sudah ada rombongan lain yang sudah duluan pergi dari Apo Kayan. Karena saya ditugaskan di perbatasan Long Nawang sebagai relawan. Setelah itu ada komandang GM. Rudi Manoppo namanya, bilang kalau bapak mau pindah sekarang boleh. Tergerak hati saya. Kami pun meninggalkan Long Ampung. Kami jalan kaki turun gunung, naik gunung. Masuk lembah, keluar lembah. Bikin perahu lewati jurang dan sungai. Bikin pondok, lalu dibongkar lagi. Kami sengsara, benar-benar sengsara. Sedih rasanya kalau saya ingat itu semua.[10]
D. Riwayat tanah di Lung Anai
Bagi masyarakat Dayak Kenyah, ladang adalah pola pertanian yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Salah satu yang membedakan dengan masyarakat Kutai, adalah pengelolaan lahan pertanian seperti ladang yang relatif luas. Masyarakat Kenyah Lung Anai sejak awal menggarap tanah-tanah di Gitan. Sebuah areal yang dulu diklaim oleh perusahaan ITCI. Areal ladang di Gitan menjadi rebutan antara Komunitas Kenyah dengan perusahaan ITCI. Bagi masyarakat Kenyah Lung Anai, kawasan Gitan adalah sebuah kawasan yang tak bertuan, yang mereka kelolah sejak kedatangan pertama. Karenanya mereka beranggapan memiliki hak atas pengelolaan tanah tersebut. Tetapi bagi ITCI, kawasan tersebut adalah daerah milik mereka. Orang-orang perusahaan pun menebarkan dimana-mana cat merah bertuliskan milik perusahaan ITCI. Tetapi perilaku ini dilawan oleh masyarakat Lung Anai. Tentang ini Papa Wek menjelaskan:
Dulu, di sekitar kampung ini tiba-tiba ada tanda cat merah bertuliskan ITCI dimana-mana. Himba-himba (hutan rimba) itu dicaplok sama mereka. Kami yang kerja dalam hutan mencari hasil-hasil hutan setiap saat, pasti merasa tersinggung. Siapa yang tidak jengkel atas perlakuan seperti perusahaan itu yang katanya mengembangkan HTI (Hutan Tanaman Industri) itu. Mereka menggunakan orang yang berseragam loreng, ya tentaralah. Mereka terus mengawasi kerja kami di dalam hutan. Sekali waktu kami warga kampung mendengar kabar bahwa tentara akan menyerang perkampungan. Untunglah tidak ada penyerangan dan hal itu menjadi kabar semata. Sebetulnya mereka marah karena kami mempertahankan himba-himba itu. Untung saja kami dulu bertahan supaya ITCI tidak menghabisi himba, kalau tidak ladang yang kami garap saat ini sudah tidak subur lagi, atau bahkan sudah tidak ada lagi [11].
Selain di Gitan, orang Lung Anai juga mengelolah ladang-ladang yang ada di hilir, tepatnya di Benuang. Ladang-ladang ini mereka pinjam dari orang-orang Kutai di Jembayan. Pada tahun 2002, mereka menggarap tanah di Benuang. Awalnya pak Gedion, seorang pria Kenyah bertemu dengan pak Hamzah, seorang Kutai dan pegawai sekretaris desa Jembayan yang juga pemilik tanah di Benuang sekitar 20 Ha. Lalu dari pembicaraan mereka, pak Hamzah kemudian meminjamkan dan memberi izin untuk menggarap tanah ini. Bahkan sebelum mereka garap tanah itu, pak Hamzah di bawah ke lokasi untuk menunjukkan batas lahan-lahan miliknya.
Menurut pengakuan orang-orang Kenyah, awalnya tanah-tanah ini pertama kali digarap oleh orang-orang Pasir dan juga orang-orang Tunjung. Kemudian sebagian kepemilikan tanah beralih ke Pak Hamzah. Bukan hanya pak Hamzah, tetapi nama seperti pak Ismail dan pak Jai kerap mereka sebut-sebut sebagai pemilik lahan. Bahkan pak Gedion sendiri mengaku sudah membeli tanah milik pak Ismail seluas 3 Ha, dengan harga Rp. 600.000,-/hektarnya. Sekarang tanah itu dijadikan kebun pisang, setelah sebelumnya dia jadikan ladang. Lain lagi dengan pak Panye (68 tahun). Tahun lalu juga membeli tanah dari pak Jai, seluas 2 Ha dengan harga Rp. 650.000,-/hektar. Itupun pak Jai tidak mengukur tanah itu dengan jelas dan ia mengaku membeli dari hasil panennya. Tanah itu sekarang ada di hilir dan tak terurus lagi. “Untuk membeli tanah saat ini rasanya tak sanggup lagi”, kata pak Panye.
Lahan-lahan di Benuang dalam statusnya dipinjamkan. Dan hanya bisa ditanami tanaman jangka pendek seperti jagung dan padi ladang. Bisa saja ditanami kalau pengelolah tanah mau berbagi hasil 40-60 dengan pemilik lahan. Andaikata ada orang yang membeli tanah, sementara masih dalam garapan maka pengelolah tanah harus memberikan kepada pemilik dengan pembagian 60 % bagi pengelolah tanah dan 40% bagi pemilik. Menurut pengakuan pak Din, pak Hamzah terbilang pintar karena katanya sekarang ini ada aturan tanah-tanah yang lama tidak dikelolah dan digarap bisa menjadi tanah negara. Makanya ia memberikan izin dan menyuruh mengelolah tanah-tanah ini. Begitu pun dengan kesaksian pak Luat yang menyebut bahwa jauh sebelum kedatangan mereka, sebagian kawasan di Benuang sudah digarap oleh suku Pasir dari Grogot. Suku Pasirlah yang disebut-sebut kelompok pertama yang merintis dan membuka hutan rimba untuk dijadikan lahan bercocok tanam. Entah apa sebabnya, orang-orang Pasir meninggalkan begitu saja lahan-lahan yang mereka garap. Setelah di tinggal pergi oleh orang Pasir, giliran suku Tunjung Benuaq yang mengelolah tanah-tanah di Benuang. Kembali lahan-lahan di Benuang ini ditinggal pergi oleh orang Benuaq. Konon mereka pergi ke hulu Mahakam. Belakangan suku-suku lain ikut menggarap tanah di Benung seperti Kutai, Banjar, bahkan ada juga Bugis.
Riwayat pengelolaan tanah inilah yang membuat masyarakat Kenyah tak berdaya apa-apa. Karena belakangan banyak klaim atas kepemilikan tanah di Benuang. Padahal bagi masyarakat Kenyah, tanah yang sudah ditinggal lama dan tidak ada penanda-penanda tertentu atas pengelolaan tanah adalah wilayah yang bisa digarap. Tetapi sikap ini malah banyak mengundang masalah. Sikap mereka yang terakhir mengikuti atas segala klaim tanah tersebut, dengan sikap rela meminjam, atau membeli.
Tumpan-tindih kepemilikan tanah-tanah di Lung Anai pernah dirasakan oleh keluarga Mance, seorang warga Lung Anai yang membeli tanah perkebunan yang tidak jauh dari pemukiman Lung Anai (30 menit jalan kaki). Belakangan ada orang lain lagi yang datang yang menyebut bahwa tanah yang barusan dibelinya adalah status tanah pinjam, karenanya mereka harus merelakan kembali untuk tidak dimiliki. Seperti pengakuan Mance:
Saya beli tanah ini sama orang Tunjung dengan harga Rp. 300.000,- seluas 200 m/segi. Waktu itu harga gula pasir masih Rp. 1.800,-/Kg. Tanah di sini waktu kami pertama datang rasanya memang sudah ada yang punya, artinya ada yang sudah pernah menggarapnya. Tetapi ada juga yang mengaku-ngaku (klaim). Dulu bapak saya pernah beli tanah sama orang Banjar, tau-tau setelah itu ada orang datang, ia katakan bahwa tanah itu miliknya. Orang yang jual itu ngaku-ngaku saja. Ya mau gimana sudah, padahal bapak saya sudah bayar tanah itu dengan harga Rp. 800.000,-.[12]
Orang Kenyah di Benuang menggarap ladang seluas antara 1 sampai 2 Ha. Mereka menghabiskan rata-rata 2 kaleng –setara dengan 11 Kg. benih. Benih yang mereka tanam tidak membeli dari luar, tetapi mereka mengambil benih dari hasil tanam tahun kemarin. Musim tanam di sini dimulai pada bulan September akhir dan mereka panen antara bulan Maret dan April.
E. Kenangan itu (di)hadir(kan) kembali
“Ameq menyat toq munglo tai keluung koq balai apan tiga seq tai lo nampil nempan”.
Hari sudah gelap, malam itu 1 Oktober 2005, warga Long Anai, terlihat tidak seperti biasanya. Kali ini warga memang sedang mempersiapkan acara penyambutan wakil Bupati Kutai Kartanegara yang akan meresmikan desa mereka sebagai desa budaya persiapan. Ada dua desa yang akan diresmikan. Desa budaya persiapan Lung Anai dan Sungai Bawang, kecamatan Muara Badak. Acara ini berlangsung, 2 Oktober 2005. Jam sudah menunjuk 19:30 wita. Dari lamin desa, panitia tak henti-hentinya memanggil warga melalui pengeras suara, dalam bahasa Dayak Kenyah seperti di awal tulisan ini, agar secepatnya datang ke lamin untuk persiapan dan latihan terakhir. Supaya besok tampil baik.
Balai desa yang berkonstruksi Kenyah dibalut dengan berbagai macam kalung (ukiran). Di tengahnya terdapat ruang yang berukuran 12 x 25 cm yang dipakai pertunjukan menari. Di kelilingi tempat duduk yang telah disiapkan oleh panitia. Ruangan itu penuh sesak oleh penduduk Lung Anai. Ditambah lagi ratusan warga Dayak Kenyah dari desa lain yang juga ikut di acara ini. Seperti dari Tenggarong, Sungai Sungan, Separi, Berambai, dan desa Sungai Bawang. Kahadiran beberapa warga desa ini difasilitasi oleh panitia peresmian desa budaya, seperti transportasi dan konsumsi meraka.
Hampir semua penduduk desa persiapan hadir di lamin. Mereka kemudian mengambil posisi masing-masing sesuai tugas dan tanggungjawab yang telah diberikan panitia. Ada yang latihan menari, seperti tarian datun julud (tari massal) Hudoq[13] (tari topeng), kancet lasan (tari tunggal), tari perang, dan bermain musik sampeq[14] dan jatun utan (kelintangan). Ada pula yang latihan upacara seremonial dengan memberi sambutan, yang diperankan oleh kepala dusun Lung Anai. Nampak juga beberapa gadis Kenyah yang latihan membawa baki yang berisi alat pukul gong yang akan digunakan pak Wakil Bupati[15] sebagai penanda diresmikannya desa budaya persiapan. Beberapa orang tua nampak ikut menikmati latihan di malam itu. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak dan bertepuk tangan, mungkin karena ada yang mereka anggap lucu.
Di luar balai adat, terdapat juga sekelompok warga yang sedang asyik ngobrol. Sepertinya mereka mendiskusikan sesuatu apa yang sedang terjadi di kampung mereka. Namun, menurut penuturan Ilent dan Yurni yang juga generasi muda Kenyah, bahwa mereka sedang berdiskusi tentang apa yang sesungguhnya telah terjadi di desa mereka. Mengapa dusun mereka ditingkatkan menjadi desa budaya persiapan?. Mengapa harus desa budaya?. Mengapa kita disuruh untuk menggali kembali tradisi?. Bukankah tradisi itu (memanjangkan telinga, bertato, menari, menyanyi) sudah lama tak dilakukan?. Itupun jika dilakukan hanya sebagai pertunjukan yang sudah tidak berhubungan lagi dengan ritual. Bukankah kita bertradisi tak perlu ada yang menyuruh?. Kalau kita mau ya tak perlu disuruh. Dan apa makna semua itu?, untuk apa?. Demikian beberapa percakapan di luar.
Mengenai proses desa budaya ini Musa Din memberi komentar:
Desa budaya ini mungkin akan diperagakan saja, sesuai pesanan orang-orang dari kabupaten, atau dinas pariwisata. Saya juga tidak mengerti betul budaya-budaya kita ini. Alaq tau[16] saja yang dilakukan kemarin itu baru pertama kali saya menyaksikannya. Ya, misalnya alaq tau atau mamat bali akang (memperingati keberanian) itu ditampilkan harus hati-hati. Masalahnya ada yang pernah mamat di desa lain, karena terlalu menghayati, atau mungkin istilahnya orang Islam terlalu khusyu’ maka orangnya kesurupan. Hal seperti ini kita mesti lihat dulu. Apa bisa dilakukan atau tidak. Seandainya bisa, maka mungkin diganti bahasanya. Begitu juga belian, kami pun dulu pernah ada waktu zaman menyembah Bungan malan, bisa saja tetapi mungkin mantranya yang diganti[17].
Sebenarnya warga desa sudah lima belas hari tak turun ke ladang. Karena warga diwajibkan untuk ikut serta dalam kegiatan ini. Penduduk desa selama lima belas hari terlibat latihan serius. Setiap malam warga terlihat serius latihan kesenian, seperti tari, menyanyi, dan main sampeq dan kelintangan. Meski sebenarnya bulan-bulan September-Oktober adalah musim nugal, yang seharusnya warga berada di ladang-ladang mereka. Namun kali ini warga diwajibkan tidak ke ladang demi mempersiapkan penyambutan peresmian desa budaya persiapan. Meski demikian ada warga yang menganggap acara-acara di kampung ini dapat memperlambat kegiatan berladang mereka. ”Sejak ada desa budaya banyak betul kegiatan di kampung, tahun lalu saja ada 8 kali. Ya, bisa dibilang mengganggu juga kita cari makan kalau kita pikir ya. Tetapi kita sadar lagi semua itu untuk persatuan kita”, ujar Amat, salah seorang warga Lung Anai.
Taria-tarian Kenyah seperti datun julud, tari perang, kancet lasan, hudoq, musik sampeq dan jatun utang (kelintangan) tampak diperagakan dengan sangat bergairah oleh warga Dayak Kenyah yang akan mengisi acara peresmian desa budaya persiapan. Malam sebelum peresmian desa budaya, penduduk desa sibuk mempersiapkan segalanya. Termasuk pakaian sebagai sebuah penanda ke-Dayak-an yang dianggap penting dan utama. Anak-anak, remaja, dan orang tua tak lupa menyiapkan aksesoris pakaian Dayak Kenyah yang akan dipakai pada acara peresmian desa mereka.
Mama Pirin dan Pui Pubun misalnya, yang sudah 35 tahun tidak pernah melakoni tari hudoq, kali ini mereka pun serius kembali latihan tari untuk persiapan acara ini. Meskipun Pui Pubun tidak ikut dalam rangkaian latihan selanjutnya, karena panitia menganggap Pui Pubun tidak serius, dan selalu tertawa di saat latihan. Perasaan Pui Pubun (67 thn) bercampur-baur. Ada rasa gembira sekaligus lucu. Lucunya, karena masa silam Pui Bubun tidak pernah menari untuk acara seperti ini. Dulu Pui Bubun kalau menari berkaitan dengan ritual yang sifatnya serius yang terdapat dalam tradisi Kenyah. Semenjak mereka menganut protestan, tradisi seperti menari yang bertalian dengan ritual hampir tidak ada lagi.
Di masyarakat Dayak Kenyah, tari-tarian seperti hudoq bukan lagi bermakna persembahan terhadap roh-roh. Namun hanya untuk acara-acara kesenian yang dipesan. Tarian yang ditampilkan di desa mereka selama ini hanya dalam acara-acara seremonial, seperti tahun baru, yang sudah tidak berhubungan lagi dengan ritual seperti mereka dulu di Apo Kayan. Saat ini tradisi seperti itu hanyalah sebatas hiburan.
Di komunitas Dayak Lung Anai, orang yang bisa memainkan musik sampeq hanya beberapa orang saja. Pada festival kesenian dan peresmian desa budaya ini, orang tua sudah enggang untuk ikut terlibat dalam mengiringi penari dengan musik sampeq mereka. “Padahal yang diharapkan untuk memainkan sampeq adalah orang-orang tua yang masih mengerti benar alur permainan sampeq ini”. Kata salah seorang pemuda Kenyah. Entahlah kenapa pada cara ini banyak generasi tua yang menolak untuk ikut andil dalam menyukseskan peresmian desa budaya. Mereka umumnya mengatakan biarlah yang muda-muda ikut terlibat banyak dalam peresmian desa budaya ini. orang tua cukuplah jadi penonton tradisi yang sudah jarang dilakukan itu.
Di kabupaten Kutai Kartanegara, terdapat beberapa paguyuban masyarakat Dayak. Seperti KKDK (Kerukunan Keluarga Dayak Kenyah) yang membawahi beberapa sub-suku Kenyah. Ada juga PDKT (Persekutuan Dayak Kalimantan Timur). Para tokoh Dayak inilah terutama dari pengurus PDKT yang mencoba merumuskan kembali bagaimana masyarakat Dayak Lung Anai bisa ditampilkan. Sehingga bisa menjadi hiburan para wisatawan yang akan berkunjung ke pedalaman. Nah, dengan adanya desa budaya mereka yang ingin menikmati kesenian Dayak sudah tersedia di desa budaya tersebut. Angan-angan seperti itulah yang bermunculan dalam sambutan beberapa tokoh Dayak yang datang dari kota raja Tenggarong. Seperti ajakan pak Ubang, salah seorang panitia pengarah dalam peresmian desa budaya persiapan. Ia menyemangati masyarakat Dayak agar kembali mencintai tari-tarian dan tradisi Kenyah yang sudah mulai hampir ditinggalkan.
Demikian juga ketua panitia pelaksana. Di sela-sela festival, ia tampil memberi arahan. “Begini, kita harus serius, kalau sudah selesai satu penampilan tarian, maka laki-laki bersamaan menyebut hoooo…hooooo…, lalu disambut para perempuan dengan kendrau dan malo (nyanyian). Tolong kita sama-sama semangat menyanyi”. Seru, Tingai sebagai ketua panitia sekaligus pengurus PDKT Tenggarong.
Beberapa tokoh Dayak yang ada di pemerintahan nampak semangat untuk membentuk desa budaya di beberapa wilayah di kabupaten Kutai Kartanegara. Salah satunya adalah Samuel Robert, yang pada saat peresmian desa budaya masih menjabat kepala dinas pariwisata. Namun sepuluh hari kemudian, setelah peresmian desa itu, ia diangkat menjadi Asisten 1 di lingkungan pemda Kutai Kartanegara. Ia juga menjabat sebagai ketua PDKT Kutai Kartanegara yang dianggap berjasa dalam menjadikan desa budaya persiapan ini. Hal ini juga diakui oleh wakil Bupati Kutai Kartanegara bahwa “terealisasinya desa budaya ini tidak terlepas dari perjuangan pak Samuel”, kata Syamsuri Aspar, dalam sambutannya ketika meresmikan desa budaya tersebut.
Kalimantan Timur, khususnya Kutai Kartanegara kaya akan sumber daya alam. Betapa tidak di sini ada berbagai macam tambang seperti batu bara dan minyak. Belum lagi eksploitasi kayu. Semua itu adalah sumber daya yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Dalam mengantisipasi SDA yang terbatas itu perlu ada penggalangan dunia pariwisata. Demikian wacana yang berkembang saat ini di Kalimantan Timur. Maka salah satu upaya ke arah itu, lahirlah ide bagaimana menciptakan desa-desa budaya. Di Kutai Kartanegara sudah ada tiga desa budaya yang dicanangkan oleh pemerintah. Desa yang pertama diresmikan pada tahun 2003 di Desa Lekaq Kidau, kecamatan Sebulu. Menyusul dua desa budaya, Lung Anai dan Sungai Bawang pada tahun 2005.
Desa budaya ditunjuk sekaligus untuk menjadi duta budaya. Artinya desa itu harus memerankan layaknya desa budaya. Sebuah desa yang sudah siap dari segala hal tentang tradisi dan penanda ke-Dayak-an. Tak heran jika di sela-sela acara peresmian desa budaya Lung Anai, beberapa tokoh masyarakat Dayak Kenyah, terutama mereka yang berasal dari kota, tak bosan-bosannya menyerukan untuk kembali menggali tradisi. Orang tua diajak untuk tidak lupa mengajari anak-anak menari, bermain sampeq, jatun utang, memanjangkan daun telinga, dan bertatto. Agar tradisi Dayak tetap terjaga.
Pagi, 02 Oktober 2005, jam menunjuk pukul 06.30 wita, Mama Pirin dan Yurni anak gadisnya terlihat bergegas, berbenah dan berkemas. Dua Al-Kitab di lemari ruang keluarga mereka raih lalu segera ke gereja berkumpul bersama dengan penduduk lainnya. Pagi itu mereka agak cepat melaksanakan kebaktian di gereja karena harus mengikuti acara peresmian desa budaya. Usai kebaktian, mereka lalu pulang ke rumah untuk kembali mengganti pakaian. Kali ini mereka mengenakan aksesoris Dayak Kenyah seperti sapai tari (baju), tapung udeng (topi khusus perempuan), dan beluko (topi dipakai perempuan dan laki-laki dalam tarian tunggal). Lalu menuju pintu gerbang. Panitia nampak mempersiapkan penyambutan dengan pengguntingan tali persis di pintu gerbang. Di pintu gerbang yang berada di bibir sungai itu, terdapat perahu buatan yang berukuran 4 x 60 cm yang akan dipakai mengusung wakil Bupati dan Samuel Robert. Pukul 11.15 wita, rombongan wakil Bupati datang dan langsung disambut oleh kepala adat dan beberapa orang gadis Kenyah.
Ndoq udip (ritual memercikkan air) lengkap dengan mantra-mantra dalam bahasa Kenyah, langsung dipercikkan oleh kepala adat kepada para tamu yang akan meresmikan desa budaya. Wakil bupati dan Kadis Pariwisata langsung naik ke perahu “darat” kemudian kaum laki-laki ramai-ramai mengusung dua pembesar Tenggarong itu ke lamin tempat acara berlangsung.
Acara seremonial pun berlangsung. Diawali dengan beberapa tarian Dayak, lalu ada sambutan mulai dari kepala adat hingga wakil Bupati. Dalam sambutannya, para pejabat itu menyerukan pentingnya menggali kembali tradisi ke-Dayak-an. Di sela-sela acara itu sebagian generasi tua Kenyah nampaknya sibuk saling mengunjungi, seolah tak peduli apa yang tengah terjadi di lamin (balai adat). Pui Pubun misalnya, ia tak berlama-lama di lamin mengikuti acara itu. Ia malah asyik bercengkrama di rumah dengan sepupunya yang sudah lama tidak ketemu. Keluarga Pui ini berasal dari desa Sungai Bawang yang jaraknya cukup jauh dengan Lung Anai. Sekitar 80 km. “Biarlah mereka orang-orang di situ (di tempat acara peresmian). Kami mau cerita-cerita di sini, syukurlah karena dengan adanya acara ini saya bisa ketemu dengan keluarga saya”, ujar Pui sambil senyum. Bukan hanya Pui, banyak lagi yang lainnya. Mereka kelihatannya gembira bisa reuni dengan keluarga “alumni” Apokayan.
Seusai acara peresmian desa budaya dilanjutkan dengan acara yang bertema festival kesenian Dayak Kenyah. Satu-persatu tim kesenian dari desa Sungai Bawang, Sungai Sungan, Tenggarong, Separi, Berambai, dan Lung Anai menunjukkan kebolehannya dalam menari, bermain sampeq, kendrau (tari & nyanyian). Entah apa yang terbetik dalam hati para penari Dayak ketika mereka larut dalam keriangan di malam festival itu. Yang jelasnya, mereka tampak menikmati, berdiskusi dan bercerita. Ada yang bertanya, kamu dapat suami orang apa?. Sekarang sudah berapa anak-anak?. Bagaimana keadaan di kampung di sana?, dan seterusnya.
Komunitas Lung Anai dan Sungai Bawang kini menyandang gelar desa budaya. Banyak tradisi yang ingin kembali digali dan akan dipraktikkan kembali dalam bentuk ritual mereka. Ritual seperti belian (ritual penyembuhan) dan mamat bali akang kembali akan ditumbuhkan. Dua ritual ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari konsep ajaran yang diyakini orang-orang Kenyah dahulu yang dikenal dengan konsep Bungan Malan Paselung Luang (dewa-dewa dan roh-roh penguasa alam atau Tuhan penguasa).
Meskipun hal ini mengundang banyak perdebatan. Karena gereja protestan menganggap bahwa ritual seperti itu terlarang dalam Kristen. Dan mayoritas Kenyah sudah tidak pernah lagi melakukan ritual belian karena sudah mempunyai keyakinan baru. Terutama sekitar tahun 1966, di mana mereka dipaksa beragama dan disuruh meninggalkan tradisi seperti belian. Apalagi yang namanya ritual mamat bali akang, yang sudah sejak lama tidak dilakukan oleh masyarakat Kenyah.
Bagi Samuel Legi, kepala adat desa Sungai Bawang, ritual seperti belian ditumbuhkan kembali bukan untuk diyakini seperti dulu. Mantra-mantra dan doanya bisa dialihkan kepada Tuhan. Meskipun prosesinya itu belian. Tetapi jika tidak, ya hanya ditampilkan saja yang tidak disertai dengan keyakinan. Begitu pun ritual mamat bali akang. Mungkin itu bisa dicampur antara doa kristen dengan prosesi belian. “Ritual seperti belian dan mamat bali akang tidak lagi diyakini sebagai sebuah keyakinan karena sudah ada agama. Kalau dulu ritual itu ditujukan kepada dewa sekarang kita bisa alihkan ke Tuhan. Atau hanya dipertahankan untuk dijadikan tontonan saja”, kata Samuel Legi.
F. Menegosiasi ulang: merebut makna dan ruang
Invensi dengan segala derivasinya ini, justeru dimaknai ulang oleh masyarakat Kenyah sendiri yang punya riwayat diaspora dan migrasi. Mama Wek misalnya mengaku bahwa kehadiran desa budaya itu sebagai pintu masuk saja untuk tetap memastikan mereka tetap bisa menetap di Lung Anai dengan kepemilikan tanah yang berkekuatan yuridis formal. “Desa budaya, lamin, tari-tarian itu hanya untuk menunjukkan bahwa kita punya tradisi, yang lebih penting lagi tanah-tanah kita disertifikasi dan kita tidak lagi pindah ke mana-mana”, kata Mama Wek, salah seorang warga Kenyah Lung Anai. Kondisi ini memunculkan harapan baru bagi masyarakat Kenyah untuk punya hak mempertahankan tanah-tanah mereka dengan kehadiran penanda-penanda Dayak seperti lamin. “Rasanya sudah punya hak lebih besar untuk mempertahankan tanah-tanah kami”, kata Yurni, salah seorang generasi muda Lung Anai.
Beberapa harapan lain juga muncul dengan adanya desa budaya. Menurut Papa Aweq, predikat desa budaya bisa melegakan hati, karena mungkin sulit lagi kami pindah atau dipindahkan dari kampung ini. “Kami ini asalnya dari Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Namanya juga Lepoq Jalan, orang yang suka berjalan (tafsiran canda Papa Aweq yang sebenarnya bukan arti sesungguhnya). Berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Kami tidak tahu mungkin ini (Lung Anai) bukan tempat yang terakhir, bisa jadi kami pindah lagi mencari hunian baru. Tapi mungkin dengan adanya desa budaya ini kami sudah menetap di sini”, kata Papa Aweq tersenyum.
Karakter ganda semacam ini bukan tanpa alasan. Karena sebelum berdiri desa sendiri (desa budaya), salah satu hal yang sangat mengkhawatirkan bagi mereka mengenai tanah-tanah yang ada di desa, karena belum jelas statusnya yang sewaktu-waktu dapat diserobot oleh orang lain. Nah dengan program pembangunan kembali lamin sebagai salah satu syarat desa budaya, maka pengakuan dari pemerintah daerah juga semakin kuat. Hal ini juga diakui oleh kepala desa baru Lung Anai yang akan segera membuat surat-surat tanah, baik tanah pemukiman maupun kebun-kebun milik orang Kenyah di Lung Anai. “Saya segera akan memulai untuk membuatkan surat-surat tanah masyarakat kita di sini, mulai dari tanah pemukiman sampai tanah perkebunan”, ujar Tingai Lawing, kepala desa Lung Anai.
Siasat yang dimainkan oleh orang Kenyah Lung Anai ini, bisa jadi tidak dipahami oleh elit-elit mereka sendiri di Tenggarong dan Samarinda. Karena masing-masing punya tujuan yang berbeda. Mereka menciptakan kode budaya yang sama, tetapi berebut makna yang berbeda dengan elitnya. Jika tingkat elit ada keinginan supaya masyarakat disatukan dalam pilihan politik supaya semuanya memilih satu partai saja, bukan yang lain sebagaimana yang dikatakan Samuel Robert ketika acara syukuran desa defenitif Lung Anai pada Agustus 2007. Ia berpesan supaya masyarakat Lung Anai tidak usah macam-macam dalam pilihan politiknya, satu saja supaya muda mengaturnya. “Kalau di Kutai Barat pilihannya merah, di sini (Kukar) harus kuning”, tutur Samuel sambil menunjuk staf ahli bupati Kubar yang kebetulan hadir di acara itu.
Kehadiran kembali tradisi ini sebetulnya sebagiannya sudah dianggap tidak dibutuhkan lagi. Kecuali dalam beberapa hal seperti tari-tarian yang hanya untuk dipertontonkan saja. Berbagai tarian yang berkaitan dengan ritus tak lagi bermakna apa-apa bagi mereka. Yurni, misalnya mengaku sudah menganggap ritual semisal malang tau[18] (proses mencari ladang) dan alemiud (berpantang) itu tidak perlu lagi. Karena itu sudah lama tidak dibutuhkan oleh mereka sendiri. Begitu juga penanda fisik, seperti tatto dan telinga panjang yang sudah dinilai tidak lagi relevan.
G. Peng-agama-an orang Kenyah
Perpindahan masyarakat ini berlangsung massif semenjak terjadi konflik antara tentara Malaysia dengan Indonesia. Di perparah dengan massifnya pengagamaan yang bersamaan dengan memodernkan orang-orang Dayak Kenyah. Militer Indonesia, terutama mereka yang datang tahun 1966, yang masuk dalam pasukan GM (Ganyang Malaysia) 3 banyak disebut-sebut oleh orang-orang Kenyah sebagai orang yang rajin untuk terus mengagamakan orang Dayak Kenyah. Nama-nama seperti Rudi Manoppo, Herman Musakabe adalah termasuk yang masih terekam dalam ingatan mereka yang dianggap sebagai orang yang rajin menyeruh untuk masuk agama baru.
Dalam ingatan Ungau Njau (85 tahun), keluarga merekalah yang pertama percaya Yesus di tahun 1937, di antara semua orang Lepoq Jalan di Apo Kayan. Perjumpaan awal mereka dengan protestan dimulai ketika para missionaris datang di dataran tinggi Apo Kayan sekitar tahun 1934. Mereka mengagamakan pertama dari orang-orang Lepoq Tau. Nama-nama seperti pendeta Elvis, seorang Amerika dibantu dengan pendeta dari orang Kenyah sendiri seperti Pdt. Bayak Jalung dan Asang dan satu orang Manado Pdt. Bulian Mongan. Kalangan Dayak ini mulai menjadi pendeta, setelah tugas belajar mereka selesaikan di Makassar pada tahun 1935. Orang Dayak inilah yang menemani pendeta Elvis untuk mengagamakan sesama Dayak di Apo Kayan. Pendeta Elvis datang dengan pesawat capungnya yang bisa mendarat langsung ke sungai.
Perkenalan keluarga Ungau dengan protestan dimulai ketika kakaknya Usat Ncau bertemu dengan seorang pendeta, Udau Lawat yang juga orang Kenyah Lepoq Kulit. Ialah yang mengajarkan kepercayaan agama baru dan tidak mengakui adanya berpantang dengan hanya melihat burung. Usat Ncau mulai menerima ajakan pendeta Udau tersebut. Apalagi mereka ditawari untuk bekerja di sebuah perusahaan minyak milik Belanda. Keberangkatan Usat Ncau dengan 30 orang lainnya ke Tarakan untuk bekerja di sana membantah kegagalan agama lama yang memprediksi mereka tidak akan berhasil dalam perjalanan. Tetapi sebaliknya mereka disebut sebagai orang yang berhasil. ”Mulai saat itu banyak orang merasa yakin dengan kebenaran agama”, ujar Ungau Ncau.
Dakwah para missionaris agama baru ini, awalnya tidak begitu disambut dengan hangat oleh orang-orang Kenyah di Apo Kayan. Terbukti dengan dikucilkannya keluarga Ungau Njau dari pergaulan di masyarakatnya. Mereka yang beragama baru tidak lagi ikut dalam kelompok ladang yang digarap oleh masyarakat Kenyah. Mereka terpaksa berladang sendiri-sendiri di areal ladang yang bertanah aga (lahan tidak subur).
Agama Bungan Malang masih menjadi keyakinan sebagian besar orang Kenyah pada saat itu. Dari 12 umaq (rumah panjang), ada dua umaq yang mau menerima kabar Tuhan, yaitu umaq sungai bawang dengan 23 KK, dan lung tisai yang juga mencapai 30-an KK. Tidak lama mereka beragama protestan perlakuan pengucilan terus datang dari kelompok yang menolak protestan ini. Memaksa mereka pindah dari umaq sungai bawang ke umaq lung tisai. Karena di sana juga sudah banyak yang beragama. Rupanya ajakan dari pendeta dari kalangan orang Dayak sendiri lebih ampuh. Terbukti semua penghuni umaq lung tisai yang mencapai 100 KK menyatakan masuk protestan atas ajakan pendeta Udau Lawat Terkait dengan ini Ungau menjelaskan:
Di tahun 1938, ada seorang penginjil baru namanya Udau Lawat. Dialah yang mengkristenkan semua penghuni umaq lung tisai. Tidak ada yang menolak, termasuk kepala umaq. Semua takhayyul, siak dayung (tempat sesembahan yang diyakini sebagai tempat roh-roh) dan tengkorak manusia yang sering dipakai mamat dituangi minyak tanah lalu dibakar yang diiringi tepuk tangan dan nyanyian pujian haleluya.[19]
Di masa-masa awal kehadiran para missionaris di Apo Kayan, penyebaran agama tidak berlangsung massif. Karena di mana-mana terjadi perlawanan kuat dari masyarakat. Keadaan seperti itu berlangsung hingga tahun 1960-an. Tepat pada tahun 1963 terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia membuat perubahan yang begitu cepat di masyarakat Kenyah Apo Kayan. Ditambah huru-hara politik tahun 1965-1966 di Jakarta dengan isu komunisnya juga berimbas ke dataran tinggi Apo Kayan. Banyak tentara GM berubah menjadi penginjil. Herman Musakabe disebut-sebut sebagai orang yang terdepan dalam melakukan proses-proses pengagamaan orang Dayak di Apo Kayan. Orang-orang yang tidak mau masuk agama baru, maka segera ia akan dicap sebagai komunis.
Dengan semangat missionaris, Herman Musakabe ditemani oleh pendeta Lampung yang siap membaptis dan beberapa orang tentara mulai menyisir masuk ke umaq-umaq untuk mengajak beragama. Meraka bukan hanya mengajak, tetapi juga menghabisi semua tempat-tempat peribadatan seperti belawing (tugu yang biasanya digunakan dalam upacara-upacara di masyarakat Kenyah) di tebang dan dirusak. Lalu mengatakan bahwa praktik itu adalah kafir dan diharap agar semua masyarakat segera menerima ajakan Tuhan. Mengenai ini Ungau Ncau menjelaskan:
Tahun sebelum 1966, orang-orang sulit diajak masuk beragama. Mereka masih keras kepala, dan masih berpikir. Sedangkan nenek saya sendiri tidak setuju dengan ajakan ini, karena ia tukang adat. Sesudah peristiwa PKI, pada tahun 1967, Herman Musakabe ditemani pendeta Lampung Ncuk yang menebangi semua menara belawing. Pendeta yang mengajak, Herman Musakabe yang mengancam. Mereka berdua yang mengagamakan seluruh orang Dayak di Apo Kayan. Ia katakan kalau kamu tidak beragama berarti PKI. Jadi semua orang Dayak takut, untung Herman Musakabe datang, kalau tidak mungkin orang Dayak tidak beragama[20].
H. Penutup
Dari rangkaian sejarah masyarakat Kenyah ini, ternyata menyimpan riwayat yang begitu menyedihkan. Dimulai dari peristiwa konfrontasi Indonesia–Malaysia. Lalu menyebar ke berbagai soal. Dari pengalaman saya bertemu dengan orang-orang Kenyah di Lung Anai, terasa mereka begitu trauma menceritakan peristiwa yang mengerikan itu. Betapa tidak, kampung mereka yang tenang dan damai, tiba-tiba menjadi arena pertempuran. Masyarakat pun menjadi ketakutan. Tidak ada yang tahu persis kenapa tiba-tiba disuruh untuk memusuhi orang Malaysia. Tidak sampai di situ, mereka juga harus pindah dari kawasan itu. Dan tidak lama setelah itu, juga harus meninggalkan sistem religi mereka, agama Bungan Malan.
Pindah menuju hilir dan tak tahu hendak ke mana juga menjadi perjalanan yang cukup mengerikan. Pada sisi lain negara tampaknya tak mau puas. Aparatusnya terus berjalan seiring perjalanan orang Kenyah menuju hilir mendekati Kota. Di hilir mereka sudah dijemput dengan program re-setlement penduduk (respen) di berbagai tempat yang sudah tersedia. Mereka disuruh meninggalkan konsep umaq yang diganti dengan konsep rumah inidividu. Beberapa sumber seperti pak Filep Dungau menyebut bahwa respen adalah sebuah program yang mengungkung masyarakat Dayak. Mereka dikurung dalam pemukiman selama berbulan-bulan. Ternyata di luar perkampungan mereka, perusahaan HPH telah mengkapling-kapling wilayah-wilayah garapan masing-masing.
Tidak sampai di situ, setelah hampir semua sistem kebudayaan hilang, bersamaan dengan itu segala sumber daya hutan dan tanah juga ikut raib ditelan oleh modernisasi yang diperankan dengan sangat baik oleh aparatus negara yang kerap bekerjasama dengan agama baru. Terakhir, mereka disuruh kembali untuk menggali, mengingat-ingat, dan memerankan kembali tradisi dan keyakinan nenek-moyang mereka dahulu. Karena apa yang menjadi masa lalu orang Kenyah itu ternyata dipandang eksotis, unik, dan menarik untuk dijadikan tontonan orang-orang modern. Seirama dengan slogan pariwisata internasional ”back to nature”.
[1]Ritual rame teqo’ajao atau pesta panen biasanya menyuguhkan makanan tradisional hasil-hasil pertanian, seperti lemang (makanan yang terbuat dari beras ketan dimasukkan dalam bambu lalu dibakar), dan undrat (makanan tepung beras ketan dicampur gula lalu dimasukkan dalam bambu, mirip lemang).
[2]Sub suku yang termasuk suku Kenyah yang disebut ada 20 Lepoq (kampung). Seperti Lepoq Jalan, Kulit, Bakung, Tukung, Kayan, Tunjung, Tau, Timai, Baka, Tepu, Selabing, Bemb, Krayan, Badeng, Timai, Lasan, Alim, Qe, Punan, Ma’ut, dll.
[4]Wawancara di desa Lung Anai, 10 Agustus 2007.
[5]Wawancara di desa Lung Anai, 10 Agustus 2007.
[6]Wawancara di desa Lung Anai, 7 Agustus 2007.
[7]Wawancara di desa Lung Anai, 8 Agustus 2007
[8]Di masyarakat Kalimantan Timur, orang Malaysia dikenal dengan sebutan Cina Malaysia. Di tahun 1970-an mereka menjadi investor pemegang HPH dengan mendirikan perusahaan yang menampung kayu dari masyarakat. Cina Malaysia jugalah yang pertama-tama memperkenalkan mesin penebang pohon yang dikenal dengan sengso, bagi masyarakat Kalimantan Timur. Pengelolaan kayu di Kaltim awalnya dikerjakan oleh kapal-kapal berbendera Jepang pada tahun 1967-1970 yang dikenal dengan banjirkap (masyarakat yang menyeret kayu berukuran 4 meter ketika sungai-sungai pasang). Lalu masyarakat menjual sendiri ke kapal-kapal orang Jepang. Di tahun 1970, orang-orang Jepang tidak lagi menerima kayu batang pendek ukuran 4 meter. Tetepi mereka mulai menerima kayu log berukuran panjang. Eksploitasi besar-besaran ini hasil kerja sama Jepang dan Malaysia dalam menghabisi hutan Kalimantan.
[9]Wawancara di desa Lung Anai, 9 Agustus 2007
[10]Wawancara di desa Lung Anai, 14 Agustus 2007
[11]Wawancara di desa Lung Anai, 7 Agustus 2007
[12]Wawancara di desa Lung Anai, 13 Agustus 2007
[13]Hudoq atau topeng di masa lalu adalah sebuah tarian untuk persembahan kepada penguasa alam yang sering dilakukan pada awal musim nugal tanam. Atau dalam ritual alaq tau (melihat bayangan matahari) untuk mencari waktu yang baik dalam memulai menanam padi di ladang. Namun semenjak mereka menganut protestan, tarian hudoq hanya untuk tontonan saja. Kalau Pui Pubun menyebutnya hanya untuk main-main saja. Hudoq ada dua jenisnya Hudoq Itaq (ada lobang) dan Qiba (menutup semuanya tanpa ada lobang topeng).
[14]Sampeq adalah jenis musik petik khas masyarakat Dayak. Alat musik ini dibuat dari kayu yang mereka sebut sebagai jenis kayu adau. Saat ini mereka mulai kesulitan mendapatkan jenis kayu ini. Di masyarakat Sungai Bawang sendiri sudah jarang ditemukan jenis kayu ini. Habisnya jenis kayu ini bersamaan dengan hilangnya hutan mereka.
[15]Masyarakat Dayak menyebut gong sebagai tawaq. Kentongan yang terbuat dari kayu mereka sebut gong. Di balai pertemuan seperti lamin (serapo), biasanya ada gong besar sebagai alat informasi dan memanggil warga. Jenis musik gong ada tiga. Untuk memanggil rapat bunyi tong…tong…tong dengan nada lambat. Untuk acara kesenian berbunyi tong…totong…tong.. Dan untuk tanda bahaya dan darurat seperti kematian nadanya dipercepat, tong…tong…tong…tong…
[16]Astronomi lokal ini, dulu sebelum menganut agama protestan, komunitas Dayak Kenyah memiliki kebiasaan sebelum menanam padi yang disebut ritual alaq tau (melihat bayangan matahari). Ritual ini dimaksudkan untuk mencari waktu yang tepat untuk menamam padi di ladang. Kegiatan ini berlansung pada minggu, (27/8/2006) di desa Lung Anai. Alaq tau untuk kali pertama setelah lama tidak dilakukan ini adalah salah satu agenda yang dihidupkan lagi. Ratusan penduduk desa turut menyaksikan upacara ini. Para tetuah adat berkumpul di depan lamin atau rumah panjang untuk bermusyawarah tentang bayangan matahari ini. Sebuah tiang kayu ulin setinggi 2 meter dipasang sebagai syarat utama dalam melihat bayangan matahari. Karena manusia berhubungan dengan alam terutama dalam menanam tanaman seperti padi, maka melihat tanda alam juga penting untuk kesuburan tanaman. Di masyarakat Dayak Lung Anai, alaq tau dianggap paling tepat untuk menghindari gagal panen dan kerusakan tanaman yang lain. Tari-tarian juga dianggap penting dalam proses menamam padi. Sebelum mereka menanam, biasanya didahului dengan datun julut, sebuah tarian yang dilakonkan secara berkelompok. Selain itu, juga ada tarian perang sebagai simbol semangat agar senantiasa ada disaat bekerja di ladang. Sesaat sebelum menanam padi atau yang sering mereka sebut nugal diawali dengan proses penyembelihan seekor babi sebagai tanda syukur kepada penguasa alam.
[18]Bagi mereka yang sedang malang ta’u atau mencari area ladang, lalu dalam perjalanan mencari ladang lalu terdapat burung isit yang terbang lewat di depan dari sisi kiri ke kanan itu, maka harus melakukan ritual alemiud (pura-pura bermalam). Berpura-pura bermalam dapat dilakukan jika burung melintas itu sekali saja. Seandainya burung itu melintas tiga kali dalam sehari, maka diharuskan untuk menunda kegiatan mencari ladang. Dan selanjutnya pulang kembali ke rumah. Jika tidak, diyakini bahaya ada di depan mata. Selain itu, mereka yang sudah menebas pohon lantas menemukan binatang duktalun (sejenis monyet, bentuk badannya lebih kecil). Binatang berbisa ini sangat berbahaya, jika ia menggigit dapat menyebabkan kematian. Diyakini area itu tidak cocok bahkan harus ditinggalkan untuk mencari tempat lain yang lebih baik.
[19]Wawancara di desa Lung Anai, 13 Agustus 2007
[20]Wawancara di desa Lung Anai, 13 Agustus 2007