“Pengangguran banyak … Lulusan sekolah banyak … Sekolah mahal…” Sebuah cerita lama, yang kembali diulang-ulang setiap tahunnya. Kira-kira pada setiap bulan Juni, kembali terdengar keluhan ibu-ibu yang kesulitan memasukkan anak-anak mereka ke kampus, terdengar pula cerita tentang melimpah ruahnya tamatan SMU. Kemudian, tentang tidak cukupnya perguruan tinggi untuk menampung tamatan tersebut.
Ribuan anak berebut kursi, dengan sejuta angan tentang masa depan. Kampus favorit seakan begitu menjanjikan untuk mengantar anak didiknya ke gerbang pencerahan masa depan. Segalanya dipertaruhkan, bahkan aksi sogok menyogok, beli kursi pun dilakukan.
Apa sebenarnya yang mereka cari? Sehingga harus repot-repot mengeluarkan puluhan juta untuk sebuah kesempatan belajar di kampus tertentu? Benarkah hanya sekadar menggali ilmu pengetahuan? Lalu, untuk apa sih perguruan tinggi didirikan? Realitas yang sedemikian menyedihkan ini, patutlah menjadi bahan renungan kita bersama untuk kembali mengkaji ulang definisi pendidikan bagi kita semua.
Pendidikan adalah satu upaya manusia untuk lebih mengenal diri dan lingkungan hingga seseorang lebih mampu untuk mempertahankan hidup dalam dunia yang tidak menentu. Pendidikan adalah satu bentuk kegiatan manusia untuk
mengetahui diri dan lingkungan. Pada intinya, pendidikan diperuntukkan agar menjadikan manusia jadi lebih manusia atau memanusiakan manusia.
Pada asalnya pendidikan bisa dilakukan di mana saja, dan oleh setioap manusia pada usia apa pun. Pada saat kecil kita telah mulai mengalami masa pendidikan, mulai mengenal benda-benda di sekeliling, mulai tahu aku yang beda dengan engkau, mulai tahu yang namanaya orang tua, kakak dan adik. Selanjutnya kita belajar tentang arti penghormatan, adat istiadat , agama dan seterusnya. Itulah pendidikan. Makhluk ini tak pernah mengenal tempat dan waktu dan bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Entah mulai sejak kapan pendidikan mulai mengalami penyempitan makna. Pendidikan yang seharusnya tak mengenal ruang dan waktu mulai diruangkan, diklasifikasikan dan selanjutnya dilembagakan.
Disadari atau tidak disadari, ketika mulai membicarakan pendidikan, kita menyempitkan pembicaraan tersebut terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu, khususnya dalam bentuk sekolah. Parahnya tindakan reduksi ini selanjutnya diakui oleh masyarakat sebagai kenyataan yang tak terbantahkan, hingga pada akhirnya seakan muncul satu hukum serta logika berfikir yang mampu mengendalikan otak kita untuk mengatakan salah terhadap siapa saja yang berani membicarakan pendidikan dengan meniadakan sekolah atau universitas.
Lebih dari itu, kenyataan pendidikan yang tak bisa dibicarakan tanpa lembaga sekolah, kembali mengalami reduksi yang kedua kalinya. Menurut J. Drost S.J. (Prisma, 1990), ide dasar perguruan tinggi adalah untuk menciptakan manusia-manusia intelektual yang manusiawi. Yang sanggup bekerja dan berpikir untuk negara dan masyarakat. Dalam kampus bukan pendidikan kejuruan yang ditekankan, namun pendidikan humaniora.
Pendidikan humaniora tidak ditujukan pada keterampilan tertentu. Akan tetapi lebih ditujukan pada pendewasaan pribadi sebagai manusia dan anggota masyarakat. Tegasnya universitas didirikan untuk membuat manusia menjadi lebih manusia.
Menelisik jauh kebelakang, dahulu kala, orang Yunani memfungsikan sekolah tertinggi sebagai tempat untuk mencari kejelasan mengenai alam semesta. Pada saat mereka menempuh studi tersebut, biasanya para pelajarnya mempekerjakan budak-budak untuk melayani kebutuhan jasmani mereka, hingga mereka bebas untuk melakukan kegiatan intelektual. Mereka tidak pernah berpamrih, bagi mereka ilmu yang dicari demi faedah praksis dianggap sebagai pengetahuan kelas rendah, yang sebetulnya tidak perlu diperhatikan. Inilah yang menjadi alasan kuat mengapa penalaran orang Yunani lebih bersifat teoritis.
Belakangan arah dan fungsi perguruan tinggi mengalami perubahan yang mencolok. Universitas bukan lagi sebuah lembaga tempat pendewasaan diri. Sebaliknya universitas bak sebuah mesin pabrik dalam dunia kapital yang mencetak mahasiswanya menjadi roda-roda dalam proses ekonomis dan teknologi.
Sependapat dengan gagasan di atas, menurut Gedong Bagus Oka, pada hakekatnya pendidikan kita sekarang tidak berbeda dengan pendidikan kolonial. Kalau pemerintah kolonial Belanda menciptakan sistem pendidikan hanya sekedar untuk mendapat orangkan orang-orang yang menjadi “ambtenar”, maka pendidikan kita sekarang hanya menghasilkan orang-orang yang hanya bersedia menerima gaji dari pemerintah atau pengusaha-pengusaha besar dan menengah lainnya (Prisma. 1976).
Kita dicetak tidak untuk menjadi orang aktif yang mengggali rahasia alam. Kita tidak dicetak untuk menjadi manusia produktif yang menghasilkan peluang. Kita telah dicetak oleh sebuah sistem pendidikan yang hanya menghasilkan mental-mental manusia penunggu. Kita bak robot yang yang sangat mekanis dalam dunia kapital. Pendidikan bukan lagi membuat manusia jadi lebih manusia. Pendidikan justru menjauhkan kita dari sifat dasar manusia.
Disfungsionalisasi perguruan tinggi, itulah keadaan pendidikan kita saat ini. Perguruan tinggi yang seharusnya berfungsi untuk memanusiakan manusia, berubah fungsi menjadi semacam mesin pencetak manusia yang siap pakai dalam dunia kapital.
Lucunya, disfungsionalisasi tersebut dianggap oleh masyarakat sebagai realitas yang sesungguhnya. Maka tak heran jika orang-orang mulai kebingungan, ketakutan, jika tak dapat universitas favorit. Mereka sedih bukan karena tidak mendapat tempat belajar yang bermutu, mereka sedih karena tidak dapat meraih label. Ya, label yang pada saatnya nanti ingin mereka berikan sebagai bukti bahwa mereka layak bekerja. Mereka menangis bukan karena tak mendapat pelayanan pendidikan yang selayaknya. Tapi mereka menangis karena takut tak dapat pekerjaaan. Begitu berartinya sebuah kampus bagi kehidupan seseorang, maka tak mengherankan jika kita mendengar sebuah universitas favorit berani memasang tarif yang begitu tinggi untuk calon mahasiswanya tanpa ketakutan ditinggal para peminatnya.
Dunia kita memang lagi mengalami gonjang-ganjingnya pemikiran, mengalami ambiguitas nalar, dan manusianya mengalami kebingungan eksistensi. Pendidikan adalah salah satunya, kita sekarang sedang teralienasi oleh ciptaan kita sendiri.
Bayangkan saja pendidikan yang pada mulanya diciptakan sebagai alat yang menbantu manusia dalam mengembangkan pola fikir, tiba-tiba memerdekan diri dari manusia. Selanjutnya, pendidikan bak tuan yang mampu mengendalikan kita sebagai manusia, mengatur prilaku, bahkan mengatur cara pandang kita. Sekolah menjadi sesuatu yang memaksa kita untuk memasukinya. Bukan sekolah yang seharusnya menjadi alat kita. Tanpanya, kita merasa tak akan bisa dinyatakan sebagai intelektual. Tanpanya kita tidak dianggap terpelajar, dan tanpanya kita adalah barang rongsokan yang tidak siap dipakai untuk apa pun juga.
Di tangan kampus otoritas gelar berarti kenaikan gaji bagi para “pekerja”. Akibatnya kampus menjadi tempat transit yang paling diidolakan setiap orang untuk mengangkat status mereka di masyarakat. Kampus juga menjadi legitimasi satu-satunya untuk memperoleh pengakuan intelektual di masyarakat.
Agaknya kemuraman tidak hanya di situ saja. Pada waktu yang bersamaan muncul juga fenomena lainnya. Fenomena menarik tersebut adalah kenyataan bahwa para lulusan perguruan tinggi “tidak siap pakai”, tidak siap bekerja. Akhirnya, para sarjana ini harus dilatih ulang lembaga-lembaga dan perusahaan yang mempekerjakannya.
Cara pandang terhadap sekolah sebagai alat pencarian label dan gelar kesarjanaan memang benar-benar memporakporandakan niat asal berdirinya universitas. Karena tujuannya mencari label, so banyak kampus mulai tidak memperhatikan mutu. Sudah bukan rahasia lagi, saat ini bisa kita temukan kampus yang terang-terangan menyediakan waktu tambahan seperti semester pendek, fasilitas semacam ini pastilah sangat mengenakkan bagi mereka-mereka yang pengen lulus kuliah lebih cepat. Bisa dibayangkan dengan semester tambahan mata kuliah yang seharusnya ditempuh tiga tahun setengah bisa diperpendek hingga dua tahun saja. Namun apakah ada yang mampu menjamin bahwa dengan dipercepatnya waktu, mutu pendidikan masih mampu dijaga.
Tidak hanya itu, minimnya penghormatan terhadap dosen sebagai penjaga gawang intelektual dengan rendahnya gaji yang diberikan, memaksa dosen untuk mengambil jalan lain. Misalnya dengan mengajar tambahan di universitas lain. Dengan demikian waktu yang seharusnya digunakan untuk membaca tambahan khasanah pengetahuan atau penelitian untuk pengembangan pengetahuan pun harus diperkosa. Jika sudah demikian siapa yang berani menjamin bahwa mutu dosen masih bisa dijaga.
Agaknya, kesalahan demi kesalahan demikian bertumpuk menyesaki relung kesadaran otak kita. Problem pendidikan menjadi bertambah ruwet tanpa kita tahu harus mulai mengudar dari mana. Bagi saya sendiri, yang seharusnya dipertanyakan lagi adalah apa arti sebuh universitas bagi kita. Jika benar anda yakin bahwa pendidikan bisa ditempuh di mana saja, mengapa kita harus takut untuk tidak masuk perguruan tinggi favorit?
Belajar, tinggal belajar saja, sebagaimana Bung Andreas bilang bukankah hal yang paling penting justru kita harus belajar di universitas kehidupan. Ada baiknya kita berkaca untuk kembali lagi belajar pada alam, untuk kembali mengingat bahwa kita adalah manusia yang sesungguhnya. Desantara-Ah. Mujib