Sekolah Multikultural Desantara (Angkatan 2008)

desantara-default

Desantara.or.id

Desantara Foundation. Setelah sering kali mengadakan pelatihan di berbagi daerah di nusantara dengan berbagi isu dan subyek kajian; dari isu kritik wacana agama, perempuan multikultural hingga cultural studies. Kali ini Desantara menggelar kembali pelatihan yang hampir serupa. Namun isu yang dibawa pelatihan yang berlabel "Sekolah Multikultural" ini akan, sesuai namanya akan fokus pada persoalan multikulturalisme. Menurut panitia peltihan ini adalah refleksi keanekaragaman yang telah lama ditorehkan dalam pengalaman berbudaya di nusantara. Sebagai tempat pelatihan untuk tahun 2008 ini, Desantara memillih Medan, Makassar dan Mataram yang terbilang memiliki fenomena multikulturalisme yang komplek. Syarat peserta yang diharapkan bergabung di "sekolah" ini adalah berusia dibawah 37 tahun dan diutamakan perempuan. Pendaftaran untuk sekolah Multikultural di Medan telah ditutup Senin 26 Mei 2008, di Makassar sebelum tanggal 31 Mei 2008, Mataram Lombok sebelum tanggal 29 Juni 2008. Menyertakan bentuk tulisan orisinal minimal 7 halaman (1,5 spasi, font 12 time new roman di halaman kertas A4 ). Tema: Belajar Bersama Menulis Keanekaragaman Masyarakat Berdasarkan Pengalaman dan Perspektif Multikultural

Pendahuluan. Indonesia adalah negara dengan sistem sosial dan budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman ini menjadi ciri paling menonjol sekaligus daya tarik yang mengundang decak kagum dan impresi bagi petualang dan intelektual dari negara lain. Bahkan jauh sebelum masa kolonialisme Eropa bercokol di nusantara, keanekaragaman ini sudah ditorehkan dalam pengalaman berbudaya di nusantara. Pendirian Candi Borobudur sebagai salah satu pusat ibadah kaum Budhis misalnya dibangun pada masa Dinasti Syailendra yang beragama Hindu Syiwa. Fakta ini membuktikan bahwa keanekaragaman itu sudah terpatri sebagai sikap normatif dalam melihat diversitas masyarakat. Disinyalir kelompok-kelompok beragama di Indonesia sudah berkembang sebagai sistem keagamaan lokal yang terus dipelihara oleh pemeluknya. Agama-agama lokal ini menyebar di berbagai wilayah propinsi. Diperkirakan jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai lebih dari enam ratus entitas. Jika masing-masing komuniti ini memiliki sistem keyakinan keagamaan sendiri-sendiri, maka bisa disimpulkan betapa kuatnya keragaman sistem keagamaan di Indonesia.

Masa pemerintahan Hindia Belanda, bangsa Indonesia juga mengalami kemajuan di bidang pemeliharaan sikap dan toleransi dalam mengakui diversitas di masyarakat. Meskipun Islam memasuki nusantara diiringi dengan pertumpahan darah di beberapa tempat, puritanisme dan ortodoksi dalam beragama tidak menjadi pilihan utama massa-rakyat di nusantara. Di Jawa misalnya, tradisi dan ritual pra-Islam masih diminati bahkan diakomodasi sebagai bagian dari nilai-nilai Islam Jawa. Di beberapa tempat, unsur lokalitas juga mendapat penghargaan yang sama: Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain.

Pemahaman tentang diversitas juga dapat kita telusuri dari forum yang cukup fenomenal karena sukses mempertemukan beberapa pemuda dari berbagai daerah di nusantara. Forum ini kemudian dikenal dengan "Sumpah Pemuda 1928". Forum ini berhasil mengumpulkan berbagai pemuda sekaligus membuat ikrar bersama yang dikenal teksnya sekarang sebagai, teks sumpah pemuda. Ketika Kolonialisme mendapat ancaman krisis moneter global di sekitar paruh pertama abad ke-20, jaringan elite pribumi semakin meningkatkan konsolidasinya di tengah keanekaragaman budaya, agama, dan etnisitas masyarakat. Misalnya ketika momentum pembentukan dasar dan falsafah negara Pancasila dalam proses perdebatan, elemen-elemen yang terlibat nyaris mengenyampingkan gagasan-gagasan ekstrim yang kontraproduktif dengan sifat keanekaragaman masyarakat Indonesia. Ini membuktikan bahwa Pancasila yang kemudian disepakati dengan lima sila, sebagian besar diserap berdasarkan aspirasi masyarakat yang bhinneka.

Sayangnya, sejarah keindahan mozaik keanekaragaman ini semakin pupus oleh kebijakan politik dari rezim yang menyebalkan. Kebijakan penertiban, pendisiplinan bertubi-tubi muncul di masa Soeharto. Orde Baru bahkan dikenal sebagai rezim otoriter. Konstitusi yang dijabarkan ke dalam sistem perundang-undangan gagal memediasi secara obyektif dan netral dalam mengelola perbedaan dan pertentangan kepentingan antar kelompok di masyarakat. Kebijakan bernuansa SARA bahkan melekat secara erat selama kepemimpinan Soeharto. Kelompok Cina misalnya kesulitan mendapatkan akses yang setara dalam pelayanan publik, seperti di bidang pendidikan, pencatatan sipil, dan kebebasan beragama. Kriminalisasi agama dalam bentuk delik penodaan agama (blasphemy) sering digunakan untuk menciduk kelompok/ individu yang dianggap sesat, membahayakan kepentingan umum karena aliran kepercayaan, atau nilai-nilai keagamaan yang ia anut.

Pendeknya, kehidupan agama dan kebudayaan semakin terancam karena diversitas semakin memudar lantaran kesalahan membuat kebijakan. Faktanya sampai saat ini, nyaris sepuluh tahun "masa reformasi" terlewati, kondisi kebebasan beragama dan diversitas di masyarakat masih belum berubah. Mendung masih menyelimuti suasana batin kelompok minoritas beragama, aliran kepercayaan dan komunitas-komunitas kecil yang masih dianggap liyan (other). Kebebasan mereka terancam karena isu penodaan agama kerap meluncur dari fatwa MUI, aparat kepolisian dan Kejaksaan. Tidak jarang, milisi sipil terlibat aksi kekerasan sembari meneriakkan gema keagamaan. Menurut sebagian sumber, selama masa pemerintahaan SBY-Kalla, sudah terjadi lebih dari 170 kali aksi kekerasan terhadap kelompok agama/ budaya minoritas.

Keanekaragaman adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Meskipun demikian, adanya fakta bahwa kehidupan kita memiliki sejumlah perbedaan, harusnya tidak merintangi terjaminnya hak hidup dan pengejewantahan nilai-nilai kemanusiaan individu dan kelompok di masyarakat. Multikulturalisme adalah konsep, paradigma, sekaligus pengalaman bagaimana diversitas ini dimaknai.

Meskipun tersedia beragam pendapat atas pemaknaan orang tentang multikulturalisme, pemahaman normatif bagaimana kita melihat perbedaan, mengelolanya demi kelangsungan hidup bersama adalah isu krusial yang penting didiskusikan, disebarkan diberbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Kita semua telah hidup dan mengalami arti diversitasdi masyarakat. Sayangnya makna positif hidup dalam perbedaan kurang disemai sebagai pengetahuan normatif bersama.

Tujuan Sekolah Multikultural

Tujuan Umum

  1. Memperkuat jaringan masyarakat sipil yang memiliki visi dan komitmen membangun masyarakat Indonesia yang multikultural
  2. Membentuk jaringan penulis muda yang memiliki perhatian di bidang kebudayaan dan diversitas agama dan kebudayaan
  3. Mewadahi para penulis muda dari berbagai latar belakang melalui forum diskusi/sharing untuk mengasah pemahaman paradigma multikultural
  4. Memdorong dan memperluas kampanye multikultural sebagai alat pikir dan tindakan menyemai perbedaan di Indonesia.

Tujuan Khusus

  1. Memperluas Jaringan Desantara di kalangan penulis/aktivis muda di sekitar wilayah Medan, Makassar, dan Lombok
  2. Menghasilkan draf tulisan berbasis pada gagasan multikultural yang dapat disebarkan ke berbagai media, khususnya media Desantara.
  3. Mendorong forum serupa yang diinisiatif oleh jaringan-jaringan Desantara lainnya.

Metode Sekolah

  1. Dialogis : Sekolah ini bersifat dialogis karena seluruh komponen yang terlibat pada dasarnya adalah orang-orang yang sedang belajar secara bersama-sama. Jadi dalam proses ini, penting untuk memperlakukan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran di kelas secara setara, dengan menanamkan sikap dialog (saling berbagi) satu sama lain.
  2. Kritis-Partisipatoris : Proses belajar bersama ini menekankan seluruh komponen yang terlibat bersifat kritis yang konstruktif, bersedia mengeluarkan kemampuan intelektualnya dalam membangun ide untuk proses penulisan, memberikan saran dan masukan bagi peserta lain dalam konteks perbaikan dan kemajuan bersama.
  3. S2 (Serius Tapi Santai): Sebisa mungkin selama proses belajar bersama, seluruh komponen yang terlibat dapat menikmati kegiatan dari hari pertama sampai berakhirnya kegiatan. Oleh karena itu, seluruh komponen yang terlibat dalam proses belajar perlu saling mendukung untuk mendapatkan situasi yang nyaman, hangat dan jika dimungkinkan menghibur.

Durasi Belajar Bersama

1 (hari) x 9 jam x 6 (hari) 14 jam = 93 jam.

Bentuk Kegiatan

  1. Ceramah kelas 5 %
  2. Praktik menulis 35 %
  3. Sharing, Diskusi Bersama 30 %
  4. Riset dan Investigasi mandiri 30 %

Gambaran Umum Proses Belajar Bersama di kelas dan Prasarat yang diperlukan

Secara umum proses belajar ini meminimalkan kegiatan ceramah konvensional. Peserta lebih didorong dan diberi ruang yang leluasa dalam aktivitas menulis, riset dan investigasi. Meskipun demikian, peserta tetap mendapat pendampingan intensif oleh fasilitator sampai proses belajar bersama selesai. Selama proses ini, relasi yang diciptakan oleh peserta fasilitator bersifat dialogis dan intersubyektif.

Pada hari-1 peserta mulai dengan perkenalan lalu pembekalan materi. Pembekalan ini hanya berlangsung selama dua sesi (sekitar 5 jam). Seperti kuliah umum biasa, sesi ini menyediakan pembicara untuk menjelaskan topik seputar isu multikultural. Pembicara pertama bisa dari fasilitator sendiri untuk menyampaikan gambaran umum tentang gagasan multikultural, konsep, sejarah, dan relevansinya di Indonesia. Sesi pembekalan berikutnya, diperlukan pembicara dari unsur komunitas, negara, atau akademisi yang dapat memberikan masukan seputar persoalan multikultural di wilayahnya masing-masing. Pada tahap ini, fasilitator sudah menekankan pemahaman mengenai diversitas di Indonesia, situasi di lapangan berdasarkan pengalaman komunitas, kendala-kendala yang dihadapi, kebijakan negara yang dimunculkan dan dinamika yang terjadi antara negara vis a vis komunitas.

Pada sesi berikutnya, Peserta langsung diberi ruang mempresentasikan hasil tulisan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Peserta diminta satu per satu mempresentasikan draf tulisan ini dalam waktu yang sudah ditentukan. Selama proses ini, peserta yang lain juga dapat berperan aktif dalam menyusun dialog yang konstruktif diantara mereka. Fasilitator dituntut memberikan masukan terbaiknya, dan sikap kritis konstruktif dalam memberikan penilaian atas gagasan peserta yang tertuang dalam draf tulisan tersebut.

Setelah sesi ini, peserta secara mandiri menentukan sendiri bentuk tulisan, perubahan-perubahan yang diperlukan, dan riset serta investigasi mandiri. Selama sesi ini, peserta berfokus untuk menyempurnakan hasil tulisan dengan didampingi penuh oleh fasilitator dalam suasana dialogis dan nyaman. Lebih dari 60 persen kegiatan difokuskan untuk memperbaiki bentu tulisan.

Selama proses ini perhatian utama ditujukan kepada peningkatan kapasitas peserta dalam mengolah gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Peserta didorong membangun argumentasi secara sistematis, memperbaiki dan meningkatkan daya literasi dan mempertajam kapasitas literasinya dalam mengangkat tema-tema kebudayaan.

Prosedur pendaftaran

  1. Mengirimkan cv dan identitas calon peserta via imel: mail@desantara.or.id, dan desantara@gmail.com, atau via pos ke alamat kantor Desantara Foundation, Jalan Pemuda 35 Depok Jawa Barat. Tlp. 0217775425
  2. Menyertakan contoh tulisan orisinal calon peserta (diutamakan yang sudah dimuat di media dengan isu seputar masalah sosial dan kebudayaan)
  3. Menyerahkan seluruh berkas nomer 1,2 sebelum tanggal 25 Mei 2008 jam 22.00.

Tempat Kegiatan dan Tanggal (tentatif) :

  1. Medan (Sumatera Utara) : 9-14 Juni 2008 (PERUBAHAN JADWAL)
  2. Makassar (Sulawesi Selatan) : 21-27 Juni 2008
  3. Lombok (Nusa Tenggara Barat) : 21-27 Juli 2008

Prosedur Pendaftaran dan Syarat Peserta:

  1. Menyertakan cv (biodata) lengkap, disertai foto 3 X 4 dan alamat serta nomer kontak (telpon, HP) yang bisa dihubungi
  2. Menyertakan bentuk tulisan orisinal minimal 7 halaman (1,5 spasi, font 12 time new roman di halaman kertas A4).
  3. Mengirimkan poin 1 dan 2 di atas ke alamat Desantara, jalan Pemuda 35 Depok, Jawa Barat, tlp 0217775425, fax: 02177201121, atau alamat imel:
  4. Peserta yang mendaftarkan diri seperti di poin 1, 2 di atas berusia tidak lebih dari 37 tahun (sejak Maret 2008)
  5. Peserta perempuan lebih diutamakan
  6. Peserta yang mendaftarkan ke sekolah Multkultural di Medan harus berdomisili di sekitar Medan, yang mendaftarkan ke sekolah Multikultural di Mataram Lombok (NTB), harus berdomisili di sekitar Lombok, dan bagi yang mendaftar sekolah multikultural di Makassar harus berdomisili di sekitar Makassar.
  7. Pendaftaran untuk sekolah Multikultural di Medan harus sudah ditutup tanggal 26 Mei 2008, di Makassar sebelum tanggal 31 Mei 2008, Mataram Lombok sebelum tanggal 29 Juni 2008.

BAGIKAN: