“Tak ada itu, tidak ada. Seniman-seniman di sini tak pernah mengecap anggaran kesenian atau kebudayaan.” Kalimat ini meluncur spontan dari bibir Ansar Ropu (70 tahun), seniman tradisi asal Takalar, Sulawesi Selatan, menjawab pertanyaan Desantara seputar alokasi dana pengembangan kebudayaan dalam APBD setempat.
“Kita nggak tahu dana itu ada atau tidak, kalaupun ada sudah pasti tidak pernah sampai ke kita-kita ini,” tandas pria tua berkaca mata ini yang mengaku tak mengerti benar seluk beluk anggaran rakyat ini. Ia pun mengaku sanggar seni Toddopuli yang dikelolanya toh masih tetap eksis meski selama ini tak pernah menerima bantuan dari pemerintah.
Ansar Ropu jelas tak sendirian. Banyak seniman lain ternyata tak tahu menahu kemana anggaran publik ini digulirkan. Bahkan dana APBD yang terus menerus meningkat setiap tahun ini tak pernah dirasakan peruntukannya oleh pelaku kebudayaan dan seniman di wilayah ini. Siswati, misalnya. Pendiri sanggar Janur Kuning ini malahan mengaku belum pernah memperoleh anggaran sepeserpun. “Kami lebih banyak swadaya, malahan kita seringkali patungan di setiap pementasan,” ujarnya singkat.
Di Pangkep, cerita yang nyaris sama terdengar. Seniman Bissu yang kerap tampil dalam even-even internasional mengharumkan kekayaan budaya Sulsel pun terabaikan. Eka, seorang Bissu muda saat ditemui di rumahnya malah bertanya balik. “Adakah anggaran untuk kita-kita ini,” ujarnya penuh tanda tanya.
Tak transparan
Nampaknya ada dua alasan mengapa para seniman ini tidak tahu menahu tentang anggaran kebudayaan ini.
Pertama-tama pemerintah tidak bersikap transparan baik dalam penyusunan maupun penggunaan anggaran publik. Selama ini rancangan program kebudayaan disusun lewat usulan instansi terkait seperti dinas pariwisata serta dinas pendidikan dan kebudayaan, tanpa melibatkan secara langsung kalangan budayawan, seniman, bahkan dewan kesenian setempat. Sementara di pihak lain para seniman ini nampaknya juga tak mau tahu seberapa besar alokasi anggaran kebudayaan itu lantaran pemerintah dianggap sering tak konsisten dalam pengembangan kebudayaan.
Akibat tiadanya transparansi dalam proses perencanaan, penyusunan dan pengelolaan anggaran ini, dinamika kebudayaan masyarakat bukan hanya mandeg tapi juga diwarnai konflik di kalangan seniman. Di Pangkep, misalnya, letupan kecil konflik muncul lantaran para seniman mulai saling curiga dan menuding pihak tertentu menerima dana tanpa sepengetahuan yang lain. Hal yang sama pernah terjadi di komunitas Cikoang Takalar, pada 2004 lalu. Waktu itu dikabarkan pemerintah menyediakan dana sebesar 500 juta rupiah untuk biaya pelaksanaan perayaan Maudhu Lompoa. Alkisah ternyata dana yang ditunggu-tunggu tak kunjung cair, sementara para seniman mulai terpecah belah akibat saling curiga soal penggunaan dana bantuan pemda yang ternyata hanya isapan jempol belaka.
Kisah ini dituturkan Mansur Aidid dg Nompo, salah seorang seniman Takalar yang terlibat dalam kepanitiaan perayaan itu. Ia pun lantas menilai peristiwa tersebut adalah bagian dari upaya intervensi politik pemerintah dalam pelaksanaan Maudhu Lompoa yang rencananya digelar besar-besaran itu.
Jika anggapan ini benar terjadi, tidaklah keliru apa yang disinyalir Khudri Arsyad mengenai adanya misi politik dalam pelaksanaan realisasi bantuan kesenian. Menurut aktifis pemantau anggaran yang tergabung dalam Forum Informasi dan Komunikasi Non-Government Organization (FIK-NGO) ini, dana yang turun di kalangan sebagian seniman berkaitan erat dengan kepentingan merawat konstituen politik. Dengan demikian hanya seniman yang dekat dengan penguasalah yang menerima berkah bantuan itu.
Partisipasi seniman
Karena itu partisipasi para seniman dalam penyusunan anggaran layak ditekankan di sini. Bukan lantaran hendak menggantungkan diri pada pemerintah, yang berakibat pada hilangnya independensi kaum seniman. Melainkan atas dasar kontrol terhadap kebijakan negara agar sebesar-besarnya ditujukan demi kepentingan publik seniman.
Kini sudah saatnya kaum seniman merepresentasikan dirinya dalam pengambilan kebijakan anggaran daerah. Dan bukan sekadar menjadi objek kebijakan yang sebenarnya mengabaikan keberadaan dan peran mereka.
Setidaknya, seperti saran yang diajukan Khudri, kaum seniman mesti mencari tahu apa yang menjadi rencana strategis tahunan Dinas Pariwisata. Bila rancangan itu ternyata menguntungkan institusi parawisata belaka, tanpa memberi keuntungan bagi pengembangan kebudayaan dan kaum senimannya. Maka sewajarnya pula bila kaum seniman berani menolaknya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Desantara