admin | 9 – Mar – 2008
Bulan Februari ini, ada hal yang menarik dari perayaan upacara “Seren Taun” masyarakat adat di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Upacara tahunan ini diselenggarakan dengan sangat meriah. Bupati Kuningan, para pejabat pemerintah daerah dan pejabat pariwisata juga ikut hadir. Kemeriahan ini juga bisa dilihat misalnya dari kibaran berbagai macam umbul-umbul sponsor produk-produk komersial di sepanjang jalan, pameran produk-produk lokal, dan sebagainya. Apalagi upacara juga dibanjiri oleh ribuan penonton yang bukan hanya datang dari masyarakat setempat tapi juga mereka yang datang dari kota-kota sekitarnya. Entahlah, mungkin mereka ingin sekadar menikmati pertunjukan upacara ini karena memang Seren Taun pernah dilarang penyelenggaraannya semasa Orde Baru. Gara-gara karena ritual ini dianggap bisa mengancam keberadaan agama-agama resmi. Setidaknya “Seren Taun” ini dikhawatirkan akan menjadi semacam “agama baru”.
“Seren Taun” kini benar-benar menjadi upacara yang dirayakan secara universal. Maksudnya ia tidak hanya dirayakan oleh penghayat kepercayaan atau mereka yang masih berpegang teguh pada tradisi atau keyakinan adat, tapi juga dirayakan oleh masyarakat agama lain baik dari Islam, Kristen, Katolik, dan lainnya. Bahkan mereka semua bersama-sama ikut terlibat dalam penyelenggaraan upacara tersebut. Ini tentu berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang suram. Di mana Seren Taun dianggap oleh kalangan lain yang menganut agama resmi sebagai upacaranya penghayat Kepercayaan Cigugur yang menyesatkan, ritualnya orang yang sesat atau kafir dan lain sebagainya. Ditambah lagi kebijakan aparat birokrasi negara yang mendiskriminasi dan membatasi penghayat dan masyarakat adat Cigugur.
Keterlibatan kalangan agama-agama dan penerimaan serta keterbukaan masyarakat terhadap upacara ini menunjukkan perubahan penting dalam interaksi sosial masyarakat Cigugur, khususnya interaksi agama-agama dan budaya lokal dalam masyarakat Indonesia.
Hal penting yang hendak digarisbawahi di sini adalah bahwa masyarakat penghayat dan komunitas adat Cigugur benar-benar menyadari bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sebelumnya tidak mereka peroleh adalah sesuatu yang harus mereka perjuangkan terus menerus. Kebebasan ini bukan hadiah, tapi perjuangan yang penuh pengorbanan melewati proses komunikasi, resistensi, negosiasi, dan keterbukaan-keterbukaan dalam interaksi. Persisnya, dalam penglihatan kami masyarakat Cigugur sangat tekun dan lihai dalam memainkan performen melalui siasat kebudayaan.
Kehadiran para pejabat daerah dan dinas pariwisata di satu titik bisa dipandang dengan agak sembrono sebagai “komersialisasi” upacara Seren Taun, yakni Seren Taun sebagai obyek pariwisata bagi pemda setempat. Tapi di sisi lain, ini adalah siasat budaya masyarakat untuk “universalisasi” budaya Cigugur atau yang lebih penting adalah pengakuan terhadap keyakinan dan kepercayaan masyarakat Cigugur, yang selama bertahun-tahun telah ditindas dan dipinggirkan. Ini sekaligus membalikkan pandangan umum sebelumnya yang stereotipe dan minor terhadap kepercayaan dan hasanah tradisi kebudayaan masyarakat setempat.
Sangat menarik apa yang dinyatakan Pangeran Djatikusumah dihadapan masyarakat dan para pejabat pemerintah daerah di perayaan upacara “Seren Taun” yang meriah itu, yang kurang lebih demikian: upacara “Seren Taun” jangan hanya menjadi sekadar objek pariwisata, tapi sebagai wujud ekspresi spiritualitas dan budaya masyarakat Cigugur yang adiluhung yang harus kita hayati bersama-sama. Desantara