Bagi peminat kesenian tradisional Kutai, Tingkilan pasti sudah tak asing lagi di telinga. Musik gambus ala Kutai ini sempat populer di kalangan masyarakat sekitar tahun 1960-an hingga 1990-an. Di berbagai kampung seperti Tenggarong dan sekitarnya, hampir semuanya memiliki maestro-maestro yang handal. Mereka tampil di acara-acara keluarga seperti perkawinan, tasmiyahan (pemberian nama), sunatan dan selamatan. Dan tak lupa masyarakat pun berdatangan guna menyaksikan sang maestro mereka tampil.
Tapi, itu cerita dulu. Keramaian musik Tingkilan yang pernah amat digemari publik itu kini berangsur-angsur sepi. Para maestro gambus yang pernah dielu-elukan penonton itu seolah hilang bak ditelan bumi. Di sana sini orgen tunggal (elektone) menyeruak tampil menghiasai acara-acara resmi maupun tak resmi masyarakat Kutai. Mulai dari acara sunatan sampai peringatan Agustusan.
Sebenarnya cerita macam ini tidak hanya terjadi di Kutai. Hampir di berbagai pelosok negeri yang mengalami proses modernisasi, keterpinggiran dan penyesuaian-penyesuain budaya jamak dialami oleh massa rakyat, termasuk para pelaku budaya dan seniman. Mereka yang tak mampu merespon perubahan ini dengan cerdas akan segera tergilas. Sementara sebagian yang masih bertahan terpaksa harus menyerap perubahan-perubahan baru itu meski dipenuhi rasa gelisah dan putus asa, lantaran tradisi lamanya berangsur-angsur memudar. Survivalitas hidup dipertaruhkan.
Ini pula yang tengah dialami para seniman Tingkilan sekarang ini. Musik populer seperti dangdut yang kini cukup hanya diiringi sebuah elekton saja, lebih bisa diterima dan digemari penonton. Selain lebih murah, katanya, warna musik yang dihadirkan pun lebih variatif dan menarik. Penonton bisa langsung meminta lagu sesuai yang diinginkannya.
Pak Boyon (70 tahun) misalnya. Salah seorang maestro Tingkilan di Tenggarong ini amat gelisah ketika musik dangdut dan elekton semakin mendominasi pertunjukan-pertunjukan. Bahkan dia mulai khawatir musik yang digelutinya sejak usia muda ini tidak akan digemari lagi oleh publik.
Hal yang sama juga dialami Pak Arifin, salah seorang maestro Tingkilan yang akhir-akhir ini sering tampil di radio-radio setempat. Sampai akhirnya keduanya harus membuat pilihan penting untuk menggabungkan musik Tingkilan dengan jenis musik modern yang lebih digemari publik.
”Setiap pertunjukan, kami akhirnya membawa dua alat sekaligus. Satu musik Tingkilan, dan lainnya musik keybord atau orgen tunggal untuk memenuhi permintaan penonton,” ujar Pak Arifin yang juga pemilik Sanggar budaya Karya Darma ini.
Lebih lanjut Pak Arifin segera menyadari bahwa profesi dirinya sebagai seorang seniman penghibur tidak bisa dilepaskan dari kehadiran para penonton. Justru ia sadar bahwa nasib kesenian yang digelutinya amat bergantung pada selera penonton.
”Kalau penonton maunya musik dangdut, masak kita harus main Tingkilan terus. Bisa nggak laku kita,” lanjut Arifin yang juga kerap manggung di Radio Pemerintah Kutai (RKP) ini. Lama kelamaan, kata Arifin, dirinya merasa terbiasa dengan kondisi ini, termasuk semakin berkembangnya berbagai alat dan aliran musik yang beragam. ”Bahkan sekarang group Tingkilan saya semakin ramai,” katanya lagi.
Pengalaman yang tak jauh berbeda juga dialami Pak Boyon. Ia mengaku tak mungkin menolak kehadiran musik elekton yang semakin digemari. Maka, sejak tahun 2003, ia mencoba mengadopsi musik elekton ke dalam permainan Tingkilan.
”Sejak lima tahun terakhir, saya memilih untuk melengkapi alat-alat elekton supaya orang yang punya acara bisa memilih Tingkilan atau dangdutan karena menurut saya dua-duanya baik,” ujarnya. Dengan demikian, menurut Boyon lebih lanjut, ia bisa memainkan semuanya (tingkilan dan dangdutan) tergantung pesanan pihak tuan rumah yang memiliki hajatan.
Yang lebih menarik lagi, pemilik group Tingkilan Karya Budi ini tidak hanya mengombinasikan musik tradisional dengan musik modern. Agar lebih memikat hati penonton, di panggung para pemain ini juga siap melepas pakaian khas Kutai yang dikenakan saat bermain Tingkilan bila tiba-tiba penonton menghendaki musik dangdut dimainkan. ”Kami sih luwes aja,” kata pemilik group yang berdiri sejak tahun 1975 ini.
Munculnya musik modern kini memang tidak lagi menjadi problem bagi para seniman tradisi ini. Bahkan menurut Arifin, dengan mengadopsi musik modern group Tingkilan yang dibinanya justru semakin memperoleh respon yang baik dari penonton. ”Bahkan sekarang ini orang-orang Jawa juga sering minta kami memainkan Tingkilan. Ini karena permainan kami semakin lengkap,” ujar Arifin sambil membeberkan tarif groupnya yang sebesar 1,5 juta rupiah sekali pentas.
Kehadiran musik modern dalam khazanah kesenian tradisional rupanya memang tidak berarti mematikan bagi tradisi. Terbukti para seniman Tingkilan justru semakin kreatif dalam mempertahankan tradisi yang dimiliki.
”Tingkilan milik pak Boyon dan pak Bon selalu ditunggu penggemarnya, mulai dari Bontang hingga Kutai Barat sana. Dan yang banyak biasanya dari Samarinda. Pendengar biasanya ingin kangen-kengenan, sekedar mendengar bahasa Kutai, yang juga menjadi ikon bagi radio RPK,” ujar Ridwansyah, pengasuh program seni budaya di Radio RPK Tenggarong. Dan sudah beberapa bulan terakhir RPK memang membuat program musik populer berbahasa Kutai yang tampil bergantian dengan musik tradisi Tingkilan.
Lebih lanjut Ridwansyah berpendapat lembaga seperti Dinas Pariwisata dan LPKK mestinya memfasilitasi para pemain tradisi Tingkilan. Tetapi kelihatannya belum maksimal dalam memberi ruang untuk mereka dalam berekspresi. Pandangan serupa jug adilontarkan Dato’ Marangan, yang juga pemerhati budaya Tingkilan. Ia menyebut bahwa kesenian Tingkilan saat ini ”la yamutu wa la yahya” (mati suri).
LPKK mestinya punya format untuk tetap memastikan kesenian Tingkilan bisa berdampingan dengan musik populer saat ini. Bagi Dato’ Marangan, kota Tenggarong yang menggembar-gemborkan ikon sebagai kota wisata, mestinya lebih menghargai dan memberikan ruang kesenian tradisi seperti Tingkilan.
”Jangan malah kita lebih memperhatikan yang populer, dibandingkan yang tradisi. Orang yang berkunjung ke Tenggarong lebih ingin mencari untuk mengenal kesenian tradisi seperti Tingkilan, Jepenan, Tarsulan. Kalau ketemu malah yang musik populer, kan lucu,” kata Daato’ Marangan.
Nampaknya siasat yang dijalankan oleh beberapa kelompok musik tradisi Tingkilan di Tenggarong ini amat menarik perhatian kita. Bagaimana mereka harus bertahan dan bahkan mampu menaklukkan musik populer modern, sehingga Tingkilan masih tetap eksis hingga kini.
”Musik modern tidak lebih baik dari musik tradisi Tingkilan,” ujar Pak Boyon penuh keyakinan bahwa Tingkilan akan terus eksis menghibur penontonnya di kampung-kampung dan kota-kota. Semoga. Desantara