Simbol Sebagai Perebutan Ruang

Tulisan ini adalah hasil pembacaan saya terhadap makalah Dick Hebdige yang berjudul from culture to hegemony. Ia seorang ilmuan yang meneliti tentang sejarah kebudayaan dari abad klasik sampai sekarang. Metode yang dilakukannya bersifat campuran dari berbagai teori. Tujuan penelitiannya adalah sebagai justifikasi teoritis atas penelitiannya tentang subkultur. Subkultur sendiri merupakan bagian dari kultur yang lebih besar namun mempunyai obyek, ruang dan simbol sendiri yang seringkali digunakan sebagai perlawanan kepada kultur yang lebih besar tersebut. Kultur yang lebih besar dapat berupa negara, agama non lokal, maupun isntitusi pendidikan.
Perlawanan yang dilakukan subkultur itu dilakukan dengan cara negosiasi dan konvergensi atau “hibridaisasi”. Negosiasi bisa berbentuk bermacam-macam. Ia dapat berbentuk dekontruksi, mistifikasi maupun pemunculan mitologi baru dan akan dijelaskan nanti. Dengan cara negoisasi subkultur menampakkan identitas mereka. Identitas yang mereka tampakkan adalah identitas lokal.
Adapun metode yang digunakan Hebdige adalah metode campuran. Hebdige pertama kali menyebutkan konsep kebudayaan sebelum dan sesudah abad 18. pergeseran makna kebudayaan pendapat orang terhadap penyempitan makna kebudayaan itu dan penyempitan makna itu menyebabkan kajian tentang kebudayaan beralih dari hal yang sengat disiplin menjadi sesuatu yang tidak disiplin. Ia juga mengadopsi teori mitologi Rolland Barthes, ideologinya Althusser dan hegemoninya Gramsci. Yang pada satu titik ketiga teori itu mempunyai kesamaan funngsi yakni sama-sama berfungsi untuk menaturalkan makna yang tidak biasa menjadi biasa di dalam suatu kebudayaan dan masyarakat terutama dalam kehidupan sehari-hari. Dan Hebdige mengakhiri dengan perlawanan kelompok subkultur itu sendiri. Bagaimana percampuaran teori itu mungkin dan bagaimana akhirnya subkultur itu mengambil bentuk perlawanan dari suatu simbol yang menjadi ajang perebutan bagi penguasa maupun kelompok lokal? Maka artikel Hebdige ini cukup untuk menjelaskan.
Pembahasan
Sebelum abad 18, konsep kebudayaan mengandung banyak arti. Dan kalau mengacu kepada ilmu pengetahuan, kebudayaan mempunyai dua arti; proses dan hasil. Namun akhir abad 18 dan saat itu muncul gerakan kritis inggris, kebudayaan mempunyai arti yang lebih spesifik; standar kebaikan hidup dan cara hidup. Standar kebaikan hidup bisa diapresiasi dengan karya sastra. Cara hidup dapat diapresiasi dengan kehidupan sehari-hari.
Dua konsep kebudayaan di atas banyak dikembangkan di Universitas-universitas di Inggris. Dua konsep kebudayaan itu tidak dapat digunakan untuk memahami perkembangan kebudayaan dan masyarakat. Karena perkembangan kebudayaan dan masyarakat tidak statis tetapi dinamis. Dengan demikian, konsep kebudayaan itu perlu ditopang dengan metode yang lain.
Adalah Raymond Williams dan Richard Hoggart berusaha mencari jalan keluar dari kebuntuan itu. Keduanya berasal dari kelas pekerja yang berhasil menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Latar belakang itu mempengaruhi keduanya untuk melakukan penelitian terhadap kebudayaan sehari-hari yang dianggap kebudayaan kelas pekerja, kebudayaan rendah dan kebudayaan yang bukan kebudayaan adiluhung. Kajian akan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari ini menjadi cikal bakal lahirnya cultural studies. Keduanya mengembangkan kajian budaya itu di luar institusi pendidikan sebagai perlawanan terhadap intitusi pendidikan yang penuh dengan disiplin waktu itu (sampai sekarangpun jarang sekali institusi pendidikan yang mengembangkan penelitian yang anti disiplin). Hal ini mempengaruhi kepada cultural studies itu sendiri sebagai suatu kajian anti disiplin.
Usaha yang dilakukan Raymond Williams untuk keluar dari kebuntuan itu adalah dengan menggunakan teori lain sebagai pembatu. Ia mengatakan bahwa dua konsep kebudayaan ini dapat digunakan untuk memahami keseluruhan perkembangan kebudayaan dan masyarakat jika ada teori lain yang dilibatkan. Teori yang lain itu adalah teori tentang hubungan antara elemen-elemen dalam keseluruhan pandangan hidup. Sehingga penekanannya berubah, bukan lagi pada hal yang tetap tapi pada hal-hal yang terus berubah dan dinamis. Yang dipelajari dan diamati adalah model-model perubahan itu. Belajar bentuk-bentuk perubahan itu berguna untuk menemukan penyebab umum atau trend-trend tertentu yang ada di balik katampakan-ketampakan yang dinamis dan berubah-ubah dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga keseluruhan perkembangan kebudayaan dan masyarakat bisa lebih baik dipahami.
Sedangkan usaha yang dilakukan Richard Hoggart adalah menggunakan teori sastra sebagai alat untuk membantu memahami dan mencari makna dari perkembangan kebudayaan dan masyarakat. Pada saat yang sama teori semiotik yang dikembangkan oleh Rolland Barthes (ia seorang intelektual Perancis) mulai dikenal di Inggris. Metode ini juga digunakan oleh Richard Hoggart untuk memahami makna perkembangan kebudayaan dan masyarakat yang banyak termanifestasikan melalui simbol-simbol.
Barthes; mitologi dan Sign.
Dengan menggunakan model yang digunakan Saussure, Barthes ingin mengungkapkan hakikat fenomena kebudayaan. Menurut Barthes, bentuk ritual masyarakat borjuis mengarah kepada hal yang distorsi dan naturalisasi. Naturalisasi melalui sebuah mitos. Mitos adalah bentuk percakapan. Melalui percakapan ini, Barthes ingin menguji kode-kode, konvensi, dan tanda yang nampaknya alami. Menurut Barthes, kode-kode, konvensi dan tanda-tanda itu tidak natural tapi buatan yang didasarkan kepada maksud dan tujuan tertentu yang core atau tujuannya sama. Masing-masing bisa ditunjun dengan retorika yang sama dan menuju kepada pemitosan (pengalamiahan) dan pemaknaan kedua atau sekunder. Pemaknaan kedua ini disebut teori konotasi dalam semiotik yang juga dikembangkan Barthes.
Dengan semiotik atau cara memaknai dari teori Barthes ini, bahasa, realitas, maupun pengalaman dalam kehidupan sehari-hari bisa dimaknai. Dan hal ini membuka kemungkinan baru bagi kajian-kajian budaya seperti cultural studies. tapi semiotik bukan asimilasi proyek cultural studies. Melalui teori semiotik, kebuntuan yang dihadapi oleh neo-marxist dapat teratasi. Marxist sendiri memandang kebudayaan sebagai telaah tentang relasi konflik secara keseluruhan. Dan menurut Thomson pandangan Marxis ini bertentangan dengan pendapat Raymond Williams yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu teori tentang hubungan tentang pandangan hidup secara keseluruhan.
Sebagai pisau analisa lebih lanjut untuk mengungkapkan suatu makna yang lebih mendalam maka istilah baru perlu dipelajari sebagai bagian dari proses teorisasi dan istilah itu adalah ideologi.
Ideologi; relasi yang hidup
Ideologi disebut juga dengan struktur dasar. Menurut Marx, struktur dasar ekonomi kapitalis yang meliputi survus value, dan keuntungan, tersembunyi dari kesadaran agent produksi. Ideologi dipandang sebagai kesadaran palsu. Dan lawannya adalah struktur dasar itu berada dalam kesadaran. Stuart Hall mengatakan ideologi itu sebagai kualitas yang spontan. Struktur dasar menurut Althusser mengacu kepada keluarga, kebudayaan dan institusi politik. Struktur dasar menurut Hebdige mengacu kepada struktur fisik seperti gedung. Menurut hebdige, kebanyakan gedung intitusi pendidikan modern secara implisit mengandung asumsi ideologis yang distrukturasikan ke dalam bentuk bangunan itu sendiri (arsitektur).
Lebih lanjut Hebdige mengatakan bahwa katagorisasi pengetahuan ke dalam sains dan seni terus direproduksi di dalam sistem fakultas. Bangunan-bangunan itu menentukan prilaku subjek yang masuk ke dalam bangunan itu. Ruang kelas juga menciptakan hirarki antara guru dan murid. Artinya hubungan antara guru dan murid menjadi jelas hirarkinya. Hirarki ini kemudian “menaturalkan” bahwa guru mempunyai otoritas profesional. Sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kelas kemudian diciptakan. Sehingga tanpa sadar, siswa yang masuk kelas sudah tidak punya pilihan lagi. Siswa harus ikut pola-pola yang telah diputuskan.
Keputusan itu membatasi siswa untuk selalu berfikir kritis. Gedung-gedung yang ada terus-menerus mereproduksi anggapan tersembunyi tentang definisi pendidikan dan proses pendidikan. Gedung-gegung membentuk pola pikir siswa tentang arti sebuah pendidikan. Pendidikan hanya didapat di sekolah termasuk anggapan yang didorong oleh keberadaan gedung itu sendiri. Tanda, gedung, hubungan sosial semua itu adalah dimensi ideologis.
Untuk menemukan dimensi ideologis, kita harus memecahkan kode-kode yang ada. Kode dipandang sebagai peta makna. Dan peta makna itu merupakan produk yang sudah terseleksi. Dan kita hidup di sisi tanda itu seakan-akan kita hidup di dunia nyata. Semua manusia terus menerus mereproduksi mereka sendiri melalui tanda-tanda itu dengan cara proses natualisasi. Melalui proses ini pula, semua orang menganggap bahwa sejumlah relasi atau hubungan yang ada muncul dihadapan kita seolah-olah memang begitulah keadaan sebenarnya. Relasi itu dianggap universal dan tanpa batas. Dalam konteks ini, Althusser megatakan bahwa ideologi tidak mepunyai sejarah. Dan ideologi merupakan elemen yang penting dalam formasi sosial (organisasi, perkumpulan atau badan yang dibentuk).
Secara keseluruhan, ideologi dalam pengertian peta dari pemaknaan, secara potensial terus-menerus melakukan pemaknaan yang eksplosif (penyingkiran akan makna yang lain). Dan hal ini dilakukan melalui “diskursus”. Dan yang melakukan penyingkiran itu adalah diskursus yang dominan; hal ini berarti ideologi yang dominan. Dan ideologi yang dominan ini mencerminkan kekuasaan yang dominan. Untuk memahami ini kita harus mengacu kepada Marx:
Ide kelas yang berkuasa adalah ide penguasa. Kelas penguasa itu adalah kekuatan sosial penguasa dan pada saat yang sama kekuatan intelektual penguasa. Kelas yang wataknya mempunyai sarana produksi material pada saat yang sama ia menguasai produksi mental. Sehingga, ide-ide kelas yang punya sarana produksi mengacu kepada ide kelas penguasa. Ide penguasa tidak lain hanyalah ekspresi dari ide hubungan material dominan yang diselubungkan ke dalam suatu ide-ide; hal ini berarti ide-ide kelompok dominan.
Ucapan Karl Marx ini memberikan pengaruh yang sangat besar bagi Gramsci dalam teori hegemoninya.
Hegemoni; the moving equilibrium
Term hegemoni mengacu kepada suatu situasi. Situasi yang memungkinkan kelompok yang berkuasa menjadi menang. Situasi yang menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Pengertian ini sama dengan mitologinya Barthes. Hegemoninya Gramschi dan mitologinya Barthes sama-sama mempunyai fungsi yang vital yakni menaturalkan dan menormalkan bentuk-bentuk dan makna-makna.
Naturalisasi bentuk dan makna ini bersifat tidak permanen (kekal). Contoh naturalisasi adalah (kalau agama) nilai-nilai kebenaran yang terdapat dalam teks-teks kitab suci agama-agama. Bahwa yang benar hanyalah teks-teks kitab suci teks-teks. Awalnya hal ini adalah sesuatu yang tidak biasa. Kemudian penguasa (dalam hal ini yang dimaksud penguasa adalah penguasa agama) melakukan pembiasaan (naturalisasi) yang benar hanyalah teks-teks kitab suci itu. Naturalisasi juga dapat dilakukan dengan mistifikasi atau melakukan pemitosan-pemitosan terhadap tokoh-tokoh agama.
Naturalisasi ini dapat dilawan dengan cara-cara dekonstruksi, demistifikasi dan memunculkan mitos yang lain. Contoh perlawanan ini bisa kita jumpai dalam masyarakat subkultur. Perlawanan yang mereka lakukan antara lain melalui tiga cara di atas. Mereka melakukan dekonstruksi terhadap makna yang diciptakan oleh kultur yang lebih berkuasa. Kultur yang lebih berkuasa itu bisa agama, kebudayaan negara (penguasa), maupun institusi lain seperti pendidikan. Dekonstruksi terhadap agama dilakukan dengan memunculkan teks-teks tandingan sebagai rujukan moral mereka. Dekonstruksi terhadap negara dilakukan dengan cara memunculkan kebudayaan lokal. Sedangkan dekonstruksi terhadap pendidikan adalah dilakukan dengan cara tidak sekolah.
Perlawanan yang dilakukan oleh subkultur ini melalui proses negosiasi terus-menerus antara dua kebudayaan yakni kebudayaan subkultur dan kebudayaan dari suatu kultur yang lebih besar yang melingkupinya. Proses itu tidak mengandaikan adanya kalah menang tapi adanya ruang bagi subkultur agar kebudayaan subkultur itu dapat memperoleh ruang untuk bisa mengepresikan kebudayaannya sendiri tanpa harus dipaksa untuk mengikuti kebudayaan orang lain. Karena satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain tidak dapat diperbandingkan (incommensurability). Bagaimana dengan anda? Desantara / M. Holid

BAGIKAN: