“Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah),” begitu kata Soekarno. Bagi Soekarno, sejarah tidak semata catatan tentang rangkaian peristiwa di masa lalu. Sejarah adalah pesan. Kemampuan kita menangkap pesan itulah yang menentukan kualitas kebesaran kita sebagai bangsa. Dan kemampuan kita menarasikan sejarah memberi bentuk bagi identitas (kebangsaan) kita.
Seperti Professor Marwick, for the necessity of history, on the grounds that ‘knowledge of the past is essential to society …Without knowledge of the past we would be without identity, we would be lost on an endless sea of time’.
Dan untuk tujuan pembentukan identitas itu – seperti dibilang sang professor, tidak jarang, sejarah kerap ditulis untuk menghapus sejarah (yang lain). Di awal abad 21 ini, kita masih melihat pengalaman itu. Buku-buku dibredel, kenangan orang mengenai 1965 masih diperlihatkan dengan kekejaman dan brutalisme PKI. Dari sini identitas suatu bangsa diguratkan. Melalui Orde Baru (rezim Soeharto), sejarah ditulis untuk menghapus sejarah (lama). Nugroho Notosusanto memperlihatkan bagaimana peristiwa kekerasan 1965 dikenang sebagai Gestapu/G 30 September (Gerakan 30 September). Kenangan ini dicatatnyasebagai suatu kudeta berdarah yang didengungkan dari petinggi PKI untuk menggulingkan rezim yang berkuasa waktu itu.
Soeharto mengerti betul makna yang dimaksud Professor Marwick itu: Apa arti membangun identitas bangsa. Kekuasaan selama 30 tahun menjadi tidak sia-sia, ketika iaberusaha menghapus semua ingatan dan pikiran orang Indonesia untuk mengutuk sesuatu yang ditengarai berideologi kiri. Kiri adalah subversib yang ujungnya adalah perangai buruk. Dalam film G 30 S PKI (yang disutradarai Arifin C Noer), Gerwani digambarkan sebagai wanita kejam, liar dan pendosa. Provokasi film ini sangat menyentak dan tentu saja membekas ke dalam ingatan anak-anak SD, SMP yang diwajibkan oleh guru-guru mereka untuk menonton film ini waktu itu. Gambaran Gerwani sebagai penjahat dan biang onar, bersebalikan dengan ibu-ibu PKK yang disibukkan dengan kegiatan merawat anak-anak dan rumah tangganya.
Bahkan melalui narasi yang ditulis Nugroho Notosusanto, sosok negara berhasil dipersonifikasikan oleh kuasa Soeharto. Bersama koleganya A.H. Nasution, Nugroho pun membangun sejarah nasional yang banyak dikiblatkan pada peran penting angkatan bersenjata (militer). Inilah kesuksesan paling spektakuler. Konstruksi historiografi yang berisi pahatan pada detail peristiwa yang seragam, dimana militer adalah agent of change, komunisme senafas dengan kolonialisme berlawanan dengan nasionalisme. Bambang Purwanto, sosok sejarahwan kritis dari Yogya (UGM), meledeknya sebagai “historiografi kambing hitam atau historiografi oknum”.
Saskia Elenora Weirenga adalah salah satu perkecualian. Di antara sejarahwan yang berada di tengah historiografi kambing hitam ini, Saskia berusaha melawannya. Melalui disertasinya berjudul, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Ia dengan cukup teliti dan bersemangat, membongkar peristiwa-peristiwa yang selama ini terkubur dan dengan sengaja dihancurkan oleh rezim Orde Baru. Menurut Saskia, Gerwani telah direproduksi pengertiannya secara peyoratif, dan ia hendak menunjukkan bahwa cerita-cerita saat ini mengenai kebiadaban Gerwani dipenuhi oleh intrik dan kebohongan.
Melalui cerita Jermini, Andhika, Citra, dan perempuan lain yang pernah terlibat di lembaga Gerwani, kita juga menyuguhkan perlawanan terhadap rezim politik yang senang membuat kambing hitam dan oknum. Gerwani tidak pantas diperlakukan sebagai kambing hitam dan oknum. Cerita mengenai Gerwani sesungguhnya adalah cerita-cerita tokoh sekaligus manusia biasa yang berusaha mewujudkan impian hidupnya.
Gerwani bahkan adalah kisah heroisme perempuan Indonesia yang lahir usai republik ini sedang di awal usia untuk membangun. Semoga dengan semangat ala Saskia ini, tulisan-tulisan ini bermanfaat bagi anda.