Ada persoalan penting yang seringkali diabaikan dalam melaksanakan advokasi kebijakan. Yaitu, perlunya membangun jaringan bersama. Jaringan ini penting untuk memperkuat gerakan bersama melawan diskriminasi seperti yang kini tengah dilakukan Desantara dalam advokasi penghapusan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan.
Saya melihat persoalan diskriminasi tidak secara normatif seperti seorang ahli hukum. Melainkan lebih memilih melalui pendekatan hukum kritis. Karena pendekatan hukum kritis lebih melihat persoalan dari aspek sosiologisnya, bukan sekadar sisi formalismenya.
Seperti persoalan marginalisasi, pengucilan, atau perlakuan yang menganggap sekelompok masyarakat sebagai “tidak berbudaya” seperti yang menimpa komunitas “Bissu”, masyarakat adat di Sulawesi Selatan. Persoalan seperti ini dialami seluruh masyarakat yang dalam konteks modernisasi mereka disebut sebagai terbelakang, tradisional, pramodern, uncivilized, dan sebagainya. Dalam proyek modernisasi, apa yang dianggap tradisonal disingkirkan.
Yang lebih mengerikan dari pengalaman Orde Baru ini adalah bahwa marginalisasi itu berlangsung karena by design, baik dilakukan oleh birokrasi pemerintahan, maupun melalui kebijakan yang diciptakan. Oleh karena itu, dalam perjuangan menghapuskan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan ini kita pertama-tama perlu membongkar kebijakan, sekaligus desain dan seluruh paradigma penopangnya. Di sanalah program-program advokasi seharusnya dijalankan.
Hal penting yang harus dipersiapkan dalam mempengaruhi kebijakan adalah berupaya mengidentifikasi secara jelas dan komprehensif persoalan yang dialami masyarakat; apa akibatnya, siapa korbannya, dan seterusnya. Memang menurut saya identifikasi persoalan dan pola-pola advokasi terhadap diskriminasi yang berbentuk segregasi sosial dan isolasi, seperti dialami masyarakat ‘minoritas’ di Indonesia tidak dapat dilakukan secara sederhana. Mengapa?
Pertama, persoalan ini melibatkan peran negara. Instrumen-instrumen diskriminasi masih melekat di dalam struktur-struktur negara. Menurut saya, sejak Orde Baru seluruh instrumen diskriminasi ini lahir dari pembatasan atas tiga kebebasan dasar, meliputi: kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berorganisasi. Contoh dampak dari tidak adanya kebebasan berekspresi ini menimpa komunitas bissu di Sulawesi Selatan; akibat ditekan terus menerus mereka lalu mengisolasi diri, bahkan tidak percaya terhadap orang luar, karena diasumsikan bila orang luar tersebut masuk berarti akan menghancurkan dirinya. Kasus lainnya menimpa masyarakat Tionghoa. Mereka cenderung hidup dengan satu pola pengisolasian diri yang tidak memungkinkan interaksi yang human dan wajar, antara masyarakat Tionghoa di satu sisi dan apa yang disebut sebagai “masyarakat pribumi” di sisi lain (maaf, saya memakai kata “pribumi” hanya untuk memudahkan). Lalu timbullah kecurigaan antara kedua belah pihak.
Kedua, bertahannya praktek diskriminasi ini disebabkan juga oleh hilangnya kemampuan masyarakat untuk berorganisasi. Hilangnya kemampuan ini membuat masyarakat terfragmentasi. Fragmentasi sosial terjadi misalnya, bahwa orang hanya mempercayai pihak-pihak yang biasa bersentuhan saja. Akhirnya masyarakat kita hidup dalam dunia saling curiga, mengalami atomisasi. Dan individu-individu menderita krisis kepercayaaan satu sama lain.
Akibat lain proses represi tersebut adalah masyarakat sulit melakukan aliansi dan networking. Karena kita tidak lagi memiliki apa yang disebut kapital sosial. Ada tiga kapital sosial yang menurut saya penting namun kini sudah terkikis. Pertama, nilai-nilai yang mengikat kebersamaan yang kita persepsi bersama. Kedua, trust (kepercayaan). Ketiga,trust, memupuk solidaritas, membangun nilai-nilai bersama adalah bagian dari basis pengorganisasian. solidaritas. Tidak adanya tiga hal ini menyebabkan sulitnya membangun jaringan. Dan dalam konteks ini, membangun
Namun demikian, basis organisasi yang kokoh tidak lantas menjadi kekuatan yang bisa merubah kebijakan negara. Oleh karenanya, dalam konteks gerakan sosial membangun jaringan sangat penting agar pengorganisasian masyarakat pada tingkat basis itu menjadi satu kekuatan politik yang efektif untuk proses perubahan kebijakan.
Bagaimana mendobrak suatu kebijakan? Pertama, kita butuh basis pengalaman, mulai dari cara mendesakkan aspirasi sampai membuat draft hukum untuk didialogkan dengan pengambil keputusan. Kedua, penguasaan konteks. Karena kebijakan itu pada akhirnya dirumuskan dalam bentuk hukum atau perundang-undangan, maka content dan tata cara membuat draft hukum itu harus dikuasai. Jadi, antara argumen pengalaman pengorganisasian di tingkat basis dengan identifikasi persoalan-persoalan berikut dampaknya yang dialami langsung oleh masyarakat yang terdiskriminasi, juga gabungan antara kemampuan untuk menguasai substansi persoalan hukum yang berkaitan dengan diskriminasi dan secara teknis sampai pada tingkat penguasaan draft adalah dua kombinasi dasar yang penting saat melakukan dialog kebijakan. Dengan demikian, melalui jaringan itulah dua konsep dasar, suatu content, suatu pengalaman diartikulasikan dan didesakkan kepada para pengambil keputusan.
Akhirnya, ada dua langkah yang perlu ditempuh untuk mencapai efektifitas advokasi. Pertama, pengorganisasian basis, dan kedua, adanya gerakan NGO’s anti diskriminasi yang senantiasa bergerak dengan cara membangun link up yang efektif. NGO’s di kota-kota seperti Jakarta harus mengkomunikasikan apa yang mereka lakukan di tingkat kebijakan pusat dengan masyarakat adat di pedalaman. Selain itu, perlu dibangun forum-forum tukar pikiran yang terus-menerus. Sehingga pada akhirnya, bukan lagi NGO yang mengatasnamakan masyarakat adat tetapi justru tokoh-tokoh masyarakat sendirilah yang berhadapan dengan pengambil keputusan. Saya kira arah advokasi kebijakan ke depan haruslah demikian. Adalah kewajiban bagi NGO’s untuk concern dengan persoalan diskriminasi. Namun yang penting sebenarnya bagaimana NGO’s memfasilitasi pihak terdiskriminasi untuk bisa maju dan mendesakkan aspirasinya agar diakomodir oleh pengambil kebijakan. Desantara-Enceng Shobirin