Suhadiyah: Tandha Balik Arus Patriarki Madura

Menjadi seorang tandha’ bukanlah hal yang mudah. Meski seni tayuban Madura tidak terlampau menonjolkan aspek gerak tari, namun kemampuan ngejhung (tembang) mutlak harus dikuasai oleh seorang tandha’.

Suhadiyah, seorang perempuan tandha’ asal Banyuwangi, mengaku baru merasa benar-benar menjiwai profesinya sejak lima tahun lalu.

Pertamakali bergelut dalam dunia tayub, sewaktu bergabung bersama kelompok karawitan milik kakaknya, Sri Budoyo tahun 1989 di Sumenep. Waktu itu ia masih menjadi pengrawit, dan banyak penari laki-laki yang menginginkannya untuk ron-toron, atau berperan selayaknya tandha’ profesional. Di kemudian hari praktik ron-toron ini menjadi mekanisme verifikasi sosial seorang perempuan pengrawit untuk menjadi tandha’ seutuhnya.

Sejak SD, Suhadiyah memang gemar berkesenian. Ia pernah ikut seni samroh, rebana, dan pada waktu SMP ikut kakaknya di Banyuwangi untuk bermain dalam kelompok dangdut. Baginya, membutuhkan waktu yang lama untuk memutuskan menjadi seorang tandha’. Tandha’ senior yang mengajak dan mendorongnya untuk menjadi tandha’ adalah Mahwani, perempuan asal Saronggi. Saronggi adalah kecamatan yang menjadi basis tandha’ di Sumenep dan Madura pada umumnya. Sebelumnya daerah yang menjadi basis tandha’ di Sumenep adalah Dasuk.

Memang sementara ini alasan seorang perempuan memilih profesi sebagai tandha’ tidak terlepas dari latar ekonomi yang pas-pasan, meskipun pada dasarnya ia juga seorang seniman. Suhadiyah mengakui rata-rata hasil saweran satu hari adalah satu juta rupiah. Kalau ramai bisa mencapai tiga juta rupiah, belum termasuk honor. Pendapatan tertingginya selama semusim (3 bulan) mencapai 50 juta rupiah, bahkan juga pernah mencapai 100 juta rupiah. Meski penghasilan Suhadiyah besar, ia tetap menganggap profesi tandha’ berada pada posisi sosial yang rendah lantaran tidak berpendidikan tinggi. Kelak, ia ingin anak perempuannya menjadi seorang bidan, tidak seperti dirinya.

Bagi Suhadiyah, keluarga tetap yang terpenting. Pertamakali Suhadiyah memilih menjadi tandha’, kedua orang tuanya langsung setuju, tapi sang suami tidak. Namun, lambat laun suami Suhadiyah pun dapat memahami profesi yang dijalani oleh istrinya, akhirnya ia pun mengizinkan. Seperti kehidupan rumah tangga pada umumnya, pertengkaran kerap menghampiri mahligai rumah tangga Suhadiyah. Akan tetapi ia memperingatkan kepada laki-laki yang tidak kuat mental, untuk tidak menikahi tandha’.

Suatu ketika, saat permasalahan memuncak, mungkin dipicu rasa cemburu, suami Suhadiyah mengajukan gugatan cerai. Suhadiyah mengiyakan, mengurus biaya administrasi sebesar 450 ribu rupiah, sampai akhirnya persidangan dilaksanakan. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba suami Suhadiyah mengurungkan niatnya untuk bercerai, bahkan ketika sudah jatuh talak, sang suami bersikeras tetap tinggal serumah. Hampir semua suami tandha’ memang tidak bekerja atau tidak memiliki matapencaharian tetap. Suami Suhadiyah selama ini bergabung dengan sebuah orkes dangdut, dan adu burung dara adalah kegemarannya. Praktis saat ini Suhadiyah menjadi penopang kehidupan rumah tangga, rumah dan pendidikan anaknya adalah salah satu hasil dari profesi tandha’. Akhirnya status kepala rumah tangga pun menempel pada sosok tandha’ Suhadiyah. Ia berwenang untuk menentukan segala kebutuhan rumah tangga, termasuk memberi uang pada suami. “Kalau suami saya mendapat penghasilan dari ngorkes, saya suruh dia simpan untuk kebutuhannya sendiri, biar dia tidak selalu minta uang pada saya,” ujarnya.

Dalam lingkungan kerja, Suhadiyah berupaya menjaga hubungan baik, terutama terhadap sesama tandha’. Sering kali terjadi persaingan yang tidak sehat antar sesama tandha’, untuk itu jika ada teman sendiri yang memiliki hajat, Suhadiyah akan bersikap cair dan tidak pelit.

Mengenai popularitas, nama Suhadiyah di Sumenep dikenal akrab masyarakat karena sering mengadakan pertunjukan, selain itu juga karena produksi CD tandha’ yang bisa didapat di mana saja. Menurut penuturannya, memang banyak CD tandha’ yang beredar, tapi tidak ada hubungan langsung dengan kemakmuran hidup tandha’ kecuali bagi produser CD itu sendiri. Honor yang diterimanya berasal dari tuan rumah penyelenggara tayub, bukan produser kaset atau CD. Malah, seringkali pihak aparat pemerintah dan Polisi yang mengadakan acara, meminta sumbangan kepada para tandha’. Bahkan tidak jarang, permintaan sumbangan datang dari masjid, pondok pesantren atau madrasah.

Campur tangan pemerintah kepada tandha’ salah satunya dengan mengumpulkan para tandha’ untuk diberikan pembinaan. Pemerintah kerap memberi aturan bahkan larangan jika tandha’ tidak bisa jadi pengrawit, dan juga sebaliknya, serta para tandha’ harus memiliki nomor induk (advise) untuk tetap bisa bekerja. Tapi pembatasan itu tidak berarti apa-apa bagi tandha’ seperti Suhadiyah. Di sisi lain, kaum agamawan, kiai, agaknya cukup skeptis bahkan sinis melihat profesi tandha’. Biasanya kelompok karawitan atau kaleningan akan menyembunyikan perkakas mereka, ketika ada pertunjukan yang di dalamnya ada seorang kiai, seusai kotbah tandha’ dan tayuban jalan terus…Desantara / Franditya Utomo

BAGIKAN: