Di Jalan Irian Barat yang kemudian beken dengan sebutan Irba, Kota Surabaya sekilas merupakan area yang menjadi pasar tumpah, alias pasar sementara. Ditempat ini sama sekali tidak menampakkan sedikitpun bangunan layaknya sebuah pasar permanen. Hampir semua pedagang menjajakan dagangannya dibawah tenda-tenda plastik, ataupun dipinggir-pinggir jalan secara terbuka. Aktivitas daganganpun berlangsung dari pagi hari hinggi dini hari kembali. Masyarakat kerapkali melakatkan perdangangan itu dengan pusatnya, yakni Pasar Keputran. Pasar Keputran sendiri berulangkali hendak direlokasi oleh Pemerintah Kota Surabaya, karena dianggap mengganggu estetika kota, sebab keberadaannya tepat diarea pusat metropolitannya Kota Surabaya. Yakni bersanding dengan gedung gedung megah, seperti Gedung Dharmala, Tower BRI, Hotel Hyaat, bahkan tak jauh pula dari supermall Tunjungan Plasa.
Pada siang hari Irba memang seolah tak menampakkan aktivitas lain, selain transaksi ekonomi yang dilakukan oleh kalangan kelas menengah kebawah. Namun saat malam mulai merambat naik, kira kira pukul 20.00 WIB hingga larut malam tampak rona rona kemolekan yang berjajar disepanjang jalan tersebut. Sekilas dari kejauhan nampak sekali bahwa itu adalah wanita-wanita yang berdandan yang begitu molek. Begitu kita kian mendekat, maka dapat kita lihat ditengah kesensualan tampilan mereka nampak sekali raut maskulinitas yang menyembul dibalik baju-baju mereka. Memang, mereka bukanlah “wanita-wanita” pada umumnya, akan tetapi para waria yang sedang show off. Seting tempatnya kian memberikan nuansa yang sedemikian erotis tentunya. Ditengah remang remang penyinaran lampu jalanan, dan dipantulkan kembali oleh riak-riak kecil air Sungai Kalimas yang bersejajar dengan Jalan Irba.
Berbagai percakapan khas, dialek Suroboyoan menjadi tutur yang sedemikian komunikatif diantara orang-orang yang berlalu lalang di Irba, termasuk juga para waria dan para tamu-tamu yang kerapkali menyapa dan menghampirinya. Mulai dari pedangan dan pembeli yang ada dipasar tumpah, tukang becak, tukang parkir, para waria, dan tentu tamu-tamunya malam itu seolah kian memenuhi Irba yang memang tak terlalu lebar itu. Suara kendaraan bermotor yang berlalu lalang, senda gurau para waria yang centil, dan gelak tawa tamu tamu yang mampir kian menambah hingar-bingarnya suasana malam itu.
Sementara dibibir Sungai Kalimas terdapat lahan yng selebar dengan Jalam Irba sendiri yang diperuntukkan untuk penghijauan kota. Namun nampak sekali bahwa area itu tak mencerminkan sepenuhnya fungsinya sebagai penghijauan kota. Disamping tanamannya yang tidak tertata rapi, juga terdapat gubuk-gubuk yang tak dapat terjangkau oleh penyinaran lampu jalanan. Praktis, gubuk-gubuk itu menjadi tempat singgah kalangan waria untuk sekedar membenahi baju mereka atau juga sesekali berfungsi ganda, yakni “menservice” teman kencannya.
Pada malam pertama, saat tim Desantara menginjakkan kaki di Irba, memang tak banyak kalangan waria yang keluar malam itu. Tak lebih dari sepuluh orang saja yang “mejeng” di Irba malam itu. Menurut pengakuan Embak Yayuk, Ketua Perwakos (Persatuan Waria Kota Surabaya) yang juga menjadi big mother diantara waria itu menyatakan “ulan poso mas, dadi akeh arek-arek sing sepi order”. Sambil sesekali memantau mobilitas anak buahnya, Yayuk yang malam itu tidak berdandan, mungkin karena usianya yang telah lanjut dengang sangat ramah menyambut kehadiran Desantara.
Dengan bedagang minuman berkarbonansi dan aneka jenis rokok, Yayuk menemai tim Desantara berbincang banyak hal didepan dagangannya yang terletak bantaran Kalimas. Dengan tubuhnya yang telah mulai uzur, nampak sekali payudaranya yang melorot akibat suntikan silikon cair yang ada didadanya seiring dengan kendornya kulit ditubuhnya. Kulitnya tak sehalus dan sekencang para anak buahnya yang malam itu “mejeng”. Sementara pada raut wajahnya nampak pula suntikan-suntikan silikon yang menambah panjang hidung dan dagunya yang terkesan dipaksakan.
Dilihat dari style-nya nampak sekali bahwa kalangan waria yang bermejeng ria di Irba merupakan waria yang secara ekonomi belumlah mapan. Hal itu pula yang diakui oleh Yayuk, bahwa banyak sekali teman-teman warianya, termasuk dirinya sendiri harus berjuang keras untuk menyambung hidup di kota metropolitan seperti Surabaya yang semuanya serba mahal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yayuk;
“nek wes tuwek koyok aku ngene iki tambah susah mas, mergo aku ora ayu koyok arek-arek iku. Kasare aku wes ora payu, dadi nek aku gak pinter-pinter usaha liyone, yo’ opo aku iso nyambung urip”.
Kegundahan Yayuk diatas setidaknya merepresentasikan bahwa kehidupan saat ini tidaklah terlalu ramah terhadap kalangan waria yang dalam kategori sosial menempati jenjang marjinalitas yang paling bawah dari struktur sosialnya. Kehadiran Desantara malam itu di tempat Yayuk seolah menjadi teman berkeluh kesah atas himpitan sosial dan ekonomi yang dialaminya.
Sementara dipinggir jalan, nampak waria-waria yang berdandan berlalu lalang berjalan layaknya diatas catwalk. Nampak sekali pakaian-pakaian yang super ketat, dengan mode atasnya sedikit menyembulkan “payudara”, dan rok bawahnya yang mini agaknya menjadi tren penampilan malam itu. Para lelaki yang menghampiri tempat itu banyak juga yang menggunakan berbagai pendekatan untuk dapat berhubungan dengan waria, dari sekedar mengobrol hingga pemenuhan kebutuhan seksualnya. Bagi para lelaki yang kerapkali menyapa dan singgah ditempat itu dengan sangat mudah dan familier langsung menghampiri para waria dan sesaat langsung terlihat pembicaraan yang lebih inten, sementara mereka yang tergolong baru dan pemula biasanya tidak langsung menghampiri para waria itu. Mereka hanya berhenti beberapa meter jaraknya dari para waria itu. Dipihak lain waria sejatinya juga pandai-pandai untuk membawa diri dalam melihat gelagat lelaki yang datang ketempat itu.
Setelah melalui pertimbangan yang tentu sangat instingtif, para waria akan memutuskan untuk menghampiri para tamunya itu atau tidak. Sapaan manja dan centilpun segera meluncur dari para waria terhadap lelaki yang singgah ditempat itu. “Apa kabar Mas?”, atau “Malam Mas” begitulah sapaan yang kerapkali diucapkan para waria untuk membuka komunikasi lebih lanjut. Tentu para lelaki yang datang kesana tidak semuanya kalangan gay atau homoseksual, mereka juga lelaki yang heteroseksual seperti yang diakui oleh Yayuk.
Dengan penghasilan per hari yang tak menentu antara Rp 10.000,- hingga Rp. 100.000,- bahkan bisa juga lebih kalau ramai. Para waria itu terus menggapai asa kehidupannya kedepan. Pendapatan yang begitu tidak stabil itu, terlebih juga karena “persaingan” dan sempitnya lahan “mejeng” membuat banyak waria di Surabaya, dan mungkin ditempat lainnya mencari pemasukan tambahan, seperti berkerja di salon-salon atau butik yang mau menerimanya. Tak bisa dipungkiri, para waria yang biasa mejeng di Irba malam itu tidak semuanya asli arek Suroboyo. Kebanyakan dari mereka juga dari luar Kota Surabaya, seperti Bojonegoro, Gresik, Lamongan, bahkan ada pula yang datang dari Jember.
Namun tak semua waria dapat dikategorikan atau diasosiasikan dengan prostitusi dan kemaksiatan lainnya. Sebuah paguyuban lain waria yang ada di Surabaya yang tergabung dalam elit model waria yang dikoordinir oleh Kiki menolak kalau waria hanya dikontruksi sebagai penyakit sosial yang hanya bisa menebar kemaksiatan, sebagaimana pandangan umum yang berkembang. Walau bukan organisasi yang terstruktur layaknya Perwakos, elit model waria masih merasa bagian dari Perwakos itu menyatakan bahwa waria juga memiliki prestasi yang membanggakan.
“Kami para waria yang tergabung dalam elit model menyatakan bahwa tidak lagi menghuni jalanan kota saat malam hari. Kami ingin tunjukkan bahwa kami memiliki karya, kami memiliki prestasi kerja layaknya masyarakat lainnya. Bahkan anggota kami juga ada yang dosen, pegawai kantoran, dan pekerjaan prestesius lainnya yang selama ini dibanggakan oleh kaum awam. Kami juga bisa menjadi mitra pemerintah untuk sosialisasi berbagai program pemberdayaan masyarakat. Seperti beberapa tahun belakangan ini kami gencar sekali melayangkan kampanye Anti AIDS keseluruh pelosok masyarakat, tak lupa pula pekerja seks komersial”.
Pernyataan diatas ungkapan Kiki, yakni waria yang selama ini getol untuk melakukan pemberdayaan skill dan intelegensi kaumnya kepada kalangan waria yang terjangkau olehnya diseluruh Jawa Timur. Teman teman Kiki, yang tergabung dalam e
lit model memang semuanya waria, tapi tak semuanya dandan. Banyak juga dikalangan mereka yang sangat maskulin. Bahkan bagi mereka yang bekerja disektor publik seperti pegawai bank, atau wiraswastawan yang sangat maskulin kesehariannya. Bukannya mereka malu untuk berdandan, akan tetapi memang begitulah kebiasaan harian mereka. Dalam analisis sederhana terhadap kaumnya kiki memiliki pandangan bahwa:
“Sampai hari ini waria ada yang berbuat salah dan ada yang tidak. Namun jika satu saja yang berbuat salah mereka semuanya kena, lain halnya dengan cowok dan cewek, jika mereka berbuat semacam itu, tidak semuanya kena. Namun sekarang masyarakat sudah mampu membedakan antara waria waria yang bikin masalah dan waria yang baik baik saja. Waria yang biasanya keliaran dipinggir jalan itu adalah mereka yang terorganisir dan bernaung dibawah lembaga yang disebut Perwakos, sedangkan waria yang tak suka mejeng dijalanan, mereka tidak ikut dalam organisasi dan umumnya memiliki aktivitas yang bergerak dalam bidang entertain
Bentuk entertain yang ditampilkan adalah menghibur di Hotel, Gedung, khsusnya dalam agenda agenda pejabat, atau juga acara ulang tahun, launching produk. Hiburan yang ditampilkan semacam tari tarian, cabaret, singing komedi, fashion show”.
Tak bisa dipungkiri bahwa, upaya kiki dan teman teman yang tergabung dalam elit model waria hendak menyampaikan pesan kepada publik bahwa waria juga bisa berbuat sesuatu yang berguna bagi publik, tak hanya bisa menjual diri. Kalangan waria seperti Kiki dan Ling-Ling tentu sangat berharap kontruksi selama ini yang dilekatkan kepada kehidupan waria yang begitu buruk segera dikurangi kalaupun toh tak bisa menghilangkannya. Totalitas kalangan waria yang tergabung dalam elit model untuk memperjuangkan citra positif bagi waria agaknya bukan sekedar bualan kosong. Ragam prestasi telah banyak mereka ukir. Dalam kesaksiannya, banyak kalangan waria yang menjadi wiraswasta seperti; kepemilikan salon, kepemilikan perusahaan garmen, kepemilikan sekolah-sekolah modeling yang justru membantu pemerintah dan masyarakat menciptakan lapangan kerja bagi Bangsa Indonesia.
Sesaat setelah ditemui Desantara dirumahnya di Sepanjang, Sidoarjo, Kiki dan kawan-kawannya barusan saja mengantarkan delegasi Jawa Timur untuk mengikuti kontas Ratu Waria Indonesia, dan delegasi mereka, yakni Sopie berhasil menggondol tropi nasional itu untuk dibawa pulang, dan selanjutnya mereka mewakili Indonesia dalam kontes Ratu Waria Sedunia di Pattaya, Thailand.
“Waria itu juga punya rasa nasionalisme lo, Mas”. Bagaimana suatu saat nanti kami membayangkan akan menjadi Ratu Waria Sedunia, dan Lagu Indonesia Raya berkumandang disana, alangkah terharunya kami, demikian ungkap Kiki singkat. Memang Indonesia saat diwakili oleh Cening Han pernah memenangkan Miss Universe (waria) di Amerika Serikat. Jelaslah ini prestasi kalangan waria yang bisa dipersembahkan untuk bangsanya.
Bahkan dalam partisipasi politik, khususnya kalangan waria di Surabaya termasuk kelompok masyarakat yang begitu tingginya dalam usaha penyuksesan pemilu, khususnya pemilu 2004 ini. Setelah ada pengorganisasian dari Perwakos mengenai pentignya pemilu, banyak waria yang denga rela hati untuk menyalurkan aspirasi politiknya, dan setiap waria memiliki kebebasan untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya.
Kalangan elit model setiap bulan juga secara khusus meluangkan waktunya untuk membuat agenda-agenda sosial. Sebagaimana yang ditambahkan oleh Kiki:
Kita juga membuat program program yang sifatnya untuk khalayak publik adalah misalnya berkunjung ke panti panti asuhan, memberikan sumbangan ke tempat tempat ibadah, mengikuti acara buka puasa bersama, saur bersama, menyumbang waria tua, tapi sebenarnya kita tidak mau mengekspos semacam itu.
Namun dari semua upaya yang dilakukan oleh para waria semacam Kiki atau Ling-Ling itu memang tak mudah untuk meruntuhkan image publik yang terlanjur melekatkannya dengan dunia malam yang serba hura-hura, bahkan dengan dunia prostitusi dan narkoba. Melawan pandangan mainstream yang tak menguntungkan bagi kaumnya seolah tak membuat kalangan yang tergabung dalam elit midel untuk patah arang.
Memang itu semua membutuhkan proses yang panjang, yang tentu semua kalangan terutama tokoh-tokoh masyarakat dan agama memiliki peran sentral dalam ikut andil membentuk persespsi terhadap kaum waria. Kalau memang kita comitted terhadap demokrasi dan pluralisme, mungkinkah kita mau berbagai hati dan ruang kepada kaum minoritas dan marjinal seperti waria? Yang pasti, pluralisme memang sangat indah kalau dibahasakan, dan akan lebih indah kalau dipraktekkan.{mospagebreak}
Waria dan Regulasi Kota
Menurut Yayuk, terhimpitnya kalangan waria, khususnya di Surabaya saat ini kian menyesakkan, terlebih pada Bulan Ramadhan ini. Sebab Pemerintah Kota Surabaya hanya memberikan tempat di Irba bagi para waria untuk “mejeng”. Kesepakatan dengan Pemkot itupun tidak tertulis, jadi sewaktu waktu mereka dapat tergusur oleh aparat dengan alasan ketertiban kota. Terlebih mulai tahun lalu, tepatnya pada tahun 2003 Pemerintah Kota Surabaya telah menerbitkan Perda Nomor 3 tahun 2003 yang mewajibkan tempat huburan malam untuk tutup.
Akibat mundulnya perda ini sekelompok masyarakat yang tergabung dalam posko anti maksiat yang dibentuk oleh sekitar sebelas ormas keagamaan di Surabaya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Aqib Zarnuji, MAg, Ketua Pemuda Muhammadiyah Surabaya yang juga Koordinator Posko Anti Maksiat itu menyatakan bahwa:
“Tujuan kami membentuk Posko Anti Maksiat adalah sebagai warning bagi maraknya prateknya maksiat yang ada di Surabaya. Posko Anti Maksiat itu diprakarsai oleh beberapa ormas di Surabaya antara lain; Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Ikatan Remaja Masjid, Nasya’atul Aisiyah, Pelajar Islam Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Pemuda Muhammadiyah,dan Hidyatullah.
Posko tersebut menggunakan jaringan remaja masjid se-Surabaya untuk melakukan pemantauan disekitar lingkungannya. Jadi mereka akan menjadi informan kami atas tindakan kemaksiatan yang berlangsung. Hal ini kami lakukan sebagai bentuk partisipasi masyarakat terhadap diberlakuknnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2003 yang mewajibkan tempat hiburan malam di Surabaya selama Bulan Ramadhan harus tutup. Kami memangberharap aparat lebih intensifdalam melihat ketertiban sosial, sebab mereka yang berwenang untuk memaksa para psk dan waria itu untuk menjauhi tindakan maksiat. Untuk itulah kami mendatangi Kepolisian Wilayah Surabaya ini untuk memberikan informasi-informasi mengenai tindakan maksiat itu. Kami melihat baik Pekerja Seks Komersial (PSK) maupun waria, terutama yang dijalan-jalan itu telah jelas melakukan tindakan protitusi, bahkan sangat mungkin juga terlibat dengan narkoba. Walaupun kami belum memiliki data yang akurat, tapi sekilas melihat tampilan mereka yang soronok, dan mengarah pada pornoaksi itu jelas merupakan tindakan prostitusi. Ini merupakan penyakit sosial yang harus dihabiskan”.
Aksi riil dari pembentukan Posko Anti Maksiat di Surabaya diatas memang bukan hendak mendahului peran-peran yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini satpol PP maupun aparat kepolisian. Menurut penuturan Ling-Ling, waria yang bergabung dalam elit
model, ia dan kawan-kawan warianya, terutama para waria yang suka “mejeng” dijalanan di Surabaya belum mendengar adanya posko semacam itu, dan belum menerima dampak apapun juga. Menurut prakiraan Ling-Ling, para waria yang biasa “mejeng” di Irba sangat yakin akan aman keberadaannya dari garukan dari Satpol PP, atau juga kelompok-kelompok masyarakat, sebab hanya ditempat itulah Pemerintah Kota Surabaya menolelir keberadaan mereka semua. Tapi Ling-Ling begitu yakin pula, kalau para waria yang keluar dari Irba, dan mereka “mejeng” disembarang tempat akan terkena garukan dari aparat, termasuk juga posko apapun yang dibuat oleh masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa waria adalah penyakit sosial.
“Wilayah kerja” para waria di Surabaya memang begitu sempit, yakni hanya di Irba. sementara penambahan jumlah waria kian hari kian bertambah, seiring dengan urbanisasi yang dilakukan oleh kalangan waria. Kondisi ini jelaslah menimbulkan kontestasi tersendiri bagi kalangan waria yang suka “mejeng” dijalanan. Menurut Kiki, yang juga disepakati oleh Ling-Ling dan tentu juga big mother Yayuk mengharapkan pemerintah dan masyarakat memikirkan persoalan ini. Mereka sangat berharap masyarakat mengetahui pergulatan kalangan waria, jadi tak semata mata menghakimi keberadaannya. “Kami ini juga manusia yang memiliki harga diri”, demikianlah ungkap Kiki saat ditanya mengenai perlakuan sinis terhadap kalangan waria.
Sementara untuk mengefektifkan kerja Posko tersebut, Aqib Zarnuji dan kawan-kawannya secara strategi kedepan akan mengusulkan kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk membuat payung hukum yang lebih tegas lagi terhadap tindak kemaksiatan yang ada di Surabaya. Ia dan kawan-kawannya akan mengusulkan dibuatkannya perda anti maksiat. Perda itu harapannya dapat secara definitif mengkategorikan tindak-tindak maksiat dengan ketentuang hukuman yang tegas.
Menanggapi tindakan Posko Anti Maksiat yang ada di Surabaya ini, Prof. Dr.Thoha Hamin, MA, Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya menegaskan bahwa:
“Kalau sekarang ini banyak orang melakukan tindakan kekerasan atas nama Islam dengan merazia tempat-tempat hiburan malam atau lokalisasi itu dapat dilihat sebagai sistem kontrol semata dan semacam ini sah-sah saja asalkan akuntabilitas publik dapat dipenuhi. Sebab dari segi profesionalitas dan fasilitas memang aparat yang berwenang belum menjalankan tugasnya secara maksimal. Tindakan publik diatas sebetulnya dilihat sebagai kekuatan penyangga saja. Yang menjadi masalah ketika kontrol publik itu menimbulkan kekerasan atau anarkhisme terhadap kelompok lain, hal itu yang tidak dibenarkan”.
Namun biarlah anjing menggongong kafilah berlalu, walau menimbulkan pro-kontra dimasyarakat, pembentukkan posko itu tetap jalan. Bagi Aqib Zarnuji dan kawan-kawannya ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki komitmen terbentuknya moral yang baik bagi masyarakat Kota Surabaya. Perjuangan tentu membawa resiko, mungkin begitu pikir Aqib dan kawan kawannya. Secara tegas ia menyatakan;
“Kalau selama ini praktek prostitusi yang dilakukan oleh mereka dijadikan alasan untuk mencari nafkah mestinya mereka juga harus siap suatu saat nanti ditutup oleh aparat atau masyarakat. Mestinya sejak awal mereka harus memikirkan hal-hal semacam ini. Jangankan prostitusi, pedagang kaki lima yang bekerja secara halal akan tetapi menempati tempat yang dilarang pemerintah saja harus siap ditutup paksa oleh aparat kok.
Mestinya mereka harus mengetahui bahwa tindakan prostitusi yang mereka lakukan itu sangat jelas dilarang agama. Oleh karenanya kami memiliki solusi bahwa Pemerintah Kota Surabaya harus membut perda anti maksiat. Sebab hanya dengan kekuatan hukum inilah kita dapat mencegah munculnya tindakan-tindakan semacam prostitusi itu. Namun kita juga tidak menutup mata, bahwa tindakan kita menuntut penutupan praktek prostitusi itu akan berdampak bagi mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hal hal semacam itu. Karena kami bukan pemerintah, maka semestinya pemerintahlah yang secara solutif mengatasi mereka itu, sebab gerakan kami hanyalah gerakan moral semata”.
Sikap moral yang diutarakan oleh Aqib Zarnuji diatas memang setidaknya menjadi pandangan jamak yang berkembang disebagaian umat beragama yang memandang dari tela’ah teks semata. Akan tetapi kurang mempertimbangkan soal-soal sosiologis, terutama pertimbangan sosiologis yang dialami oleh kalangan waria. Dalam konteks sosiologis itu, Prof. Dr.Thoha Hamin, MA memberikan pertimbangannya bahwa para waria yang masuk dalam dunia protitusi itu kebanyakan karena motif-motif ekonomi sebagai gantungan hidup. Secara tegas, Thoha Hamim menambahkan:
“Padahal kalangan waria dan pekerja seks komersial lainnya yang mangkal dijalanan itu sejatinya pekerjaan mereka untuk mencari uang dalam menyambung hidup. Orang butuh makan itu kan tidak hanya sekali, nah kalau yang bersangkutan tak punya pekerjaan, maka tindakan apapun termasuk melacur itu akan ia lakukan. Orang orang yang tidak melakukan hal hal yang buruk karena ia diuntungkan oleh posisi sosial yang baik. Waria itu dalam hemat saya termasuk kelompok feasible minority yang seringkali dilekatkan dengan tindakan maksiat ( to one more step to be prostitude). Aktivitas mereka yang bekerja di salon, di butik, atau deskotik lah yang membuat image kemaksiatan itu dilayangkan kepada mereka. Tapi coba kalau pekerjaan mereka itu dosen misalnya, maka image prostitusi itu pasti tidak akan melekat pada mereka.
Dalam menghadapi regulasi yang cenderungan deskriminatif ini, maka organisasi-organisasi kewariaan yang mengurusi pemberdayaan dometik, dan kampanye kepada publik tentang kewariaan dan aktualisasinya agakanya menjadi pilihan yang begitu penting adanya. Dalam perbincangan sebelumnya dengan Desantara, Dede Oetomo. Phd, aktivis Gay dan juga pendiri Gaya Nusantara, Surabaya mengutarakan contoh dan komparasi bagaimana para waria mengorganisir diri untuk memperjuangkan diri agar kebijakan atau regulasi yang dibuat oleh negara lebih ramah terhadapnya. Dibanyak negara maju, seperti di Amerika Serikat.
Salah satu hal penting yang diungkapkan Dede mengenai kebebasan kalangan waria di Amerika Serikat dalam memperjuangkan dirinya adalah pandangan masyarakat yang telah dewasa dalam memahami agama, serta begitu tingginya nilai-nilai pluralisme yang berkembang disana, dan yang lebih penting lagi adalah penghargaan yang begitu tinggi terhadap hal hak individu. Untuk itu, dalam hemat Dede Oetomo persoalan awal yang harus diselesaikan untuk kasus resistensi publik terhadap para waria adalah soal kontruksi keagamaan mereka yang akhirnya mendasari pola sikap mereka terhadap waria. Bahkan dalam banyak kasus, banyak sekali kebijakan publik yang dihasilkan dengan mendasari latar kultural dan teologis semacam itu.
Sementara Prof. Dr.Thoha Hamin, MA memberikan variabelnya yang begitu kompleks dalam menyelesaikan marjinalisasi terhadap waria. Ia menyatakan;
Kita tidak bisa menyalahkan waria saja. Kita juga perlu melihat variabel-variabel yang lain, misalnya bagaimana ketersediaan lapangan kerja, bagaimana kesadaran hukum masyarakat, bagaimana pu
la pendewaaan individu-individu yang dimasyarakat. Jadi ini semua itu proses yang saling berkait munculnya praktek prostitusi.Jadi untuk membantu menyelesaikan persoalan terhadap kalangan waria atau prostitusi itu harus berbareng dengan penyelesaian sektor yang lainnya secara terintegratif. Oleh karena itu pelaku pelaku dilapangan harus diberikan pemahaman yang komprehensfi tentang waria, supaya kita jangan sampai mengatasi tindakan dosa, tapi malah membuat dosa dalam penanganannya. Toh, waria itu juga manusia yang sama dengan kita, mereka itu juga punya hak, dan derajat kemanusiaan. Waria itu juga punya nurani, nurani kita juga pasti tak akan mengijinkan untuk memukul para waria itu.
Seolah tak mau “dikalahkan” begitu saja, Kiki dan teman-temannya di elit model juga memberikan usulan kepada pemerintah untuk memberikan kesempatan dan ruang untuk dapat menunjukkan prestasinya yang berguna bagi publik. Dengan memberikan perbandingan perlakuan waria seperti yang ada di Thailand Kiki berpesan kepada pemerintah, bahwa jika memang pemerintah kreatif merangkul para waria dengan memberikan ruang pertunjukkan khusus bagi para waria untuk tampil berentertain, dalam sebuah gedung kesenian, maka hal itu akan mendatangkan aset ekonomi yang tak kecil. Sebagaimana yang ia contohkan di Thailand, pemerintah disana memberikan ruang kepada para waria untuk berentertain, khususnya dalam hal berkesenian, dan terbukti mendatangkan paket pariwisata baru bagi negara. Bahkan show para waria itu diliput oleh berbagai televisi. Hal ini tentu membawa dampak positif bagi kemajuan ekonomi dan budaya bangsa.
Waria Dalam Perbincangan Teks Agama
Sebelum kita memasuki penggalian teks-teks agama, dalam hal ini Islam dalam memandang kaum waria, ada baiknya jika kita tangkap pesan yang disampaikan oleh Kiki, seorang waria di Surabaya yang getol mengkampanyekan citra positif waria. Pesan ini setidaknya menjadi bahan perenungan kita dalam memandang dan mengkontruksi waria dengan bersandar pada pemahaman agama.
“Saya menanggapi pandangan umum yang menyatakan bahwa kalangan waria dianggap sesuatu yang tidak normal ituadalah sah sah saja, itu adalah pandangan mereka. Kita lahirpun tidak minta sebagai waria kok, ini sudah karunia dari Tuhan. Menurut saya, kita kita ini adalah wajar wajar saja, tapi kalau menurut pandangan orang lain kita tidak wajar itukan karena mereka belum menyelami kita. Namanya orang beragama seharusnya mempunyai hati yang lembut, yang bisa menerima orang dengan apa adanya. Percuma di TV mereka berfatwa bahwa kita harus menyayangi penjahat, mualaf, dan sesama kemudian agama mereka juga melakukan hal hal yang mndiskreditkan kita, itu kan mubadhir. Jadi harapan saya, kita bisa diterima walaupun tidak 100% dan juga kami minta terhadap mereka untuk mau membimbing kita.”. (Kiki, Waria Surabaya).
Ungkapkan lirih Kiki diatas seolah hendak menumpahkan beban hatinya yang selama bertahun-tahun ia endapkan dan senantiasa mendengar tumpukan bahasa kecaman terhadap kaumnya. Melihat kenyataan ini, maka tak bisa dipungkiri lagi bahwa pemahaman keagamaan kita setidak-tidaknya ikut memberikan andil bagi sikap kita dalam memandang waria.
Untuk dapat lebih menggali lebih mendalam perspektif keagamaan ini, dalam kesempatan yang agak panjang, Prof. Dr.Thoha Hamin, MA, Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya berbincang mengenai keberadaan waria. Menurut ahli sosiologi agama ini angkat bicara menyoal waria dengan merujuk pada kitab kitab klasik yang dibuat oleh Al Zahid, khususnya dalam Kitab Al Bayan Wal Tabiyin, atau di Kitab Al Bukhola. Al Zahid menilai bahwa berbagai model hubungan seks yang berkembang di masyarakat itu sebagai hal yang lumrah saja dan hal semacam itu berlangsung secara alamiah. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan mainstream yang memang melihat berbagai aktualisasi seks sesama jenis itu dianggap sebagai suatu penyimpangan, bukan sebagai suatu alternatif.
Menurut profesor yang energik dengan pemikiran pemikiran kritisnya melihat kontruksi waria itu dalam tiga perspektif, yakni dilihat dalam perspektif biologis, psikologis, dan tren (budaya pop). Dalam perspektif biologis, identitas kewariaan timbul sebagai akibat pengaruh pengaruh hormonal yang memang sejak kecil telah ada dalam diri mereka. Artinya gen kewariaan itu telah menjadikan yang bersangkutan itu masuk dalam kategori waria atau transeks itu. Sementara dari perspektif psikologis, identitas kewariaan muncul dan mengkontruk seseorang karena yang bersangkutan dipengaruhi oleh interaksi-interaksi sosialnya, sehingga membentuk kontruksi dalam alam pikirnya yang direpresentasikan dalam sikap kewariaan itu sendiri yang cenderung lebih bersifat ideologis atau warianism. Dan, dalam kategori yang ketiga, adalah karena perkembangan gaya hidup atau budaya masyarakat layaknya sebuah fashion saja. Waria dalam kategori ini masuk dalam sikap mis-management dari individu yang bersangkutan yang tentunya secara otomatis dapat diupayakan kembali dalam identitas gender semula.
Menangkap fenomena ini, Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menegaskan bahwa, Islam itu bukan toko kelontong yang menjual segala macam kebutuhan, jadi kita jangan berharap homoseksual dan lesbian itu dideskripsikan secara jelas, tak akan hal-hal semacam itu di Islam. Karena kebenaran normatif itu harus diinduksikan dengan kebenaran empirik, makanya kebenaran normatif itu tak terlalu banyak, ia hanya berisi nilai-nilai yang bersifat ideal dan universal saja, dan inilah yang disebut dengan syari’ah. Kalau kita bicara yang spesifik hal itu mesti fiqih, dan fiqih itu hasil pemikiran orang jelas bukan syari’ah. Syari’ah itu tak ada yang organik dengan perilaku. Kalaupun syari’ah memberikan contoh contoh sosial, memang contoh contoh itu merupakan etika kepantasan yang berlaku ketika jaman itu. Dan itu tidak bisa dijadikan legitimasi dalam mengambil tindakan hukum untuk realitas sosial sekarang ini. Jadi syari’ah itu lebih berperan sebagai metodologi untuk mengamankan kepentingan orang dengan acuan-acuan moral. Hal ini berarti produk hukum dimana saja dan kapan saja asalkan menjunjung tinggi nilai-nilai yang disuarakan syari’ah berarti ia tidak bertentangan. Namun ketika ia tidak bertentangan bukan berarti ia representasi syaria’h, ia tetap saja menjadi produk pemikiran orang. Kesimpulannya, tak ada pemikiran manusia yang mendapatkan legitimasi teologis secara absolut. Jadi kalau kita bicara agama dalam kinteks ini, maka tidak akan menyelesaikannnya. Tentu agama dalam pengertian sebuah produk perjalanan masa lalu yang sudah terlampau jauh dan selalu menengok kebelakang. Jika agamawan masih menggunakan perspektif ini pasti akan menemukan jawaban yang sejatinya pernah dipakai atau diintrodusirkan dari ahli hukum Islam klasik. Dan pemikiran semacam ini tak menyelesaikan persoalan, makanya tak usah ditanya. Tapi juga desakan untuk segera menyelesaikan persoalan dengan memberikan jawaban atas fenomena ini, dan sadar bahwa jawaban yang diambilkan dari stok lama itu tidak akan jalan, maka bisanya mereka itu liberal, dan kita juga harus hati hati atas hal ini sebab bisa jadi fenomena itu “tidak terhukumi”.
Nah, agama dalam konteks ini harus melihatnya dalam konteks deskriminasi sosial, bukan dalam konteks halal-haram. Ketika praktek deskriminasi sosial itu terjadi, maka secara kolektif itu yang menanggung masyarakat pula. Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan sosial, maka solusinya harus disetarakan dengan dosa sosial yang secara kolektif dilakukan oleh masyarakat.
Saya melihat agama tidak boleh melihat fenomena diatas sebagai ketidaknormalan. Memang dalam posisi hukum Islam mereka itu dipersepsi sebagai ketidaknormalan dan ketidaknormalan itu artinya sesuatu yang harus diberan
tas. Saya melihat ada sebuah kecenderungan kalau mereka waria itu, seolah kecenderungannya dianggap tidak manusia sepenuhnya, sehingga muncul sikap antipati terhadapnya. Dibaratpun ada kecenderungan semacam ini. Justru mereka tidak hanya melakukan tindakan terhadap para waria, bahkan sampai membunuh walau jumlahnya sangat kecil. Pemahaman ideologi agama semacam ini jelaslah sangat berperan dalam tindakan tindakan mereka itu. Mereka rata-rata memiliki kontruksi bahwa waria itu merusakan tatanan-tatanan gender (laki dan perempuan) yang telah difirmankan oleh Tuhan. Jadi ada kecenderungan universal untuk menghakimi orang orang yang dipersepsi melakukan tindakan penyimpangan itu secara brutal.
Kehidupan waria itu telah ada sejak jaman klasik Islam. Yakni suatu masa dimana kehiduapan manusia sangat kosmopolit. Gaya hidup orang sangat bervariasi, dimana orang selalu mencoba hal-hal yang baru. Jadi sejatinya nilai nilai semacam ini kan pasti akan terjadi kapan saja
Kalau dinegara negara maju, nilai nilai syari’ah agama yang bersifat universal itu telah bisa mewarnai kesadaran hukum masyarakat disana, sehingga pembuatan hukum fiqih itu adalah pranatan yang tidak bertentangan dengan semangat yang diajarkan oleh agama. Oleh karena itu pola hidupa menusia itu selalu dinamis dan mengalami dialektika. Sepanjang pranata (fiqih) yang diciptakan itu dalam melihat fenomena baru yang berkembang dimasyarakat itu sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama, maka hal itu tak menjadi masalah, dan biasanya kehidupan masyarakat dinegara maju semacam itu. Bagi masyarakat seperti mereka kemanusiaan itu kan segala-galanya, wong agama itu untuk menusia. Kalau agama itu tidak memanusiawikan manusia, maka apalah artinya agama itu. Konyolnya di Indonesia ini marak sekali kegiatan kegiatan bernuansa agama, tetapi tindakan manusianya tidak saja menyalahi agama tetapi melecehkan Tuhan. Desantara