Oleh: Ingwuri Handayani
Tampaknya tak ada niat dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Korban dibuat kelelahan dan menyerah. Pemerintah justru menghadap-hadapkan korban dengan PT. Minarak Lapindo Jaya. Nyatanya, Politik divide et impera tidak hanya dilakukan oleh Belanda, tetapi juga oleh bangsa kita.
Itulah yang muncul dalam bedah buku Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil di Taman Ismail Marzuki tanggal 5 Januari 2011 lalu. Simak apa yang dikatakan oleh Paring Waluyo Utomo, yang melakukan pendampingan dan menjadi penulis buku ini. Demikian ceritanya:
Pada 29 Augustus 2008, 12 perwakilan dari semua desa dan semua kelompok korban lumpur Lapindo mendesak Komnas HAM. Mereka meminta untuk difasilitasi bertemu dengan pemerintah.
Dalam pertemuan itu, hadir pihak pemerintah, menteri PU, utusan dari menteri sosial, wakil dari badan pertanahan nasional, juga sekretaris badan pelaksana BPLS. Pemerintah juga secara informal mendatangkan wakil dari Lapindo dan PT. Minarak Lapindo Jaya meski keduanya tak diberi ruang untuk bicara.
Hasil pertemuan, pemerintah menjamin pembayaran 80 persen itu berjalan sesuai dengan Perpres No. 14 tahun 2007. Para menteri pun tanda tangan. “Jadi, kami pulang dengan membawa surat perjanjian berlogo garuda tadi,” kata Paring. “Kami menganggap ini bakal beres. Ini bakal sakti. Begitu kami pulang ke lapangan yang sudah itu sebatas macan kertas ketika kami konfirmasi ke BPLS, lho yang buat perjanjian itu kan menteri.”
Nihil.
Sebulan kemudian, korban kembali menagih ke Komnas HAM, oleh Komnas, mereka dipertemukan dengan menteri PU sebagai ketua dewan pengarah BPLS. Pertemuannya sendiri di kantor menteri PU. Dalam pertemuan, menteri PU justru berkata, “Kenapa nggak terima aja itu perumahannya Bakrie?”
Tanggal 28 Desember 2008, 1250-an korban kembali melakukan aksi bersama di depan istana. Setelah aksi, 9 orang diundang oleh mabes polri yang diwakili oleh Saleh Saaf. Dalam pertemuan, Saleh menyuruh untuk menerima saja 30 juta perbulan. Saleh juga mengatakan bahwa ia menyampaikan pesan dari Nirwan Bakrie bahwa 80 persen akan dibayar 30 juta perbulan. Semua delegasi, sepakat tidak terima dengan skema itu.
Besoknya mereka aksi lagi. Menjelang jam 11 siang, perwakilan kembali diundang, kali ini, mereka ditemui empat menteri: Joko Kirmanto, Bahtiar Hamzah, Hatta Rajasa dan Purnomo Yusgiantoro. Tawaran sama disampaikan oleh para menteri, “Terima dulu 30 juta perbulan, nanti bapak kami jembatani bertemu dengan SBY,” kata salah seorang dari mereka.
Tawaran itu membuat korban terbelah. Bagi yang punya aset sedikit, ya sudah, terima saja daripada berjuang berat-berat. Bagi yang punya kalkulasi masa besar, bakal penyelesaikannya lama, menolak model pembayaran begitu.
Akhirnya, sebagian yang menerima itu dibawa oleh empat menteri ketemu ketemu SBY, SBY kemudian memanggil Nirwan, diliput oleh media, SBY memarahi Nirwan.
Realisasinya, dari 4000 anggota, hanya 300 orang yang dibayar. Itu pun nilainya hanya 5 sampai 25 juta. Sementara, yang dapat 30 juta kurang dari 5 orang.
Pada bulan awal Februari 2009, 1554 korban akan melaksanakan aksi besar-besaran. Mereka bahkan sudah membeli tiket. Mendengar itu, intel gentayangan mencari warga yang membeli tiket. di seluruh stasiun, mulai dari Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, sampai Lamongan itu diblokade oleh aparat.
Korban diminta untuk tidak aksi dahulu dan disuruh hadir dalam pertemuan di kantor PU. Semua perwakilan berangkat di kantor menteri PU. PT Lapindo dan Minarak hadir, jajaran pemerintah, komplit. Di pertemuan, pemerintah memberi kesempatan ke Lapindo untuk berbicara.
Bagaimana soal 80 % sisa pembayaran itu? Imam Agustino, general manajernya Lapindo mengatakan bahwa 80 % akan dibayar tiga juta per bulan. Sontak, mendengar yang diomongkan Agustino, ada korban yang melempar kursi juga walk out.
Tetapi meski begitu, skema tiga juta itu ada kelompok yang menerima. Mereka memahami kondisi keuangan PT Minarak yang mengalami krisis finansial. Kelompok GKLL, sebutan untuk mereka, dulu difasilitasi Cak Nun. Mereka itu memang digunakan sebagai boneka oleh Lapindo untuk men-stempel bahwa korban setuju dengan skema itu. Mereka pula yang katanya waktu pencalonan Aburizal Bakrie ( Ical) saat perebutan calon ketua golkar dengan Surya Paloh mengucapkan rasa terima kasih keluarga Bakrie.
Pertemuan sendiri berakhir tanpa keputusan. Realisasi di lapangan, 15 juta juga tidak berjalan sampai sekarang. Dan berita terakhir mereka yang ikut skema ini sudah enam bulan tidak dibayar.
Kerja menjaga Kewarasan
Sementara, Eva Kusuma Sundari, Anggota DPR RI dari PDI P itu, tak kuasa memperjuangkan nasibnya sendiri. Rumahnya yang berada di ring I, hingga sekarang belum mendapatkan ganti sepeser pun. Padahal, kurang apa dia? Berikut detailnya:
Saya menceritakan saja dinamika di DPR hal yang berkaitan dengan Lapindo. Tetapi saya sebelum membuat penjelasan, posisi saya tidak hanya anggota DPR, tetapi saya juga korban. Karena saya pernah jadi PNS 11 tahun dan uang Bapetarum saya itu saya belikan rumah di situ dan di ring pertama. Sampai sekarang, duit yang katanya sudah dikembalikan itu belum saya terima.
Jadi, pada posisi yang demikian itu saya, bisa paham frustasinya. Bahwa akumulasi frustasinya Paring dan teman-teman dan frustasinya saya melihat partai saya, Pansus dan seterusnya dan terutama, saya ini pernah menerima SK, untuk masuk ke dalam pansus ini, tetapi SK itu hanya berumur satu hari. Sebelum sidang dimulai, SK saya dicabut dan diganti dengan anggota fraksi saya, yang sama sekali tidak terkait. Dan pada waktu itu, berada di komisi yang sama sekali bukan ngurusi energi. Dan waktu saya berdebat bahwa saya ini bisa menjalankan fungsi representasi saya, karena saya juga korban. Itu argumentasi tidak bisa diterima dan sudahlah ikut pada policy partai.
Waktu itu saya memang baru, culun, pertama masuk DPR. Logika saya logika common sense saja. Bukankah saya yang paling legitimate untuk masuk ke dalam pansus ini? Tetapi ternyata common sense tidak jalan di DPR. Dan akhirnya saya harus menyaksikan bagaimana pengambilan keputusan itu memecahbelah di dalam PDIP sendiri, karena pada saat paripurna, yang membacakan adalah ketua fraksi dan isinya adalah ini karena bencana alam.
Di barisan PDI P waktu itu, ada anggota senior yang membanting koran dan walkout. Kecewanya dobel karena tidak sesuai dengan fakta yang kita terima dan termasuk diskusi internal PDIP. Yang kedua, kok ya yang membacakan itu wakil dari PDI P. Jadi, sesuatu yang sangat menyakitkan kita semua, dan interupsi tiga orang dari PDIP meskipun yang membacakan wakil dari PDIP. Jadi luka yang masih basah sampai sekarang. Dan maaf kata, kalau saya disuruh bicara politik, yang saya definisikan sebagai the possible art untuk menyelesaikan masalah, dengan jujur saya katakan saya ragu. Yang namanya situasi makro kita saat ini, nggak ada pengambilan putusan oleh politisi, oleh negarawan demi Indonesia. Semuanya demi partai saya, demi ketua partai saya, demi kelompok saya dan itu menjadi gejala umum.
Saya aktif di advokasi untuk kelompok gereja-gereja yang diserang oleh kelompok Islam radikal, sama. Ketika saya mendekati, partai yang mengaku partai pluralis, partainya pak Amin Rais tidak bergeming, semua gak turun tangan, termasuk partai-partai yang bilangnya nasionalis-pluralis.
Jadi, akhirnya saya menyimpulkan bahwa Lapindo saya posisikan dalam konteks umum, itu memang umum kita, itu adalah gejala kesurupan. Bahwa ada yang ngaku wakil rakyat, tetapi sama sekali hanya mewakili partainya, pimpinannya dan seterusnya. Saya, ketika berdiskusi dengan teman-teman yang di bawah, ternyata suasana ini umum. Kalau kita melihat misalnya penanganan korupsi yang merupakan andalan utama pak SBY, kok indeks korupsi kita malah macet. Masih kepada self centre. Group center dan sebagainya.
Kalau saya kaitkan dengan definisi yang dikiritisi Pak Kusuma, wajar saja UNDP itu punya pendekatan yang beda dengan kelompok neolib. Ketika UNDP bicara tentang right based development, maka manusia menjadi utama dengan memunculkan human development index dan semuanya mengonfirmasi bahwa strategi UNDP itu justru dinegasikan oleh semua LOI yang disutradarai oleh WTO.
WTO group termasuk di dalamnya world bank, IMF nggak bicara tentang manusia. Mereka hanya bicara tentang akumulasi kapital, profit. Jadi, yang namanya rakyat di UUD itu hilang dari referensi pemerintah kita.
Nah, kebijakan itu bisa dilihat dari kebijakan makro tentang pertambangan kita. Semuanya adalah LOI dengan IMF. Jaman sebelum Pak Harto turun hingga sekarang ternyata semua dilaksanakan. Terutama UU Migas itu semua adalah berdasar LOI dan karena rakyat tidak menjadi center.
Yang paling gampang, kebijakan dari pertambangan, negara memberikan ijin tambang di tengah komunitas. Itu nggak umum. Jadi manusia, rakyat, tidak menjadi concern utama dari kebijakan pemerintah kita untuk mengeksplorasi kebijakan tambang karena izin diberikan di tengah-tengah komunitas yang pasti resikonya paling tinggi. Pemerintah boleh ganti, tetapi rezim ekonomi tetep sama, yang menempatkan kapital, investor, profit sebagai orientasi energinya bukan people centre development.
Dan kalau dikaitkan dengan spesifik kasus Lapindo, saya juga sangat pernah mengalami masa frustasi. Sampai saya berantem dengan Paring. Paring melimpahkan frustasinya ke saya dan saya juga capek sekali, menangani marah-marahnya Paring pernah pada satu titik tidak mau membales sms-nya.
Saya juga menjalankan jalur nepotisme sebetulnya. Saya lapor ke fraksi. Ini bukti-bukti kalau saya korban. Saya belum mendapatkan ganti rugi, bisa nggak tim DPR membela DPR? Ketika saya tanyakan ke tim, jawabnya, “Sudah saya serahkan kepada kepala BPLS." Tetapi, tidak ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Jadi, DPR pun gagal membela saya yang kolega DPR.
Di DPR, saya dekat dan kenal dengan beberapa pejabat, ada skenario penggiringan opini bahwa paradigma yang diambil oleh pemerintah dan beberapa politisi, rakyat itu gak penting. Apalagi rakyat di sekitar korban.
Bahkan, data dari korban ada proses pelanggengan karena rent seeking motivasi dari para pengambil keputusan dan juga para eksekutor untuk kasus Lapindo tidak benar-benar serius untuk menyelesaikan masalah, justru dipakai sebagai alat untuk eksploitasi
Dan itu umum terjadi dimanapun. Di DPR, di pemerintah. Dan itu yang maaf kata, kita pada posisi yang marginal. Tetapi saya sangat menghargai dan kita memang harus ada orang waras meskipun satu orang di dalam yang umumnya tidak waras seperti ini. Tentu, kalau kita ikut-ikutan nggak waras juga aneh sekali, makanya saya harapkan Desantara, dan Paring, terus berkampanye tentang kebenaran ini.
Oleh: Ingwuri Handayani