Syarifuddin Dg Tutu, namanya. Mustahil rasanya masyarakat di sekitar Gowa tak mengenalnya. Pria ramah ini adalah salah satu seniman sinrilik yang cukup terkenal. Bahkan ia bukan hanya ahli membaca sinrilik, ia juga mahir menampilkan tari pakarena dan beberapa seni tradisi lainnya.
Saat DESANTARA bertandang ke rumahnya di daerah Bontoramba, wajahnya tampak sumringah. Ia bersemangat melayani perbincangan kami terutama saat menyinggung seputar tradisi sinrilik yang juga ia geluti. “Sekarang ini sinrilik praktis makin termarginalkan,” ujar Syarifuddin tiba-tiba dengan nada suara yang terdengar berat.
Syarifuddin memang nampak tak bisa menyembunyikan rasa gundahnya. Raut wajahnya menyiratkan kegalauan yang dalam. Pasalnya, sinrilik dan beberapa seni tradisi lain bukan hanya menjadi sarana hiburan semata dan harus bersaing dengan industri kesenian modern, tetapi juga nyaris terpinggirkan oleh tekanan dari agama resmi. Sinrilik seringkali tersingkir dan memperoleh stigma tidak Islami. “Kesenian tradisi macam sinrilik ini masih saja ditekan-tekan. Kalau dulu zaman DI/TII kesenian tradisi semacam ini dilarang, dianggap musyrik, sekarang distigma dan dijauhi,” kata seniman yang juga berprofesi sebagai pegawai negeri ini.Padahal, sambung Syarifuddin, orang yang menganggap sinrilik tidak Islami dengan alasan tidak ada contoh dari Rasulullah itu sangat keliru dan tidak tepat. Sebab, dalam konteks masyarakat Sul-sel yang tidak mengerti bahasa Arab tidak mungkin mengangkat kesenian berbahasa Arab semata. Dakwah akan lebih efektif justeru bila menggunakan bahasa sendiri, ujarnya.“Jadi siapa bilang sinrilik tidak Islami? Lihat, isinya banyak nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik terhadap yang lain, menuntut ilmu dan lainnya. Semua itu kan hal yang Islami. Memang asal-usulnya bukan dari masa Rasulullah, melainkan dari budaya kita sendiri. Tapi apa dengan begitu, lalu dianggap tidak Islami? Pandangan itu keliru!,“ tegas Syarifuddin.
Argumentasi yang diajukan Syarifuddin ini memang masuk akal. Apalagi dalam sejarahnya proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Sul-sel berlangsung melalui perkawinannya dengan tradisi. Begitu juga persebaran Islam di wilayah-wilayah lain, seperti di tanah Jawa dan Sumatera yang lebih melalui jalur-jalur perdagangan dan perkawinan ketimbang saling menyingkirkan. “Ulama dulu tidak menghilangkan tradisi lokal, tapi memadukannya dengan ajaran Islam yang baru datang. Termasuk dalam tradisi pasang ataupun paruntu kana yang menjadi cikal bakal dari Sinrilik ini,” ujar Syarifuddin.
Lebih lanjut Syarifuddin menegaskan, proses perpaduan itu cukup berjalan secara kultural. Artinya dalam pertemuan antar dua tradisi yang berbeda itu masing-masing tidak saling saling menghilangkan. “Masyarakat kita dulu tahu betul kalau dalam proses perkawinan tradisi ini keyakinan subtansial mereka tidak boleh hilang,” tambahnya.
Oleh karena itu bukan hal yang aneh dalam pandangan Syarifuddin, kalau masyarakat kita mengikuti tata cara doa Islam, sementara isi doanya berisi puja-puji dan doa yang telah ada pada komunitas itu sendiri. Demikian pula dalam sinrilik. Ia bisa menjadi media untuk menyampaikan pesan-pesan Islam, sambil tetap mempertahankan tradisi khas dalam sinrilik. Seperti kebiasaan menyelamati alat musik kesok-kesok atau kerek-kerek gallang (sejenis rebab) menjelang tampil.Karena itu Syarifuddin lantas berargumentasi, kalau upaya untuk mengislamisasi kesenian tradisional selama ini sebenarnya kurang pas. Apalagi bila dibuat bermacam-macam kebijakan segala. “Semua kesenian bisa saja Islami, tergantung niat kita,” kata Syarifuddin pelan sambil mengakhiri perbincangannya dengan Desantara. [Pewawancara: Syamsurijal Adhan]