Pembaca budiman, pada rubrik ini kami menampilkan hasil dialog pada acara Bruk-Brak di TVRI Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Pakuan dan Desantara. Acara ini adalah bagian dari sosialisasi advokasi anti diskriminasi agama dan kepercayaan yang kami laksanakan di wilayah Jawa Barat. Dialog berikut tanggapan masyarakat ini sengaja kami tampilkan telanjang agar pembaca ikut merasakan bahwa problem diskriminasi bukan sekadar soal kebijakan hukum, tetapi juga melibatkan konstruksi pemikiran dan pemahaman keagamaan yang anti-pluralis dan diskriminatif yang sebenarnya terus di(re)produksi.
Adapun peserta dialog ini adalah Ira Indrawardana dari generasi muda Pakuan (Paguyuban Anti Diskriminasi berdasarkan Agama dan Kepercayan) Jawa Barat, Anis Djatisunda (Budayawan Sunda), Dr. Wila Candrawila Supardi, SH. dari Fakultas Hukum UNPAR, Pangeran Djatikusumah (sesepuh/tokoh adat Cigugur Kuningan), dan Acep Zam-Zam Noer dari Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Dialog dipandu oleh Dedi Jamaludin Malik. Berikut selengkapnya:
Dedi Jamaludin Malik:
Agama merupakan satu pemahaman yang sangat asasi. Dalam Islam misalnya ada kasus menarik di kuningan. Masjid kelompok Ahmadiyah di bakar oleh masyarakat. Ada juga diskriminasi seperti kasus perkawinan adat yang tidak dicatat pernikahannya di catatan sipil karena dianggap tidak sah. Ada juga kuburan cina yang dibongkar hanya untuk mendirikan pasar. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu sampai terjadi.
Ira Indrawardana:
Terima kasih. Saya lebih dulu ingin menjelaskan apa itu Pakuan. Pakuan adalah paguyuban anti diskriminasi untuk agama adat dan kepercayaan. Yang lahir karena melihat fenomena diskriminasi. Agama, adat, dan kepercayaan itu jangan sampai di politisasi. Seperti kasus penggusuran kuburan Ciyong di Cirebon untuk dijadikan pasar itu. Karena akan menimbulkan diskriminasi.
DR.Wila Candrawila:
Saya pernah menangani satu kasus, perkawinan dua pasang mempelai sunda yang ditolak, tidak dicatat pada catatan sipil. Adat sunda dianggap tidak sah, padahal dulu dikatakan sahnya perkawinan adalah dengan tata cara masing-masing agama dengan kepercayaannya, tata cara perkawinan adat sunda. Tidak ada undang-undang satupun bahwa orang Indonesia harus beragama, itu tidak ada. Tapi orang Indonesia harus mempercayai kepada Tuhan. Dan kita tahu ada orang-orang Indonesia yang tidak menganut salah satu agama, tapi dia tetap beragama, yakni kepercayaan. Juga tidak ada satu undang-undang pun yang mengatakan agama satu yang benar dan lainnya salah. Mereka yang sudah melaksanakan perkawinan mengajukan gugatan agar mencatatkan perkawinannya. Tapi pihak negara tetap tidak mau mencatatnya.
Anis Djatisunda:
Begini. Menurut saya, agama itu berasal dari kepercayaan. Kalau bahasa agama berarti kepercayaan itu aqidah. Seperti Baduy dianggap tidak beragama padahal jelas mereka mempunyai agama, yaitu Sunda Wiwitan. Perkawinan mereka dilakukan secara sah sesuai adat, tapi ternyata tidak dicatat oleh catatan sipil.
Dedi:
Katanya di Cigugur semuanya rukun, tapi masing-masing identik dengan madrais.
P. Djatikusumah:
Kalau bicara soal cigugur, tidak bisa lepas dari Madrais. Apa bedanya Sunda Wiwitan dengan Cigugur. Hanya beda penyebutan saja. Kalau tata cara dan yang dianut itu sama. Hanya jika di Kanekes masih mengikuti adat nenek moyang mereka, sedangkan di Cigugur sudah mengikuti budaya konvensional, mengikuti keadaan zaman, mengikuti cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa. Apa yang disebut kepercayaan semuanya sama mempercayai Tuhan yang Maha Esa. Seperti Sanghiyang Widi, Kristus, Allah, Hiyang Widi Wasa, juga memiliki keinginan dan ketakutan sama mempunyai tempat yang masing-masing. Yang dianut di Cigugur bukan aliran kepercayaan, melainkan penghayat kepercayaan. Bagi saya tidak ada garis perbedaan. Semuanya sama. Semuanya memasrahkan dan percaya kepada Tuhan berdasar hukum adi kodrati. Saya mempunyai anak delapan dan saya tidak mengatur harus ini harus itu, tapi mereka tetap dalam kebebasan. Kalau jalma hanya mempunyai rasa dan pikir, manusia berarti dapat merasakan dan dapat memikirkan. Kita hidup di dunia adalah hasil kasih sayang dari Tuhan. Sukuran kepada Tuhan bukan merupakan kepercayaan dari agama, tapi hanya sukuran tentang kemanusiaan. Semata sukuran umat manusia yang merasa dapat kasih sayang Tuhan.
Dedi:
Apakah itu berarti universalisme? Bagaimana menurut kang Acep, tentang adanya kemajemukan persepsi keagamaan yang justru baru kali ini dibahas.
Acep Zam Zam Noer:
Sangat menarik sekali. Indonesia itu semestinya seperti Cigugur yang hidup rukun. Ada kedewasaan dalam beraganma. Kita banyak mempunyai tokoh, ada ulama, pastur dan banyak lagi. Selama Orde Baru, kita disuruh toleran, bagi saya itu belum cukup. Sebab toleran hanya sebatas tidak menggangu, padahal itu harus sampai ke apresiasi. Dalam apresiasi itu ada penghargaan, pengakuan dan pemahaman dari satu golongan kepada golongan lain. Jadi dalam hal ini bukan soal minoritas dan mayoritas, karena dua-duanya dapat didiskriminasi. Yang minoritas bisa saja menganggap benar kelompoknya, sama halnya dengan kelompok mayoritas. Kerusuhan seperti di Poso dan Ambon sebenarnya kasus toleransi.
Toleransi itu seperti bom waktu yang dapat meledak. Kasus di Ambon itu jelas politik, bukan perang agama. Seperti kerusuhan Tasikmalaya tahun 1996 orang Islam membakar toko-toko Cina yang sebenarnya juga akibat politik. Juga soal 40 rumah yang dibakar di Tasikmalaya Selatan yang dianggap menyesatkan itu. Dalam tiap-tiap agama, adat, suku, dan kepercayaan masing masing ada fundamentalisnya. Begitu pula di Sunda ada fundamentalisnya. Jadi sekarang ini yang kita butuhkan adalah kedewasaan dalam beragama. Jika perasaan fundementalis itu timbul maka masing-masing merasa benar sendiri dan yang lain salah. Para ulama dalam Islam kita juga harus hati-hati. Yang mengadu dombakan itu sebenarnya politik, bukan agama. Seperti kasus penerapan Syariat Islam oleh suatu partai, saya tidak percaya kalau itu untuk agama. Justeru itu adalah politik untuk mengadu domba dan memecah belah agama. Setiap agama sebenarnya mempunyai dimensi sufistiknya. Jika bertemu sufistiknya maka akan dapat berkomunikasi dengan damai. Sebaliknya jika politiknya yang bertemu, jangankan antar agama satu agama pun dapat bertempur. Jadi harus hati-hati dengan partai politik.
Dedi:
Jika politik masuk pada wilayah agama maka ada yang disebut intoleransi agama, merasa benar sendiri. Seolah dia itu Tuhan dan suka menafikan kebenaran yang lain. Menganggap orang lain salah, dan hanya golongannya sendiri benar yang akan masuk surga sebelum kita lanjut.
Dedi:
Kang Ira, bagaimana caranya agar diskriminasi dapat diminimalisir atau dapat dikurangi?
Ira Indrawardana:
Ada dua bentuk diskriminasi. Pertama, diskriminasi dari pemerintah melalui perundang-undangan, kebijakan-kebijakan yang menghalangi ruang gerak agama, adat dan kepercayaan. Kedua, diskriminasi dari masyarakat itu sendiri. Kedua bentuk diskriminasi ini sebenarnya lahir dari akumulasi ketidakdewasaan sikap beragama. Dari pemerintah misalnya tidak dicatatnya perkawinan yang berdasarkan adat istiadat dan kepercayaan dan lainnya. Sedangkan dari masyarakat sendiri, misalnya pembakaran masjid jamaah Ahmadiyah oleh masyarakat sekitar. Bahkan di Ciparay pernah terjadi pembunuhan massal terhadap masyarakat kepercayaan.
Pak Nurdin (Kopo Bandung):
Ibu Wila, anda mengatakan bahwa Kantor Catatan Sipil itu diskriminatif karena tidak mencatat perkawinan berdasar adat. Padahal ibu sendiri tadi mengatakan Sunda itu bukan kepercayaan, bukan juga agama. Kalau begitu, menurut saya pemerintah tidak diskriminatif karena tadi disebutkan bahwa perkawinan Sunda tadi bukan agama dan bukan keparcayaan.
Dedi:
Bagaimana Bu Wila agar tidak terjadi diskriminasi?
DR Wila Candrawila:
Apa yang dilakukan oleh catatan sipil Bandung hanya mencatat kalau perkawinan itu berdasarkan agama. Padahal kita juga tahu kebanyakan masyarakat kita melangsungkan perkawinan masih berdasarkan adat mereka masing-masing. Sejak dahulu sebelum kemerdekaan, menteri kehakiman mengatakan dengan jelas bahwa perkawinan adat itu masih ada dan itu sah. Tapi belakangan kawin adat tidak dianggap sah oleh kantor catatan sipil. Dan dengan pengertian sempit agama yang diakui hanya Islam, Kristen, Hindu, Katolik, dan Budha. Di luar lima agama tersebut tidak sah. Perlu dikritisi, mana ada di dunia ini agama yang tidak sah. Sah itu kan hukum. Sementara agama bukan hukum.
Ira:
Agama telah menjadi subordinasi negara. Ada Agama resmi dan agama non resmi. Negara hanya membatasi hanya lima agama. Jadi Tuhan agama itu negara. Negara sangat mengatur kehidupan beragama. Padahal beragama merupakan sesuatu yang asasi dan tidak bisa secara memaksa diatur oleh negara sepenuhnya. Kami, Pakuan berasal dari beraneka ragam latar belakang; ada dari pesantren, kepercayaan, Ahmadiyah Garut, Persis, dan masih banyak lagi. Jadi jika agama di bawah negara, maka Tuhan agama itu berarti negara itu sendiri.
DR Wila Candrawila:
Pengakuan lima agama resmi itu tidak ada dalam undang-undang. Cuma pada tahun 1978 ada surat edaran dari Mendagri No. 477 bahwa pengisian kolom agama harus sesuai dengan lima agama, dan selain lima itu dianggap dikasih tanda minus yang diberi tanda kurung. Selanjutnya surat edaran itu dijadikan dasar hukum. Padahal pada tahun 2001 surat edaran itu tidak berlaku lagi. Jadi undang-undangnya sudah betul, tapi pelaksanaannya yang belum betul.
Acep Zam Zam:
Kalau saya amati negara ini kurang kerjaan. Semua agama atau kepercayaan pasti nilainya baik. Dan semuanya menolak korupsi, misalnya. Tapi sayangnya justeru agamanya yang menjadi masalah dan bukan korupsinya yang dimasalahkan.
Pak Dahro (penanggap dari Ciamis):
Menurut saya acara bruk-brak ini seharusnya diseminarkan lagi. Mengapa adat sunda masih dipakai padahal kita sudah beragama. Ini tidak sehat. Kalau begitu kita mau kembali lagi pada zaman kuno, zaman dahulu.yang tidak beradab. Kalau kita sudah beragama, maka pakailah agama baik itu Kristen, Islam, dan lain-lain. Sahnya perkawinan bukan lagi menurut adat. Dan jangan dicampurkan antara adat dengan agama. Saya juga tahu seperti Madrais yang berdo’a di depan api. Kalau dulu itu boleh tapi kalau sekarang mungkin tidak.
Ibu Tuti (penanya dari Bandung)
Kalau tentang adat saya tidak tahu. Tapi saya mau tanya apakah Ahmadiyah itu Islam atau bukan?
Pak Iwan (penanggap dari Majalaya):
Kalau saya kebetulan sangat tanggap pada seni terutama adat Sunda. Saya terima kasih kepada Kang Ira dari Pakuan. Saya kira di Bandung ini tidak ada anak muda yang peduli pada adat dan seni kita sendiri. Eh, ternyata masih banyak. Menurut saya, kita jangan menghilangkan seni dan adat budaya kita sendiri. Kita harus ingat pada purwadaksi kita. Dan kita harus melestarikan budaya kita sendiri. Karena manusia suka lupa segalanya.
Kang Cece Hidayat (penanggap dari Banjaran):
Saya ikut rembuk. Ada dua hal: pertama, dalam semuanya yang bicara di sini pakai kacamata budaya, jadi harus ada perwakilan dari ahli agama. Kedua, jangan dicampuradukkan antara agama dengan budaya.
P. Djatikusumah:
Saya menanggapi penanya yang bilang Madrais berdoa di depan api. Sebenarnya api itu hanya simbol. Seperti tanah, air, angin dan api. Di sana (Cigugur) ada tungku besar empat kepala naga yang semuanya hanya gambaran untuk nafsu manusia. Dalam sejarahnya, Pak Madrais sangat tidak disukai oleh Belanda sehingga diasingkan ke daerah lain, karena Pak Madrais menyusun ajaran kesundaan yang luas, yaitu cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa. Tambahan lagi, saya telah mengawinkan anak saya dengan penganut Katolik dan didoakan oleh rohaniawan Katolik, Kardinal, Islam, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Selain dari Depag, juga dari Wihara, Baha’i, dan Brahma Kumaris. Semua do’a kami terima dari berbagai kalangan. Artinya menerima semua doa untuk kemanusiaan. Masalahnya, perkawinan itu sudah didoakan dan disahkan semua agama tapi mengapa tetap tidak bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil.
Dedi:
Kita ini ingin mengingatkan pada Anda semua pemirsa bahwa selain ada agama-agama itu ada juga keyakinan-keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Anis Djatisunda:
Sebenarnya di Sunda atau Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa memberi gambaran kehidupan dalam kontek Sunda adalah mengalir sesuai unsur alam yang lainnya. Manusia itu merupakan unsur alam, seperti tanah, air, dan yang lainnya. Tidak pernah pohon kelapa memarahi pada pohon jambu. Atau kera menindas kambing. Semuanya memang berbeda, tapi semuanya rukun dan harus sebagaimana unsur alam itu berada dalam kedamaian, saling menghargai, tidak saling menindasnya antara pohon jambe dengan pohon kelapa. Masing-masing hidup dalam jalannya masing-masing. Sebelum agama Islam datang, adat Sunda sudah ada terlebih dahulu.
Dedi:
Pemirsa, pertanyaan apakah Ahmadiyah itu Islam atau bukan, memang ada pro dan kontra. Memang pemahaman agama bisa berbeda-beda. Tapi intinya tidak ada yang bisa memutlakan tafsir kebenaran atas nama kepercayaan atau atas nama agama apapun. Kita tengah mencari kebenaran meskipun kita diberi hak untuk meyakini tentang kebenaran itu. Billahi at-taufiq walhidayah, Wasalam‘alaikum Wr. Wb. Desantara