Saat ini, sertifikasi halal bukanlah lagi domain eksklusif umat Islam saja. Negara-negara yang mayoritas warganya beragama non Islam juga mengambil peran penting dalam domain ini. Terbukti dari Australia yang menjamin daging sapi yang diekspor halal. Caranya adalah dengan mempekerjakan pejagal-pejagal dari Timur Tengah. Begitu pula dengan Taiwan, Jepang, maupun Thailand yang tiap tahun mulai mengadakan pameran produk makanan halal. Tidak ketinggalan pula negara-negara di Eropa dan Amerika. Alasannya sederhana, yaitu keuntungan yang diraih. Data menunjukkan, industri halal dunia saat ini bernilai kurang lebih 600 miliar dollar AS.
Di Indonesia, sertifikasi halal mempunyai sejarah yang panjang. Semuanya bermula dari penelitian Tri Sutrisno, dosen Universitas Brawijaya, tahun 1988. Penelitian tersebut menunjukkan beberapa komponen bahan pangan dipasar mengandung babi. Meskipun hasilnya tidak ditujukan kepada khayalak ramai, namun entah oleh siapa hasil penelitian tersebut menyebar. Masyarakat pun gempar. Perekonomian berjalan lambat akibat rendahnya minat terhadap produk di pasaran. Bahkan, kala itu, susu sapi pun diisukan sebagai susu babi. Iklan susu di televisi yang menampilkan seekor anjing pun langsung mengalami penurunan permintaan.
Kejadian tersebut menyadarkan “kita”, bahwa umat Islam dalam dunia perekonomian membutuhkan perlindungan. Kesempatan inilah yang diambil oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI dalam hal ini mengambil langkah penting dan termasuk agen pertama yang menjadi pemecah persoalan diatas. Selain mengadakan konferensi pers, MUI berinisiatif mengeluarkan sertifikasi halal pada produk makanan dan minuman. Produk yang telah lolos uji dan mendapatkan sertifikasi halal, dapat mencantumkan label (logo) halal pada kemasannya. Logo tersebut dapat dilihat dengan adanya tulisan halal, menggunakan aksara Arab.
Mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak, selanjutnya MUI merealisasikan peran barunya tersebut dibawah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LP POM). MUI resmi mengeluarkan sertifikasi halal di tahun 1989. LPPOM MUI mulanya dibantu oleh para dosen IPB dengan meminjam laboratorium. Dan sesuai dengan namanya, sertifikasi halal tidak hanya mencakup makanan dan minuman saja, tetapi juga berlaku bagi obat-obatan dan kosmetika.
Namun dalam perkembangannya MUI banyak menemui kendala. Terutama masalah kewenangan dan legitimasi. Hal ini dipicu oleh tidak adanya produk hukum yang jelas, yang mendukung MUI untuk menerbitkan sertifikasi halal. Masalah lain timbul ketika banyak produk yang telah bersertifikasi halal tetapi nyatanya haram. Seperti penemuan BPPOM pada produk daging dendeng atau abon. Meski secara jelas disebutkan daging sapi, hasil tes menunjukkan bahwa produk yang beredar adalah daging babi. Kelemahan MUI semakin bertambah dalam hal pengawasan. Bahkan Transparency International Indonesia (TII) menyebut MUI sebagai salah satu lembaga yang paling banyak menerima suap dalam hal pengurusan sertifikasi halal.
Dengan alasan berbagai kelemahan tersebut, tahun 2006 Kementerian Agama (kemenag) mengajukan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) ke DPR RI. RUU tersebut pada intinya adalah mengambil alih kewenangan penerbitan sertifikasi halal dari tangan MUI ke kemenag. Alasannya, kemenag dianggap perwakilan pemerintah yang lebih tepat. Meskipun MUI sendiri juga berada dibawah kemenag. MUI bersikap menolak dan tegas akan mempertahankan sertifikasi halal tetap menjadi kewenangannya. Penolakan ini mensinyalir bahwa MUI mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga, dapat ditarik pertanyaan, kepentingan apa dibalik upaya MUI tetap mempertahankan sertifikasi halal?
Menjawab pertanyaan tersebut tentu membutuhkan waktu dan pemikiran yang panjang. Kita dapat menelisik dari sejarah pendirian MUI (berdiri tahun 1975 dibawah kekuasaan Orde Baru) dan adanya sertifikasi halal di Indonesia. Penulis sendiri memetakan kepentingan MUI dalam tiga motif, yaitu motif ideologi, politik dan ekonomi. Dimana ketiga motif tersebut saling erat satu sama lain.
Pasca runtuhnya Orde Baru, MUI seperti anak ayam yang kehilangan induknya. MUI yang dulu difungsikan untuk mendukung kebijakan yang politis dan mempunyai kekuasaan yang besar, tidak lagi mempunyai eksistensi yang nyata. Maka dari sudut pandang yang lain, sertifikasi halal menjadi penyelamat eksisitensi MUI untuk kembali berjaya. MUI yang notabene adalah kumpulan ulama mengklaim dirinya paling potensial mengurusi sertifikasi halal. Sertifikasi halal adalah bentuk perlindungan umat Islam, dan seyogyanya ulama-lah yang paling mengerti domain ini. Dan dengan kata lain pula, MUI lah yang (merasa) paling berhak mengurusnya. Eksistensi MUI terselamatkan baik sebagai organisasi maupun dari para ulama yang tergabung di dalamnya.
Sertifikasi halal dalam dunia perekonomian juga menunjukkan pengaruh yang kuat dalam angka penjualan. Produsen yang mendaftarkan produknya dari tahun ke tahun terus bertambah. Survei yang pernah diadakan oleh LPPOM MUI menunjukkan bahwa produk yang telah bersertifikasi halal meningkat penjualannya hingga dua kali lipat. Hal ini diklaim karena tuntutan masyarakat terhadap jaminan halal atas produk yang mereka konsumsi. Maka serasa sempurna kedudukan MUI dalam domain halal ini. Produsen membutuhkannya untuk mendapat kepercayaan konsumen, sedang konsumen sendiri membutuhkan untuk menjamin kenyamanan konsumsi.
Namun, kepentingan yang lebih besar, nyata dan tidak bisa dikesampingkan adalah soal materi atau keuntungan. Pernyataan TII kepada MUI sebagai lembaga korup barangkali ada benarnya. Dalam situs LPPOM MUI disebutkan mengenai biaya pengurusan sertifikasi halal. Berkisar antara RP 500 ribu hingga RP 2 juta rupiah per produk (data terbaru menunjukkan hingga angka Rp 6 juta) ditambah penyediaan jasa penginapan, makanan, dan transportasi selama tim pemeriksa LPPOM MUI berada di lokasi pengolahan produk. Inilah yang menjadi celah besar terjadinya kongkalingkong antara pengusaha dan MUI. MUI bisa meminta lebih dari biaya yang ditetapkan. Terlebih lagi tidak ada payung hukum dan undang-undang yang mengatur, sehingga standardisasi biaya ditetapkan secara sepihak oleh MUI. Keadaan semakin diperparah dengan tidak adanya audit aliran uang sertifikasi halal. Bisa dibayangkan berapa aliran dana yang masuk ke dalam kantong MUI. Alasan-alasan inilah yang paling kuat mendasari mengapa MUI terus ingin memegang kuasa dalam pengurusan sertifikasi halal.
Penulis adalah alumnus MAP UGM, dengan tesis “Ekonomi Politik Sertifikasi Halal Oleh Majelis Ulama Indonesia.” Tulisan ini diambil dari tesis. CP: afroniyati.lies@gmail.com