Tawuran Warga dan Program Transmigrasi

Pagi sekitar jam 7, 5 Juni kemarin saya dengar radio RRI pro 2 FM menyiarkan rencana pemerintah Provinsi DKI mentransmigrasikan 39 KK di Jakarta ke daerah Sumatera Selatan. Prioritas transmigrasi tersebut adalah para keluarga yang tinggal di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, yang dikenal sebagai kampung yang sarat dengan tawuran antar warga. Diharapkan dengan transmigrasi tersebut tawuran akan berkurang, syukur-syukur akan hilang sama sekali. Menurut pemerintah, tawuran sering terjadi karena pemukiman terlalu padat dengan sebagian besar warga berada dalam kondisi ekonomi yang tidak mampu.
Pertanyaannya, apakah dengan memindahkan penduduk ke luar pulau seperti ini akan menyelesaikan persoalan? Tentu saja penyelesaian tidak saja pada kampung yang ditinggalkan, tetapi juga pada warga yang ditransmigrasikan tersebut. Jangan-jangan tidak ada perubahan pada kampung Johar Baru, sedangkan orang yang ditransmigrasikan justru menyebarkan tradisi kekerasan yang selama ini dilakukan. Tentu ini pertanyaan yang tidak mudah menjawabnya, apalagi belum ada bukti tentang keberhasilan dan kegagalan transmigrasi dengan alasan seperti ini. Memang soal migrasi “sukarela” karena konflik dan kemiskinan sudah terjadi dimana-mana, tetapi tentu ini dimaksudkan untuk menyelamatkan diri dari kekejaman yang terjadi. Pada jaman perang revolusi, justru banyak penduduk desa bermigrasi ke kota untuk mencari aman. Tetapi migrasi dengan tujuan agar daerah yang ditinggalkan lebih aman, hanya ada dalam masa kolonial Belanda, khususnya fase krisis tahun 1930-an.
Menurut Levang ( 2003), transmigrasi mulai diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905, yang waktu itu dinamakan kolonisatie, dengan pelbagai tujuan seperti mengurangi tekanan demografis di Jawa agar dapat meningkatkan kesejahteraan pribumi. Kolonisatie ini merupakan bagian program dari politik etis atau politik balas budi, yang terkenal dengan program pendidikan, irigasi, dan migrasi. Program balas budi tersebut tak lepas dari peran pendukung politik etik yang menuntut agar pemerintah Belanda memberikan balas budi kepada pribumi, karena peran merekalah Kerajaan Belanda bisa keluar dari kesulitan keuangan akibat perang jaman Napoleon dan pemisahan Belgia. Karena krisis tahun 1930-an, tujuan kolonisatie berubah. Kolonisatie atau transmigrasi tersebut dimaksudkan untuk menampung buruh perkebunan yang di PHK akibat krisis ekonomi tahun 30-an. Selain itu juga memindahkan pendudukan yang terkena bencana alam, petani yang digusur tanahnya dan gelandangan yang dirazia di kota-kota besar. Dengan
demikian secara umum tujuan transmigrasi pada fase ini adalah membuat Jawa aman dan terhindar dari gejolak sosial.
Memindahkan warga atau mentransmigrasikan mereka agar wilayah atau kampung mereka menjadi lebih aman atau tenteram bisa berujung seperti penyelesaian masalah sampah selama ini. Kita pikir dengan menyapu, mengumpulkan dan membuang sampah ke TPS/TPA akan menyelesaikan masalah, padahal tidak. Rumah atau kampung kita memang akan kelihatan bersih untuk sementara, tetapi yang kita lakukan sebenarnya memindahkan sampah dan penyakit itu ke tempat lain, yang biasanya pinggiran kota. Ini tidak menyelesaikan masalah, tetapi memindahkan masalah. Pemindahan masalah tidak mungkin dilakukan ke pusat kota, seperti halnya sampah yang tidak mungkin tempat pembuangan akhir-nya berada di tengah kota. Pemerintah Jakarta tentu malu dan risih jika kota tempat para pembesar negeri ini yang terjadi setiap hari adalah tawuran antar warga, di jakarta Pusat lagi. Ini harus dibersihkan dengan membuang mereka ke pinggiran. Ini menjadi persoalan yang bias kelas dan bias kota.
Memang warga yang ditransmigrasikan tersebut katanya sudah dibekali dengan ketrampilan dan disediakan pelbagai macam peralatan serta tanah seluas dua hektar di tempat baru, agar mereka bisa hidup dan sukses di tempat baru. Tetapi pengalaman terdahulu mengajarkan lain. Memang ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit yang gagal total dan memilih kembali ke kampungnya di Jawa dengan menjual tanah dan rumah yang didiami selama ini. Selain gagal beradaptasi, yang terjadi justru perusakan lingkungan dan penyebaran virus keburukan di tempat baru. Maka tak heran program transmigrasi dituduh hanya memindahkan kesengsaraan saja.
Bagi Kecamatan Johar Baru, belum tentu juga akan ada perubahan. Memang persoalan struktural bisa menjadi sebab adanya kekerasan seperti tawuran rutin. Karena kemiskinan yang akut dan segala tidak keberuntungan yang selama ini menghinggapinya, seseorang cenderung tidak taat terhadap pranata yang ada. Karena dengan pranata atau aturan-aturan yang ada yang dibuat oleh sebuah otoritas tersebut yang menyebabkan dia terpinggirkan. Dengan kata lain, mereka tidak percaya hukum karena memang hukum selama ini tidak pernah berpihak pada mereka. Tetapi pertanyaan kemudian, kenapa tawuran sering terjadi di Johar Baru, padahal kampung yang lebih padat dan lebih “kumuh” juga banyak di Jakarta ini? Inilah yang perlu kita selidiki. Jangan-jangan ini berkait dengan nilai-nilai, perilaku dan tradisi-tradisi yang diwariskan. Ini kemudian menjadi persoalan kultural.
Lantas, bagaimana menjawab persoalan sosial seperti yang terjadi di Johar baru? Yang jelas, transmigrasi bukan solusi terbaik. Ia solusi parsial, jangka pendek dan kemungkinan malah memindahkan persoalan saja. Untuk itu ketimpangan ekonomi-sosial desa dengan kota harus diselesaikan. Kota-kota besar pasti tidak bisa terus menerus menampung para migran dari desa, yang rata-rata memang terpaksa datang ke kota. Untuk itu harus dicari cara agar yang tinggal di desa bisa sejahtera dan tidak kehilangan sumberdaya mereka. Kebijakan nasional tentang penanggulangan kemiskinan harus didasarkan pada tujuan ini, bukan justru hanya mengalirkan kesejahteraan dari desa ke kota lagi. Selanjutnya, aturan-aturan perundang-undangan atau kebijakan lain serta aparat yang menegakkannya harus berorientasi pada keadilan substantif sehingga warga yang selama ini terpinggirkan dan hidup dalam ketidakadilan serta kemiskinan mempunyai harapan terhadap aturan. Mereka akan patuh terhadap mereka karena hukum memberikan keadilan pada mereka.
Yang terakhir, perlunya upaya-upaya memutus rantai pewarisan nilai-nilai dan perilaku kekerasan melalui pendekatan berbasis keluarga dan komunitas. Karena melalui institusi inilah biasanya subkultur kekerasan diwariskan dari generasi ke generasi. (Ari Ujianto)

BAGIKAN: