Lahudin, Pemerhati To Mimala-Oleh Tamsil. Masing-masing orang punya jalan sendiri, kemauan sendiri, kepentingan sendiri,” jelas Lahudin (34) menanggapi pro kontra atas keberadaan komunitas To Mimala. Baginya, agama adalah ungkapan batin dari dalam diri manusia. Demikian juga berlaku bagi To Mimala.
Menurut Lahudin, babi yang dijadikan persembahan tidak harus dimaknai sebagai hewan haram seperti yang ada dalam agama Islam. “Tapi, bagi mereka (penganut To Mimala) babi adalah persyaratan penting dalam menolak bala,” tangkisnya.
Ia juga melihat bahwa selama ini, toleransi yang dimiliki oleh To Mimala sangatlah tinggi. Karenanya dia menyarankan, jika melihat atau memandang To Mimala hendaknya secara menyeluruh serta mendalam, jangan hanya sepotong-potong, apalagi permukaannya saja. “Sebuah kepercayaan yang datangnya dari nenek moyang Kaleok, melahirkan banyak ilmu tentang kearifan lokal,” ujarnya.
Bagi Lahuddin, tradisi To Mimala adalah kekayaan bangsa Indonesia yang perlu dijaga dan diberikan ruang tersendiri agar tetap eksis dan bergerak. “Saya sangat tidak senang kalau ada orang yang mengusik mereka,” katanya.
“Siapa lagi yang menjaga keseimbangan alam kalau bukan mereka? Negara yang diamanahkan untuk melindungi hutan tapi negara juga yang merusaknya. Pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran saya adalah kenapa mereka selalu diusik? Toh mereka juga tidak mengusik orang di sekitarnya. Justru To Mimala punya kontribusi besar terhadap keseimbangan alam,” tambahnya.
Lahudin juga menjelaskan bahwa problem yang dihadapi aliran To Mimala saat ini tidak hanya terkait dengan pandangan masyarakat yang begitu miring terhadapnya, namun juga harus berbenturan dengan kebijakan negara. “Lahirnya peraturan tiga menteri mengenai pelarangan menyebarkan syiar kepercayaan yang tidak sesuai ajaran induknya (red-Islam), akan berimbas kepada eksistensi To Mimala. Munculnya SKB akan menyempitkan ruang gerak To Mimala,” jelasnya.[DEPORT]