Wajah Lain Dari Tegalrejo

Shohib Masykur | 16 – May – 2013

Pentas kesenian dan pengajian berlangsung di satu lokasi yang berimpitan memang tampak janggal. Terlebih bagi mereka yang selalu menganggap kesenian dan pengajian adalah dunia yang tak terjembatani. Namun  di Tegalrejo, pengajian dan pentas kesenian di satu lokasi yang berdekatan sudah berlangsung puluhan tahun.

Di depan sebuah rumah yang penuh dengan patung, wayang, dan lukisan berlangsung pementasan berbagai macam kesenian tradisional, mulai dari jathilan, reog, lengger, kethoprak, wayang, hingga barongsai. Dari pagi hingga malam, tak henti-hentinya suara gamelan mengalun. Penonton yang berjubel seolah tiada bosan menyaksikan para pelaku seni tradisional unjuk kebolehan. Sementara itu, di halaman rumah lainnya, sepelemparn tombak dari perhelatan kesenian itu, berdiri kokoh sebuah panggung. Mengambil badan jalan sebagai pijakan, kaki-kaki besi berketinggian dua meter menopang sebuah panggung berukuran 4×10 meter. Di depannya berderet kursi berjumlah ratusan yang dipenuhi oleh peserta pengajian. Dengan penuh kekhusyukan, orang-orang yang hampir semuanya berpeci itu mendengarkan ceramah kiai. . Ingar-bingar suara tabuhan diiringi tari-tarian seolah tak mengganggu kekhusyukan para peserta pengajian itu.

Di satu sisi, keduanya seolah-olah diselenggarakan di dua dunia yang berbeda mengingat masing-masing tidak mengganggu—atau merasa terganggu oleh—yang lain. Masing-masing asyik dengan keriuhan dan kesibukannya sendiri-sendiri. Sementara di sisi lain, keduanya secara faktual hanya terpisah oleh jarak sekitar 50 meter. Suara tabuhan bisa didengar dari tempat pengajian, suara ceramah kiai juga sayup-sayup terdengar dari tempat pentas kesenaian. Para penonton kesenian hanya perlu bergeser beberapa meter untuk memfokuskan diri pada pengajian, dan para pendengar pengajian hanya perlu mengayun beberapa puluh langkah untuk bisa menonton pentas seni.

Itulah yang selalu terjadi setiap acara akhir tahun (khataman) di Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Selain pengajian umum sebagaimana biasa diadakan pesantren lain, Ponpes API Tegalrejo juga menyelenggarakan pagelaran kesenian yang diberi tajuk Pawiayatan Budaya Adat (PBA) untuk memeriahkan acara khataman. ”Setiap kali khataman, pondok Tegalrejo selalu menyelenggarakan pagelaran kesenian. Lamanya seminggu penuh. Yang sekarang bahkan lebih,” ujar Rochanie, salah seorang panitia PBA.  Dalam PBA ini, tidak kurang dari dua ratus komunitas kesenian tradisional silih berganti menampilkan atraksi seni dan unjuk kebolehan. Menilik dari daftar peserta yang berhasil Desantara dapatkan dari panitia, kebanyakan mereka berasal dari daerah Jawa Tengah, berkisar antara Magelang, Temanggung, Boyolali, dan Wonosobo. Kemeriahan khas festival rakyat ini sudah berlangsung selama puluhan tahun. Tercatat hingga tahun 2007 pesta rakyat itu sudah berjalan tiga puluh tiga kali. Di Pesantren Tegalrejo, khataman menjadi peristiwa yang sangat spesial bagi para santrinya dan juga para penduduk di sekitarnya.

           

Khataman: Ritus Peralihan Kaum Santri

Khataman, bagi orang Islam—khususnya kalangan pesantren—memang merupakan momen yang sangat bermakna, semacam ritus peralihan yang terlampau penting untuk dilewatkan begitu saja. Khataman merupakan ujung dari sebuah proses panjang dalam menamatkan pembacaan Al Qur’an (baik itu bi an-nadzar alias menyimak ataupun bi al-ghaib alias menghafal). Orang yang sudah mengkhatamkan (menyelesaikan) pembacaan Al Qur’an berarti dia sudah merampungkan seluruh isi kitab suci yang menjadi pedoman utama bagi orang Islam itu sekaligus merupakan perantara abadi antara pencipta dan ciptaan-Nya. Terlepas dari apakah seseorang tersebut benar-benar menghayati dan mengamalkan isinya atau tidak, proses “membaca” itu sendiri sudah merupakan laku tersendiri yang diyakini akan membuahkan imbalan berupa pahala tertentu (Sebuah hadis yang sering dicuplik mengatakan bahwa setiap satu huruf bacaan ayat-ayat Al Qur’an akan berimbal sepuluh pahala). Mengingat arti penting khataman tersebut, pada umumnya kaum muslim ingin membuatnya berkesan dengan mengadakan perayaan. Tak heran jika di kampung-kampung seringkali kita menemukan diadakannya perayaan kecil-kecilan untuk memeriahkan acara khataman.

Meski dengan level yang berbeda, apresiasi serupa diberikan kepada khataman kitab kuning. Umum diketahui, hampir semua pesantren menggunakan kitab kuning sebagai sumber referensi utama wawasan tentang agama. Dari empat sumber hukum islam yang digunakan oleh mayoritas pesantren di Indonesia, yakni Al Qur’an, Hadis, Qiyas, dan Ijma’, semua melibatkan kitab kuning dalam proses pembelajarannya. Untuk yang pertama, kitab kuning diperlukan dalam rangka mengkaji pemahaman para ulama terdahulu terhadap kitab suci, maka muncullah kitab-kitab tafsir Al Qur’an. Selain itu untuk mampu membaca dan memahami Al Qur’an sendiri juga diperlukan ilmu-ilmu semacam nahwu dan sharaf (tata bahasa), yang juga melibatkan kitab kuning. Untuk yang kedua, kumpulan hadis dan penafsiran-penafsirannya juga hanya bisa diketahui lewat kitab kuning. Adapun yang ketiga dan keempat, tentu saja hasil-hasil Qiyas dan Ijma’ para ulama hanya bisa dilacak melalui kitab-kitab kuning.

Bagi kalangan pesantren sendiri, khataman adalah sebuah event yang amat penting. Semangat, energi, ketekunan, dan kerja keras yang telah dijalani baik oleh sang Kiai maupun santri selama satu tahun berklimaks pada satu momen rutin tahunan yang dinamakan khataman. Dengan khataman itu mereka menyajikan kepada publik hasil capaian yang telah mereka peroleh selama satu tahun. Selain sebagai wahana sosialisasi, khataman juga merupakan wujud pertanggungjawaban dari pesantren kepada publik, khususnya para wali santri, atas santri-santri yang telah diserahkan oleh orangtua mereka untu dididik di pesantren. Mengingat arti penting acara tersebut bagi mereka, hampir semua pesantren berupaya keras untuk membuat hari(-hari) tersebut menjadi istimewa dengan berbagai hal, mulai dari lomba-lomba, bazaar, pentas seni, hingga pengajian akbar. Hampir seluruh stakeholder pesantren, seperti Kiai, santri, para alumni, dan warga di sekitar pesantren, berpartisipasi dalam acara khataman ini.

Seni Rakyat Di Mata Pesantren

Sebagian orang mungkin akan mengernyitkan dahi melihat fenomena di Tegalrejo ini. Betapa tidak, sebuah pesantrenyang identik dengan keislaman justru memeriahkan acara khataman dengan ritual yang dalam pandangan umum tidak mencirikan, bahkan bertentangan dengan, ajaran Islam.Terlebih API Tegalrejo adalah pesantren salaf, sebuah tipe pesantren yang sangat kokoh memegang tradisi dengan peraturan yang sangat ketat tanpa mencampurkannya dengan model pendidikan modern. Umumnya, pesantren adalah sebuah lembaga yang memagari dirinya dari unsur-unsur yang, meminjam istilah kontroversial Geertz, abangan. Para santri ini, dengan gaya hidup, perilaku, sistem nilai, dan pandangan hidup yang berbeda dengan masyarakat awam agama, memandang dirinya terpisah dari kaum abangan. Tidak heran jika kesenian tradisional yang umumnya lebih banyak dijalani orang-orang abangan itu jarang bersentuhan dengan masyarakat pesantren. Tentu saja persoalannya akan lain jika kesenian tersebut ”berbau” Islam—atau lebih tepatnya Arab—seperti hadroh atau rebana (kesenian berupa penabuhan kendang disertai nyanyian yang syairnya berisi puji-pujian terhadap Nabi dan para sahabat, biasanya berbahasa Arab). Cuma kesenian semacam ini yang relatif lebih bisa diterima di kalangan pesantren.

Pandangan stigamatik pesantren terhadap kesenian tradisional menemukan pengukuhan referensialnya pada doktrin di kitab-kitab kuning yang biasa menjadi rujukan kalangan pesantren. Doktrin tentang haramnya alatul malahi (alat-alat musik) di kitab Sulam al-Taufiq, misalnya, begitu kuat menguasai kesadaran orang-orang kalangan pesantren sehingga mereka, terutama kalangan salaf, tidak bisa menerima masuknya musik ke pesantren. Alat-alat tersebut diharamkan karena melalaikan manusia dari Sang Pencipta. Selain itu, tindak kemaksiatan yang galib menghiasi acara-acara kesenian (semisal joget, mabuk, umbar aurat, ndadi atau lepasnya kesadaran orang karena dirasuki roh halus) juga turut memberikan andil dalam proses stigmatisasi kalangan pesantren terhadap kesenian. Banyak di antara para pelaku seni tradisional tersebut juga merupakan orang-orang yang relatif jauh dari ritual agama Islam, dan karenanya dipandang jauh dari Islam. Selain itu, orang-orang ini juga dianggap sering melakukan praktik-praktik yang membawa manusia ke arah syirik atau menyekutukan Tuhan—sebuah dosa terbesar yang tak terampunkan. Praktik-praktik tersebut misalnya kepercayaan terhadap para danyang (roh halus yang biasanya menempati benda tertentu seperi batu dan pohon) dan kesediaan untuk memberikan sesaji bagi mereka pada momen-momen tertentu, misalnya ketika hendak panen atau tandur (mulai masa tanam), termasuk ketika hendak memainkan kesenian tradisional. Sebagaimana umumnya orang bergaul, kalangan pesantren cenderung untuk menjauhi orang lain yang tidak senada seirama. Kalangan santri yang merasa “dekat dengan agama” ini merasa tidak sepantasnya bergaul dengan kaum kesenian tradisional yang “jauh dari agama.”

Keengganan komunitas pesantren untuk bersentuhan dengan kesenian tradisional ini terlihat dari respon yang diterima Ponpes API Tegalrejo pada awal-awal diselenggarakannya PBA di tahun 70-an. Menurut Gus Muh (sapaan akrab bagi K.H. Ahmad Muhammad, salah satu pengasuh Ponpes API sekaligus tokoh kunci di balik berdiri dan bertahannya PBA), banyak sekali pihak yang menentang PBA. “Pada awalnya banyak sekali yang menentang ini (PBA-red)…bahkan ada yang menuduh saya telah keluar dari jalan Islam”, ungkapnya dalam sebuah wawancara dengan Desantara. Tentangan semacam itu tidak hanya datang dari kalangan yang selama ini dianggap sebagai Islam modernis, tetapi juga dari kalangan Islam tradisionalis sendiri.

Tegalrejo: Sebuah Wajah Lain?

Apa yang bisa disaksikan di Ponpes API Tegalrejo seolah-olah mendobrak kecenderungan umum tersebut dan membalikkan anggapan tentang pesantren yang menolak kesenian tradisional. Sejak didirikannya PBA di tahun 74, tidak pernah khataman di Tegalrejo terlewati tanpa kehadiran kesenian tradisional. “Kami mengundang kelompok-kelompok kesenian di sekitar sini untuk meramaikan acara akhirissannah (upacara akhir tahun ajaran-red), tidak peduli siapapun mereka dan kesenian apapun itu,” ungkap Gus Muh. Publik pun mafhum, menghadiri khataman di Ponpes API Tegalrejo berarti tidak hanya menjumpai orang-orang berkopyah dan bekerudung yang khusyuk mendengarkan lantuanan ayat-ayat Al Qur’an dan petuah-petuah bersisi mau’idzah hasanah (nasihat-nasihat baik) dari para Kiai, tetapi juga menyaksikan lompatan-lompatan pemain jathilan diiringi dengan tabuhan musik yang menghentak-hentak, lenggak-lenggok para penari lengger yang gemulai, atraksi-atraksi para pembawa liong yang piawai, pementasan kethoprak yang dihiasai adegan-adegan seru, serta drama penuh intrik, humor, dan romantisme yang dilakoni oleh tokoh-tokoh dalam dunia Semar yang dibawakan oleh ki dalang. Para pendamba pengajian, di satu sisi, dan para penikmat kesenian, di sisi yang lain, seolah menjadi tak tersekat lagi.

Lantas bagaimana Pesantren Tegalrejo bisa akrab dengan kesenian tradisional? Jauh sebelum ada fetival tahunan itu, Pesantren Tegalrejo memang telah dikenal sebagai pesantren yang dekat dengan kesenian. Kita bisa melacaknya dari sosok pendiri pesantren ini, yakni K.H. Chudlori yang akrab disapa Kiai Chudlori atau Mbah Chudlori. Gus Yusuf (sapaan K.H. Yusuf Chudlori, putra Kiai Chudlori) menceritakan sebuah kisah perjumpaan pesantrennya dengan dan kesenian tradisionl. Suatu hari, Kiai Chudlori didatangi perwakilanmasyarakat di daerah Tegalrejo yang sedang berselisih berebut uang kas desa yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Satu kelompok menghendaki uang itu digunakan untuk memperbaiki masjid, sementara kelompok lain menghendaki agar uang tersebut digunakan untuk membeli gamelan. Karena perselisihan di antara keduanya tidak terselesaikan, mereka pun memutuskan untuk membawa persoalan tersebut ke Kiai Chudlori. Di luar dugaan, Kiai Chudlori justru menganjurkan agar uang tersebut digunakan untuk membeli gamelan. Alasannya, yang penting masyarakat bisa rukun dan guyub. Kalau masyarakat sudah rukun dan guyub, nanti masjid pasti datang dengan sendirinya. Benar saja, setelah masyarakat tersebut rukun dan guyub, mereka iuran untuk membangun masjid.  Barangkali semacam inilah apa yang dimaksudkan dengan cultural broker oleh Clifford Geertz. Bagi masyarakat Jawa, bahkan yang bukan kalangan santri, kiai merupakan sosok penting di masyarakat yang menjadi rujukan setiap kali mereka menghadapi persoalan, entah persoalan individu maupun persoalan kolektif. Dalam hal ini Kiai Chudlori berperan sebagai “pengadilan” yang keputusannya mengikat dan harus ditaati oleh kedua belah pihak. “Dari sanalah muncul benang merah antara kesenian dan Pondok. Orang-orang kesenian merasa terayomi oleh Bapak (Kiai Chudlori-red). Mereka mendekat. Lalu muncul lah partisipasi mereka untuk pesantren, khususnya ketika khataman. Sesuai dengan kemampuan mereka, peran serta mereka adalah main kethoprak, jathilan, dan sebagainya,” papar Gus Yusuf.

Pada dasarnya Kiai Chudlori sendiri memang sosok yang menyukai kesenian. Sudah sejak tahun 50-an, dia sering membuat acara kesenian di pesantren. Di acara agustusan dia sering memberi uang kepada para santri, termasuk putranya, Ahmad Muhammad (Gus Muh)—yang di kemudian hari menjadi salah satu pengasuh Pondok dan merupakan tokoh kunci di balik penyelenggaraan PBA—untuk meramaikan pesta peringatan kemerdekaan dengan membuat topeng-topengan atau nanggap tontonan (mengadakan pementasan kesenian)“Sebelum saya sunat, sekitar tahun lima puluhan, mendiang ayah saya sudah suka membuat acara kesenian di pondok ini. Pada dasarnya ayah saya adalah orang yang suka seni. Ketika agustusan santri dan termasuk saya dikasih uang untuk membuat suasana menjadi regeng (meriah-red) dengan membuat topeng-topengan atau nanggap tontonan,” ujar Gus Muh.

Kegemaran Kiai Chudlori pada kesenian ini, menurut Gus Yusuf, barangkali tidak lepas dari latar belakang Kiai Chudlori sendiri yang berasal dari keluarga priyayi Jawa. Boleh dibilang Kiai Chudlori nyempal dari keluarga karena di antara para saudara, hanya dia yang nyantri, sementara yang lain bersekolah untuk kemudian menjadi pegawai negeri. “Dengan latar belakang keluarga seperti itu beliau jadi memahami kultur Jawa, dan beliau sadar bahwa beliau hidup di tanah Jawa”, ungkap Gus Yusuf. Selain latar belakang individual semacam itu, persentuhan Ponpes API Tegalrejo dengan kesenian barangkali juga tidak lepas dari karakteristik masyarakat Magelang sendiri. Di hampir semua wilayah di Magelang, kesenian tradisional semacam jathilan, warokan, gagak ireng agaknya memang telah membumi pada diri masyarakat. Di daerah kecamatan Salaman misalnya, bisa kita jumpai anak-anak kecil di kampung-kampung yang memainkan kesenian-kesenian tersebut. Dan anak-anak tersebut bukanlah anak-anak yang “jauh dari langgar”, mereka juga berasal dari kalangan santri yang taat beribadah. Di pasar Salaman, dan di pasar-pasar lain di Magelang, bisa kita temui para penjual peralatan kesenian tradisional seperti pecut, topeng, jaranan, dan lain-lain. Bagi seorang pendiri dan pemimpin pesantren seperi Kiai Chudlori, tentu saja pemahaman akan realitas tersebut menjadi sesuatu yang sangat penting dalam rangka mendekatkan diri pada masyarakat.  Sebab sebuah pesantren, sebagai sebuah lembaga pendirikan informal di tengah-tengah masyarakat, harus bisa menangkap artikulasi masyarakat di sekitarnya. Inilah barangkali yang membuat Kiai Chudlori bisa mengapresiasi kesenian tradisional.

Agaknya kegemaaran akan kesenian tersebut menurun kepada anak-anaknya. Gus Yusuf sendiri mengaku sudah sering menonton pertunjukan jathilan sejak kecil.. Demikian juga dengan Gus Muh. Selain menjadi sosok kunci dalam penyelenggaraan PBA, dia juga memiliki kebiasaan unik, yakni jika diundang ceramah di suatu desa biasanya dia meminta tanggapan jathilan.  Melihat rumah Gus Muh, kita juga akan dibuat terheran-heran dengan hiasan-hiasannya: patung buto, wayang, gunungan, gambar anjing, topeng buto, dan lain-lain. Menurutnya, itu merupakan wujud konsistensinya untuk merangkul kesenian tradisional. “Saya konsisten dengan semua itu. Lihat rumah saya, penuh dengan patung buto, wayang, gunungan, gambar anjing, topeng buto. Itu kan supaya mereka tidak jauh dari saya, menganggap saya adalah bagian dari mereka, dan saya konsisten dengan komitmen saya,” paparnya.

Berbeda dengan kakaknya, Gus Yusuf lebih memilih bergumul dengan kesenian modern. Gus Yusuf sangat berperan dalam mendatangkan grup-grup band tenar seperti  Gigi, Jikustik, Sheila On 7, untuk berpentas di lapangan Tegalrejo. Selain musik, dia juga tidak asing dengan para pegiat kebudayaan, sastra, dan kesenian yang lain. Momen pernikahan Gus Yusuf di tahun 2001 bahkan dimeriahkan dengan acara kesenian seperti pementasan wayang, tari-tarian, jathilan, dan kesenian tradisional lainnya, dihadiri oleh para seniman yang menjadi koleganya. “Kita ingin Ponpes API Tegalrjeo menjadi pesantren yang benar-benar hidup di tengah masyarakat dengan segala aktivitas yang ada,” ujarnya.

Sebagai orang yang dekat dengan kitab kuning tentu mereka mengenal doktrin-doktrin tentang haramnya seni tetabuhan. Namun Gus Yusuf punya cara baca berbeda. Menurutnya, alasan mengapa kesenian diharamkan adalah karena melalaikan Tuhan. Padahal jika menyangkut lalai pada Tuhan, itu bisa terjadi kapan saja dan karena apa saja, tidak melulu karena kesenian.  “Itu saya rasa bukan hanya kesenian. Orang dagang pun bisa seperti itu. Saking senangnya berdagang orang terus lupa sama ibadah. Sama saja sebenarnya,” tandasnya. Begitu pula soal kerap terjadinya tindak ”kemaksiatan” dalam dunia kesenian. . “Kalau kita ngomong soal munkarat (hal-hal berbau kemaksiatan-red), itu tidak hanya dalam kesenian. Dalam kegiatan apa pun bisa. Pengajian yang kelihatannya kegiatan agama tapi di dalamnya isinya saling menghujat juga ada munkarat-nya, bahkan lebi ironis. Khutbah Jum’at di masjid yang sekarang dimanfaatkan untuk mencemooh orang lain, mengkafirkan orang lain, itu justru menebar kebencian. Jadi itu relatif. Kita tidak bisa mengeneralisir bahwa kesenian itu haram,” imbuh Gus Yusuf

Pesta Rakyat Milik Bersama

Sebagai sebuah perhelatan yang boleh dibilang sangat besar, merupakan fakta menarik bahwa acara PBA ini tidak didukung oleh sponsor manapun. Sebagai gambaran, pentas kesenian yang berlangsung selama delapan hari tersebut diikuti oleh kurang lebih 200 komunitas seni. Mengambil beberapa tempat sebagai titik keramaian, semisal halaman rumah Gus Muh dan lapangan, pentas seni berlangsung terus-menerus. Malam terakhir sebelum pengajian, dilangsungkan karnaval yang diikuti lebih dari lima puluh kelompok kesenian. Penonton yang berjubel memadati pinggir jalan sepanjang 200 meter seolah menjadi benteng tebal tak tertembus. Menurut keterangan salah seorang peserta, tiap kelompok yang tampil di acara PBA diberi uang transport sebesar 400 ribu rupiah. Tidak besar memang untuk ukuran mereka mengingat biasanya mereka mematok tarif 1,5 sampai 2 dua juta rupiah tiap kali pentas. Namun dengan jumlah peserta yang mencapai angka 200, bisa dibayangkan berapa dalam kantong harus dirogoh untuk membiayai keseluruhan acara tersebut. Itu pun belum memasukkan biaya akomodasi selama di lokasi. Lantas dari mana pembiayaannya? Menurut Suyono, salah seorang panitia teknis PBA, keseluruhan acara tersebut didanai oleh Gus Muh pribadi. Tidak ada satupun pendanaan dari pihak luar, tidak pesantren, tidak wali santri, tidak pula sponsor. Hal senada juga diujarkan oleh Gus Yusuf.

Menariknya, perlakuan yang berbeda diberlakukan kepada kesenian modern. Setiap kali nanggap kesenian modern semisal band, Gus Yusuf tidak pernah merogoh kocek sendiriuntuk membayar mereka. “Saya bisa berbeda dalam menyikapi kesenian. Kalau saya ngundang Jikustik, Gigi, Sheila on 7, saya nggak mau keluar uang sepeser pun, lha wong mereka itu sudah masuk industri kok. Ada sponsor. Tapi kalau untuk jathilan, kethoprak, atau wayang, saya bersedia keluar uang karena mereka bukan industri. Tidak ada sponsor, karena adanya sponsor berarti mengkhianati mereka,” tuturnya.

Bagi kalangan kelompok kesenian sendiri, tampil di PBA adalah salah satu wahana aktualisasi diri yang lepas dari logika komodifikasi. Dengan kompensasi minim yang hanya cukup untuk menutup ongkos transportasi, mereka dengan senang hati meluangkan waktu dan energi untuk meramaikan PBA. Bahkan di antara mereka sudah tampil di acara tersebut beberapa kali; ada yang tiga, delapan, sebelas, bahkan puluhan kali. Bagi orang-orang ini, kesenian memang sudah merupakan jalan hidup Andaikata tidak ada yang naggap, mereka akan tetap mentas sendiri di kampung mereka. “Pada dasarnya anak-anak muda di sini memang senang dengan barongsai,” ungkap Sukirman, pemimpin dari kelompok barongsai Gotong Royong yang sudah mentas di PBA selama berpuluh tahun tanpa absen sekali pun.

 

                Sebagai sebuah teks, PBA bisa dimaknai secara berbeda oleh berbagai pihak yang berbeda latar belakang. Bagi santri misalnya, PBA, atau lebih luas khataman, merupakan momen ketika mereka bisa menikmati kebebasan sesaat setelah selama setahun mereka dipenatkan oleh kesibukan mengaji. Dengan adanya PBA, mereka bisa dengan bebas menikmati pentas kesenian tanpa takut akan hukuman yang bakal dijatuhkan oleh keamanan pesantren, sebab pada hari-hari biasa aturan Pondok melarang mereka menonton pentas kesenian. Di mata para santri, agaknya kesenian tradisional masih dipandang miring. Ini bisa ditangkap dari komentar salah seorang santri alumni yang sempat didengar oleh Desantara. “Bagi saya pertunjukan kesenian semacam ini ada hikmahnya. Di rumah, setelah saya pulang kampung, pertunjukan kesenian sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap ada hajatan pasti nanggap penta seni. Tapi karena sudah terbiasa melihat di sini, maka  di rumah saya sudah tidak kepengin lagi untuk menontonnya,” katanya. Bagi para panitia PBA, yang kebanyakan adalah orang-orang sudah berumur dan memiliki kedekatan dengan pesantren, PBA juga dimaknai sebagai sebuah kegiatan penuh hikmah. Pasalnya, tidak sedikit di antara para pelaku seni yang sudah beberapa kali pentas di Ponpes API Tegalrejo berubah menjadi taat beragama: melakukan sholat, puasa, dan ikut pengajian. Bisa jadi apa yang disampaikan salah seorang santri dan para panitia PBA ini merupakan upaya mereka untuk memahami kontradiksi antara doktrin yang mereka pelajari dengan kenyataan yang mereka hadapi tiap setahun sekali itu.

Bagaimanapun, dengan diadakannya PBA, kalangan pelaku kesenian tradisional merasa lebih dekat dengan Pesantren dan menganggap Pondok Tegalrejo sebagai pesantren yang terbuka. Mereka nyaman untuk berkesenian. Tampil di hadapan para kiai dan santri menjadi tak ubahnya tampil di tempat-tempat lain di hadapan petani, buruh, atau orang-orang yang jauh dari suara orang mengaji.

BAGIKAN: