Tuan Baak seorang petani di pinggir Kota Pusan. Dia memiliki kebun seluas 1,5 hektar. Tanah yang cukup luas untuk ukuran Korea. Dia memiliki dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Semua anaknya sudah menikah dan tentu saja masing-masing sudah memberinya cucu. Pertengahan tahun ini umurnya genap 70 tahun.
Putri bungsu Tuan Baak tinggal di Gwangju, hanya beberapa blok dari tempat tinggal saya. Kami berteman baik. Anaknya juga teman anak saya, sama-sama belajar di akademi taekwondo. Saya tidak tahu nama aslinya, tetapi kami biasa memanggilnya omma Tee Joo. Karena anaknya bernama Tee Joo. Omma Tee Joo berarti ibunya Tee Joo.
Pada saat peringatan ulangtahunnya yang ke 70, Tuan Baak berencana akan mengumumkan pembagian warisan. Seluruh tanahnya akan diwariskan pada cucu laki-laki pertama dari anak laki-lakinya yang sulung. Bagi orang Korea, anak laki-laki adalah pewaris utama, juga cucu laki-laki. Menurut keyakinan mereka, hanya doa keturunan laki-lakilah yang dapat membawakan kebahagiaan kepada mereka di alam setelah kematian nanti. Karena itu mereka seolah membeli doa dari anak cucu laki-laki tersebut dengan memberikan warisan.
Anak laki-laki, terutama yang tertua, bertanggungjawab penuh pada keluarga. Tidak hanya sewaktu orang tuanya hidup, tetapi sampai setelah meninggal. Keyakinan seperti itu ternyata masih banyak diyakini oleh masyarakat Korea. Padahal, menurut Omma Tee Joo, bapaknya seorang Katolik. Saya tahu ajaran Katolik tidak mengajarkan keyakinan yang seperti itu. Tetapi di Korea ternyata banyak juga yang mencampurkan ajaran agama dengan keyakinan lama. Setelah Katolik datang, masyarakat tidak bisa membuang keyakinan lama mereka. Walaupun pada kesehariannya mereka menganggap Yesus adalah tuhan yang disembah tetapi sesungguhnya mereka masih memegang kuat kepercayaan nenek moyang, ajaran konfusianisme. Penghormatan mereka kepada leluhur kadang kala melebihi penghormatan kepada Yesus.
Seorang teman saya, misionaris Katolik, pernah bercerita kalau soal percampuran keyakinan itu sudah dipahami oleh keuskupan agung kereka di Roma. Orang Korea memang teguh dengan keyakinan Konfusianisme mereka. Konon, menurut dia, dulu pada masa awal masuknya ajaran Katolik ke Korea, banyak misionaris yang dibantai, karena mereka menganggap ajaran Konfusianisme keliru dan tidak sesuai dengan petunjuk dalam Al Kitab. Korban tragedi agama itu kuburannya masih bisa ditemukan di lereng gunung Nam. Gunung tertinggi di tengah Kota Soul. Karena itulah untuk kepentingan damai, keuskupan agung Roma memutuskan menerima keyakinan konfusianisme ini.
Dan Tuan Baak termasuk seorang yang keras memegang ajaran leluhur. Karena dia merasa umurnya mungkin tinggal sedikit di dunia, maka dia menginginkan cucu laki-lakinya untuk menjalankan tugas mengelola tanah warisan. Tentu saja dengan imbalan doa yang harus dikirimkan untuk arwahnya pada hari-hari tertentu. Sesuatu yang sangat abstrak. Karena ini adalah keyakinan. Tetapi anak-anaknya yang lain tidak memahami hasrat Tuan Baak ini dengan baik. Bagi mereka warisan adalah soal benda (materiali) dan itu dekat dengan kesenangan dunia. Karenanya mereka ingin mendapat bagian yang sama. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari keluhan Omma Tee Joo.
Suatu hari saat bermain di rumahnya, ibunya menelpon dari Pusan, menanyakan kesediaannya untuk pulang pada saat ulang tahun bapaknya. Tetapi dia mengatakan tidak bisa datang karena jarak antara Gwangju dan Pusan sangat jauh.
“Kenapa tidak datang? Bukankah ini hari istimewa orang tua?” Tanya saya.
“Malas ribut,”jawabnya.
Lalu berceritalah dia soal warisan yang akan dibagikan itu.
Sebagai anak perempuan, dia tidak akan mendapatkan apa-apa, karena menurut keyakinan orang tuanya, anak perempuan tidak begitu penting.
“Bapak saya pernah bilang kalau dia telah membiayai sekolah kami sampai universitas. Itu cukup untuk modal hidup. Dan saya pikir yaa sudahlah!” ujarnya dengan nada kurang ikhlas.
Kabarnya menantu kedua Tuan Baak juga tidak akan datang pada peringatan ulangtahun tersebut.
Soal warisan memang banyak menimbulkan sengketa. Dalam drama dan film-film Korea tema ini seringkali muncul. Tetapi bagi laki-laki tua seperti Tuan Baak, masa depannya bukan dunia lagi. Seluruh pikirannya sepertinya sudah terampas oleh kematian dan kebahagiaan setelah mati. Dan dia ingin hartanya dapat membahagiakan dia dan leluhurnya sampai kealam kematian. Ini tentu saja sulit dipahami oleh orang muda yang menganggap kematian masih sangat jauh. Sekilas memang tampak Tuan Baak seorang tua yang egois ya? Tapi mungin tidak begitu.*** Kabati adalah kontributor Desantara, mengajar di Hankuk University of Foreigh Studies (HUFS) Korea Selatan